Studi Tafsir di Dunia Digital
Perlukah kitab-kitab tafsir yang berjilid-jilid digantikan oleh file berformat pdf atau software Maktabah Shamilah? Dari segi efisiensi, kepraktisan dan kecepatan akses informasi, semua pasti sepakat kalau kitab tafsir (dan buku lain secara umum) dalam dua bentuk digital di atas jauh lebih unggul dari kitab standar berformat buku. Meski demikian, Andrew Rippin mengingatkan bahwa terlalu bersandar pada kitab-kitab digital ini tidaklah tepat, utamanya untuk urusan riset akademis.
Rippin menggaris-bawahi, sejak dari proses pengalihan dari manuskrip ke versi cetak, para peneliti tafsir telah menemukan masalah-masalah yang cukup rumit, mulai dari kesalahan penulisan (typo), perubahan teks yang seringkali tidak dijelaskan oleh penerbit, serta hilangnya bagian-bagian tertentu dari teks tersebut. Banyak penerbit, tegas Rippin, yang tidak melakukan kajian kritis terhadap manuskrip yang ingin mereka publikasikan secara serius.
Sebenarnya, pada level tertentu, kesalahan-kesalahan (utamanya yang minor) ini bisa dimaklumi. Manuskrip-manuskrip kitab tafsir biasanya sangat-sangat tebal dan men-tahqiq-nya menjadi sebuah pekerjaan akademik yang melelahkan, bahkan oleh tim sekalipun.
Dalam artikelnya, Rippin menyebutkan contoh konkrit dari problem laten publikasi manuskrip ke dalam bentuk cetak. Bahkan sedikit pengurangan atau tambahan dalam judul subbab saja bisa merubah substansi konten. Dalam kitab Tafsir Tabari versi Sakhr dan Ariss misalnya, pembukaan kitab tafsirnya tidak disertakan. Dari kacamata orang Awwam, ini bisa jadi bukan masalah. Tetapi untuk keperluan kajian akademiki, hilangnya muqaddimah ini sangat disayangkan.
Masalah menjadi semakin kompleks saat di abad ke-21 ini, teks-teks cetak beralih lagi ke bentuk software. Hal pertama yang Rippin garis bawahi adalah perubahan “pengalaman membaca dan meneliti” (reading experience) dari si peneliti. Kita harus melihat poin ini dalam kapasitas Rippin sebagai sarjana tafsir yang telah malang-melintang di dunia per-manuskrip-an. Bagi Rippin, kenikmatan membuka buku-buku tebal tentu tidak bisa digantikan dengan memandangi Kitab dari depan layar komputer yang bisa digeser dengan mudah hanya dengan menekan mouse.
Kata Rippin, dalam software-software yang ia kaji, pem-paragraph-an dan peletakan tanda baca seringkali ngawur, arbitrer dan jauh lebih membingungkan dari kitab tafsir versi cetak.
Tidak bisa disangkal bahwa kemajuan teknologi telah sangat membantu para pengkaji tafsir di era sekarang. Banyak sekali kitab-kitab tafsir yang baru dipublikasikan dan bisa diakses secara luas lewat media digital. Pertanyaannya, apakah format digital ini bisa menggantikan tafsir-tafsir model lama? Rippin cenderung mengatakan tidak. Belum saatnya para sarjana dan peneliti tafsir bisa mempercayai versi digital ini seutuhnya, tegasnya.
Saya setuju dengan usulan Rippin. Maktabah Shamilah sangat berguna untuk pre-liminary research, sebagai tahapan awal untuk mencari tahu sejauh mana dugaan-dugaan atau keraguan-keraguan yang seorang peneliti miliki bisa ditelusuri lebih jauh. Software ini juga bisa difungsikan sebagai sumber untuk sebuah informasi yang akan digunakan secara kilat, misalnya untuk materi ceramah dan untuk bahan diskusi di kelas.
Tetapi untuk keperluan penelitian yang lebih serius seperti penulisan artikel, buku, apalagi tesis, merujuk ke versi cetak adalah wajib.
How to cite this Article: Muammar Zayn Qadafy, “Studi Tafsir di Dunia Digital”, studitafsir.com (blog), Desember 13, 2020 (+ URL dan tanggal akses)
Detil Artikel yang diringkas: Andrew Rippin, “The Study of Tafsir in the 21 Century: E-text and their Scholarly Use”.
Untuk request artikel, Silahkan tinggalkan komentar dan email.