
Pembacaan Feminis Terhadap Sejarah Kodifikasi Qur’an; Antara Hafshah Bintu ‘Umar, Ruqayya Khan dan Sean Anthony (Part 1)
Oleh: Muammar Zayn Qadafy
Terdapat tiga tingkatan seorang sarjana mengapresiasi karya sarjana lain. Pertama dan yang paling gampang adalah dengan mengutip. Kedua adalah dengan mengulas dan me -review. Sedang yang ketiga adalah dengan menulis riset tandingan. Pada tahun 2016, Sean Anthony (Ohio) memilih metode ketiga untuk merespon tulisan Ruqayya Y. Khan (Claremont) yang terbit dua tahun sebelumnya.
Artikel Khan diberi judul “Did a Woman Edit the Qur’an?” (Adakah wanita yang turut campur dalam kodifikasi Qur’an?), sebuah pertanyaan retoris yang menuntun Khan untuk mengelaborasi posisi sentral Hafsah, salah seorang istri Nabi Muhammad yang juga anak dari Sahabat ‘Umar, dalam penulisan al-Qur’an. Afirmasi Khan terhadap ketokohan Hafsah ini dibalas oleh Anthony dengan judul artikel yang tak kalah provokatif: “Did Hafshah Edit the Qur’an?” (“Masak iya Hafshah punya peran dalam proses itu?”.
Sedari awal, Khan mengaku “miris” dengan deskripsi sejarah kodifikasi al-Qur’an yang menurutnya androsentris (berpusat pada laki-laki). Sebagai seorang feminis, ia meyakini bahwa dengan mengetengahkan peran penting seorang Hafshah dalam sejarah Islam generasi pertama, ia akan mampu memberikan warna lain -kalau tidak merubah- kecenderungan androsentrisme tersebut.
Untuk tujuan itu, Khan menapaki langkah-langkah berikut: pertama, ia mengkaji persinggungan studi al-Qur’an yang berkembang di Barat dengan ideologi feminisme secara umum; kedua, ia lalu mengevaluasi ketokohan sosok Hafshah berdasarkan potrait tentangnya di kitab-kitab sejarah tradisional; ketiga, ia membaca ulang riwayat-riwayat berkenaan dengan posisi Hafshah dalam sejarah kodifikasi al-Qur’an; keempat, ia mengkritik kesarjanaan modern yang -menurutnya- gagal menyoroti gerakan intelektual seorang Hafshah.
Khan memetakan tiga kecenderungan sarjana Qur’anic studies dewasa ini: (1) yang berkutat dengan manuskrip, utamanya naskah San’a, Yaman (ditemukan tahun 1972), (2) yang terlibat atau sejalan dengan model kajian micro-structural di Corpus Qoranicum–nya Angelika Neuwirth, (3) dan yang sedang nge-hits di American Academy of Religion (digawangi nama-nama beken seperti alm. Andrew Rippin dan Gabriel Said Reynolds) dengan fokus kajian perbandingan al-Qur’an dengan tradisi Biblikal serta kajian atas Tafsir sebagai sebuah genre yang terlepas dari studi Qur’an.
Di tengah-tengah kepungan tiga arus besar yang didominasi pria di atas, Khan menggaris bawahi munculnya gerakan intelektual alternatif dari para sarjana Feminis Muslim dengan misi utama “menyodorkan perspektif perempuan”, utamanya dalam berinteraksi dengan teks dan sejarah al-Qur’an. Gerakan ini dimotori oleh karya-karya Amina Wadud (Richmond), Riffat Hasan (Kentucky), Asma Barlas (Amsterdam), Azizah al-Hibri (Richmond), Kecia Ali (Boston), Leila Ahmad (Harvard), Barbara Stowasser (w. 2012, Washington), Fatima Mernissi (w. 2015, Rabat), Aysha Hidayatullah (San Fransisco), Aisha Geissinger (Carleton) dan Asma Afsaruddin (Bloomington).
Berkiblat pada nama-nama ini, Khan meyakini sentralitas peran para istri Nabi, termasuk Hafsah, dalam penulisan Mushaf. Ia menyoal mengapa keabsahan riwayat-riwayat ini diragukan validitasnya oleh para sarjana Barat modern. Dalam merekonstruksi biografi Hafshah, Khan menggunakan Kitab al-Tabaqat karya Ibn Sa’d (w. 230/845). Meskipun kitab ini termasuk kitab belakangan, ia adalah sumber sejarah terbaik yang dimiliki umat Islam sekarang, tandas Khan.
Hafshah menikah dengan Muhammad pada 625 M di usia 20 tahun. Ia adalah istri keempat sang Nabi yang dinikahi tujuh tahun sebelum Nabi meninggal. Hafshah adalah seorang istri yang kontroversial karena ia pernah ditalak lalu dirujuk kembali. Tidak mengherankan menurut Khan, karena Hafshah dinikahi oleh Muhammad tidak karena “cinta”, melainkan karena alasan networking politis antara Muhammad dengan ‘Umar Ibn Khattab. Ketika Hafshah dicerai, sang ayahlah yang harus turun tangan mengingatkan Hafshah agar ia ingat posisinya sebagai “istri yang paling tidak difavoritkan” di antara istri-istri yang lain. Pada akhirnya, relasi kuat antara Muhammad dan ‘Umar inilah yang menyelematkan pernikahan Hafshah.
Meski demikian, menurut pembacaan Khan, Hafshah digambarkan dalam kitab Ibn Sa’d sebagai sosok istri yang gemar menghafal dan membaca. Hafshah “melek huruf” (literate), suka belajar (very teachable), dan selalu ingin tahu (intellectually curious). Muhammad menyadari bakat Hafshah dan menginstruksikan Syifa’ Bintu ‘Abdillah, seorang wanita yang tersohor karena kemampuannya menyembuhkan penyakit, untuk mentransfer ilmunya ke Hafshah. Nanti pada masa pemerintahan ‘Umar Ibn Khattab, si Syifa’ ini diangkat menjadi inspektur pasar kota, sebuah jabatan yang setara posisinya dengan wali kota.
Dari penelitian Duri (1957), Khan menemukan gambaran tentang Hafshah yang tahu banyak hal (conversant) tentang membaca, menulis dan membukukan Qur’an. Muhammad disebutkan telah memberikan instruksi pada Hafshah untuk menuliskan ayat-ayat Qur’an untuknya. Tulisan Hafshah ini lalu dijadikan patokan hafalan oleh umat Muslim. Ada juga riwayat dari al-Zuhri (w. 742 M) yang menyebut Hafshah sebagai sosok yang familiar dengan kisah-kisah biblikal dan post-biblikal. Riwayat ini menyatakan bahwa suatu ketika Hafshah datang kepada Muhammad dengan membawa catatannya atas kisah Nabi Yusuf. Setelah Hafshah selesai membacakan catatannya tersebut, Muhammad secara tersirat memuji Hafshah dan mengakui bahwa kisah Yusuf ini telah menggerakkan hatinya.
Di luar posisi sentral ini, Khan juga mencatat figur Hafshah sebagai sosok “perantara”. Ayahnya sering memintanya menyampaikan pesan untuk saudaranya yang lain. Di saat yang sama, Hafshah sering diminta untuk menyampaikan pesan tertentu pada ayahnya saat ia menjadi khalifah. Inilah alasan Khan menyebut Hafshah sebagai “penasihat” (advisor) dari ‘Umar sewaktu sang ayah menjadi Khalifah.
Bagaimana dengan riwayat-riwayat tentang berpindahnya Mushhaf resmi Abu Bakr, ke ‘Umar, lalu Hafshah? Termasuk riwayat (dari Anas Ibn Malik) yang mengatakan kalau Mushhaf yang di tangan Hafshah dijadikan rujukan utama saat kodifikasi di periode ‘Uthman ibn Affan?. Khan meyakini kebenaran riwayat Ibn Malik ini dan bahkan mengelaborasi detil-detil kisah Hafshah yang dilupakan banyak pengamat.
Dalam riwayat Ibn Malik tersebut, catat Khan, disebutkan bagaimana ‘Uthman “bernegosiasi” dengan Hafshah dan memintanya meminjamkan naskah Mushafnya untuk kemudian dikembalikan kembali setelah proses kodifikasi selesai. Khan mencari penjelasan tambahan tentang detil ini dari kitab Hadith al-Bukhari. Di sana, ada riwayat dari ‘Abdullah Ibn Wahb (d. 812 M) bahwa Hafshah mau meminjamkan mushafnya hanya jika ‘Uthman bisa menjamin kalau mushhaf itu akan benar-benar dikembalikan. Ini menurut Khan, adalah tanda bagaimana seorang Hafshah sangat hati-hati dalam menjaga apa yang telah diamanahkan kepadanya (extremely careful and guarded).
Tidak berhenti sampai di sini, Khan mengungkap scenario lain yang memperkuat kesimpulannya tentang betapa protektifnya Hafshah terhadap naskah yang ia miliki. Dalam kitab Ibn Abi Dawud (w. 929 M), diceritakan bagaimana Marwan Ibn Hakam (w. 685 M), gubernur Madinah saat itu, berniat untuk menghanguskan Mushaf Hafshah. Hafshah terang-terangan menolak permintaan sang gubernur. Bagi seorang feminis seperti Khan, penolakan Hafshah adalah salah satu bentuk penentangannya terhadap androsentrisme kekuasaan.
Akhirnya ketika Hafshah meninggal, Ibn Hakam meminta adik Hafshah, ‘Abdullah Ibn ‘Umar, untuk mengambil mushaf sang kakak. Khan mencium aroma politik dari fragmen kisah ini. Berdasarkan fakta bahwa Ibn Hakam adalah sepupu dari ‘Uthman dan bahwa Ibn Hakam terlibat aktif dalam pengurusan dan penguburan jenazah Hafshah, Khan menduga Ibn Hakam sangat terobsesi untuk memusnahkan Mushhaf Hafshah demi mempertahankan legacy dari Mushhaf peninggalan ‘Uthman.
Rekonstruksi sejarah Hafshah ini sangat bermakna bagi seorang feminis Muslim seperti Khan. Ia berargumen bahwa telah terjadi distorsi dalam pembacaan para sarjana modern tentang peran sentral Hafshah. Selama ini, Hafshah seringkali dibatasi perannya hanya sebagai istri Nabi sehingga keberadaan Mushaf di tangannya dianggap sebagai sebuah kebetulan. Sebagai seorang feminis, Khan menyoal dikotomi “publik vs privat (dan atau yang sejenisnya) untuk membaca karakter para sahabat Nabi, utamanya yang perempuan.
Mengapa sebuah salinan Qur’an yang sangat penting diberikan pada seorang Hafshah?. Jawabannya tidak segampang karena Hafshah adalah istri sekaligus janda Nabi dan anak dari ‘Umar, Khalifah kedua; Melainkan karena Hafshah adalah seorang wanita terpelajar yang turut andil dalam proses kodifikasi Qur’an. Poin terakhir ini sebenarnya bukan hal baru. John Burton misalnya dengan jelas menyebut adanya Shuhuf Hafshah. Welch juga menyebut naskah ini sebagai “penghubung“ kodifikasi era Abu Bakr dan ‘Uthman. Jeffery bahkan mengakomodir kemungkinan keterlibatan Hafshah dalam penulisan naskah Mushhaf ‘Uthman. Hafshah tidak hanya meminjamkan naskahnya, tetapi juga ambil bagian dalam kepanitiaan penyusunan Mushhaf ‘Uthman.
Lewat artikel ini, Khan tidak hanya merevitalisasi kefiguran seorang Hafshah. Lebih dari itu, ia bermaksud mereorientasi kesarjanaan modern tentang bahaya androsentrisme dalam membaca sejarah Islam awal. Tawaran Khan terlihat segar, meski tak luput dari kritik. Adalah Sean Anthony, salah satu sarjana modern yang menanggapi artikel Khan secara serius. Ulasan atas kritik Anthony akan dipaparkan dalam review yang lain.
How to cite this Article: Muammar Zayn Qadafy, “Pembacaan Feminis Terhadap Sejarah Kodifikasi Qur’an; Antara Hafshah Bintu ‘Umar, Ruqayya Khan dan Sean Anthony (Part 1)”, studitafsir.com (blog), March 28, 2021 (+ URL dan tanggal akses).
Detil Artikel yang diringkas: Ruqayya Yasmin Khan, “Did a woman edit the Qur’an?”. Artikel bisa didownload di sini.