Pembacaan Feminis Terhadap Sejarah Kodifikasi Qur’an; Antara Hafshah Bintu ‘Umar, Ruqayya Khan dan Sean Anthony (Part 2)

Oleh: Mu’ammar Zayn Qadafy

 

Sesuai yang Khan harapkan, artikelnya yang hendak merevitalisasi peran Hafshah dalam kodifikasi teks al-Qur’an, dan di saat yang sama, menuduh pemahaman sejarah atas peristiwa ini sepenuhnya dipengaruhi oleh alur kesarjanaan yang androsentris, berhasil memprovokasi sarjana lain untuk menulis riset tandingan; di antaranya adalah Sean W. Anthony (Ohio) dan Catherine L. Bronson (Notre Dame). Pada prinsipnya, Anthony tidak berkeberatan dengan kritik feminis atas sejarah Islam yang mendasari riset Khan. Hanya saja, menurut Anthony, metodologi penelitian sejarah yang dilakukan Khan tumpul (unsound), tendensius, dan tidak memadai (insufficient).

Anthony menyayangkan keterbatasan akses Khan atas literatur-literatur berbahasa Jerman dan Perancis yang berbicara tentang kodeks Hafshah. Jika Khan mengikutsertakan karya Theodor Nöldeke, Friedrich Schwally, Gotthelf Bergsträßer, Otto pretzl, Alfred-Louis de Premare dan Viviane Comerro, tandas Anthony, gambaran Khan tentang bias gender di kesarjanaan Islam modern sangat mungkin berubah.

Ada tiga soal yang menjadi fokus dari bantahan Anthony terhadap argumentasi Khan: pertama, sejauh mana pembacaan feminis Khan atas peran Hafshah bisa dibenarkan jika sumber-sumber lain seperti kitab sirah dan kitab hadith dilibatkan?; kedua, seberapa kuat bukti yang kita punya mengenai keterlibatan editorial seorang Hafshah terhadap teks al-Qur’an yang diamanahkan padanya untuk ia jaga?; ketiga, sejauh mana informasi tentang kodeks al-Qur’an yang dimiliki para istri Nabi mampu memperjelas sejarah kodifikasi al-Qur’an?.

Hafshah Sebagai Korban Stigmatisasi?

Sebagaimana telah diulas dalam review sebelumnya tentang artikel Khan, ia meyakini bahwa Hafsah memang istri yang tidak difavoritkan oleh Muhammad: pernikahan mereka tidak berlandaskan cinta dan karena sikap kritisnya, ia pernah ditalak oleh Nabi lalu dirujuk kembali. Lewat penegasan fragmen ini, Khan ingin menonjolkan sisi kritis Hafsah yang membedakannya dari istri-istri Muhammad lain. Dalam konteks kodifikasi al-Qur’an, Khan bermaksud mengetengahkan keunggulan Hafsah secara intelektual, sehingga bukanlah sebuah kebetulan jika ia diberi amanah untuk menjaga salinan Mushaf pasca wafatnya Khalifah ‘Uthman. Secara khusus Khan menyayangkan kisah perceraian Hafsah dari Muhammad yang lantas mematri stigma buruk pada diri sang istri sekaligus menutupi keutamaan sang istri di mata generasi selanjutnya.

Menurut Anthony, Khan telah salah melangkah, karena jika ia konsisten mengangkat isu perceraian Hafsah, Khan tidak bisa begitu saja mengenyampingkan narasi-narasi tradisional di sekitar kisah perceraian tersebut. Riwayat-riwayat tentang perceraian Muhammad dengan Hafsah yang berserakan di sekitar tafsir QS. al Tahrim (66): 1-5 justru melemahkan ketokohan seorang Hafsah di antara istri-istri Muhammad yang lain, alih-alih memperkuatnya.

Terjemahan lima ayat tersebut adalah sebagai berikut: (1) Wahai Nabi! Mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagimu? Engkau ingin menyenangkan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang; (2) Sungguh, Allah telah mewajibkan kepadamu membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah adalah pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui, Mahabijaksana; (3) Dan ingatlah ketika secara rahasia Nabi membicarakan suatu peristiwa kepada salah seorang istrinya (Hafsah). Lalu dia menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan peristiwa itu kepadanya (Nabi), lalu (Nabi) memberitahukan (kepada Hafsah) sebagian dan menyembunyikan sebagian yang lain. Maka ketika dia (Nabi) memberitahukan pembicaraan itu kepadanya (Hafsah), dia bertanya, “Siapa yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Nabi menjawab, “Yang memberitahukan kepadaku adalah Allah Yang Maha Mengetahui, Mahateliti.”; (4) Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sungguh, hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebenaran); dan jika kamu berdua saling bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sungguh, Allah menjadi pelindungnya dan (juga) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain itu malaikat-malaikat adalah penolongnya; (5) Jika dia (Nabi) menceraikan kamu, boleh jadi Tuhan akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kamu, perempuan-perempuan yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang beribadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.

Dikisahkan dalam beberapa kitab tafsir (di antara yang dirujuk oleh Anthony adalah tafsir Muqatil (w. 150/767), Tabari (w. 311/923), dan al-Hawwari (w. sekitar 280/893)), suatu ketika Hafsah menyaksikan suaminya sedang berhubungan badan dengan seorang budak perempuan (Maria Qibtiyyah menurut versi paling masyhur). Merasa tidak senang, Hafshah protes keras. Muhammad lalu berjanji bahwa ia tidak akan lagi ‘menjamah’ si budak wanita, dengan syarat Hafshah mau tutup mulut. Sang istri tidak kuasa memenuhi permintaan Muhammad, dan lantas menceritakan apa yang ia saksikan pada Aisyah. Pembangkangan terhadap perintah Muhammad ini yang menjadi faktor utama diceraikannya Hafshah oleh Muhammad.

Khusus mengenai ayat ke-5 surat ke-66, al-Qur’an menggunakan redaksi umum untuk menyinggung istri-istri (lebih dari satu) beliau yang ditalak karena menyebabkan gejolak rumah tangga. Menurut Anthony, diksi al-Qur’an yang plural ini sengaja dilewatkan oleh Khan dan orang-orang yang sepemikiran dengannya. Mereka bersikukuh bahwa polemik rumah tangga yang berujung pada perceraian hanya menimpa Hafsah seorang; sebuah argumen yang melandasi asumsi akan stigma buruk yang mendesentralisasi peran Hafsah. Padahal jika merujuk pada al-Qur’an, sanggah Anthony, hal tersebut juga terjadi pada istri-istri Nabi yang lain.

Sementara dalam kitab-kitab hadith, kisah trilogi Muhammad-Maria Qibtiyyah-Hafshah nampak dijauhi. Bukhari (w. 256/870) dan Muslim (w. 261/875) misalnya, mengganti drama keluarga ini dengan fragmen kecemburuan Aishah atas ‘kemesraan’ Nabi dengan istrinya yang lain, Zaynab Bint Jahsh.

Mengenai keberadaan dua versi ini, sarjana Modern lebih condong pada kisah Hafshah karena sumber kisah ini (tafsir Muqatil) lebih tua dari pada sumber kisah Zaynab (Bukhari-Muslim). Selain itu, kisah antara Zaynab dan Aisyah bisa jadi cocok untuk menjelaskan ayat pertama dan kedua dari surat ke-66, tetapi tidak cocok untuk menjelaskan tiga ayat setelahnya.

Yang terpenting bagi Anthony adalah, tidak satupun dari dua versi kisah ini yang memberi kesan bahwa Hafshah adalah istri yang tidak difavoritkan oleh Nabi. Khan dan para feminis Muslim yang lain terus memainkan ‘point’ ini  tanpa pernah membuktikan adanya sikap ‘tidak senang’ kepada Hafshah, baik oleh Nabi maupun oleh generasi setelahnya.

Hafshah dan Penulisan Mushaf

Anthony menggaris-bawahi lalu membantah dua premis utama Khan saat ia dengan menggebu-gebu mengatakan bahwa Hafshah ikut menulis dan meng-edit al-Qur’an. Pertama, riwayat ‘Urwah Ibn Zubair (w. sekitar 94/713) yang menurut Khan menyiratkan kemampuan Hafshah meng-edit Qur’an berdasarkan apa yang Nabi ajarkan padanya sebenarnya menunjukkan kemampuan Nabi untuk menulis Qur’an. Anthony tidak menyanggah kedudukan penting Hafshah sebagai ‘perantara’ antara ‘Umar dan Nabi (juga antara ‘Umar dan rakyatnya), tapi fakta ini terlalu jauh untuk dikaitkan dengan posisinya sebagai editor Qur’an yang memang tidak pernah ia duduki.

Kedua, Khan bersandar pada riwayat dari Ibn Shihab al-Zuhri untuk menggaris-bawahi seorang Hafshah yang familiar dengan kisah biblikal (kisah Yusuf). Berdasarkan riwayat ini, Khan bersikukuh bahwa Hafshah adalah sosok wanita ‘melek huruf’ (literate), selalu ingin tahu (curious) dan mahir baca tulis. Dengan kualitas-kualitas berikut, Hafshah, menurut Khan, sangat mungkin menjadi editor al-Qur’an.

Sekali lagi, Anthony mempersoalkan ‘loncatan’ logika yang dilakukan Khan. Si feminis Muslim menurut Anthony terlalu percaya diri dalam melakukan klaim yang tidak beralasan. Bahwa Hafshah memiliki kualitas-kualitas yang disebut di atas adalah sesuatu yang secara historis akurat. Tetapi mengaitkan itu semua dengan kemungkinan posisi Hafshah sebagai editor al-Qur’an adalah kesimpulan yang dipaksakan.

Ada satu detil di dalam riwayat al-Zuhri yang menarik perhatian Anthony. Di sana disebutkan, ketika Hafshah selesai menceritakan kisah Yusuf, Nabi berubah rona wajahnya (yatallawin wajhuhu), karena merasa tidak nyaman. Ketidak-senangan Nabi berkaitan erat dengan sikap enggannya terhadap periwayatan kisah-kisah Israiliyyat. Jadi, menurut Anthony, riwayat al-Zuhri ini tidak perlu dikaitkan dengan ‘sempit atau luasnya pengetahuan Hafshah tentang al-Qur’an. Lagi-lagi, Anthony menyoal cara Khan menganalisa dan membuat kesimpulan dari data-data yang ia dapatkan.

Sampai di sini, dua argumentasi utama Khan yang menjadi dasar klaimnya atas kemungkinan Hafshah meng-edit Qur’an, menurut Anthony, tidak memiliki fondasi tekstual yang meyakinkan.

Pembumi-hangusan Kodeks Hafshah oleh Marwan Ibn Hakam?

Poin sentral selanjutnya dalam artikel Khan berpusat pada analisanya atas riwayat al-Zuhri tentang pengrusakan naskah Qur’an milik Hafshah pada masa Khalifah Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan (660-680 M). Khan menekankan ‘obsesi’ pribadi Gubernur Madinah, Marwan Ibn al-Hakam, dalam pembumi-hangusan kodeks Hafshah tersebut. Lagi-lagi, cara Khan mencari benang merah di antara fragmen-fragmen sejarah menggelitik komentar miring dari Anthony. Menurutnya, Khan sudah terlampau jauh mengimajinasikan sosok Hafshah sebagai seorang editor al-Qur’an. Walhasil, ia menjadi sentimental saat menafsirkan riwayat al-Zuhri mengenai keinginan Marwan untuk membakar kodeks-kodeks al-Qur’an di luar kodeks resmi versi ‘Uthman.

Anthony meyakini, tidak ada sentimen pribadi seorang Marwan kepada Hafshah. Ketika menginstruksikan pembakaran Mushaf setelah Hafshah meninggal, motivasinya adalah pemusnahan Mushaf yang terkodifikasi di zaman Abu Bakr dan diwariskan setelahnya pada ‘Umar lalu Hafshah. Hafshah, tegas Anthony, dalam hal ini lebih tepat dianggap sebagai ahli waris sekaligus kurator, dari pada sebagai editor.

Khan juga mengutip permintaan Hafshah kepada Khalifah ‘Uthman agar naskah yang dipinjam darinya dikembalikan setelah kodifikasi resmi selesai. Ini menurut Khan adalah bukti bahwa Hafshah menganggap kodeks tersebut sebagai produk editorialnya. Interpretasi Khan ini, tegas Anthony, jelas lebay (superfluous) dan salah jalur (misleading). Secara tekstual, permintaan Hafshah hanya mengungkap keyakinannya bahwa apa yang telah diwariskan padanya telah menjadi hak miliknya. Mengingat betapa berharganya naskah Mushaf itu, Hafshah hanya khawatir, jika hak milik ini akan dianulir karena satu dan dua hal, lalu naskah Mushafnya tidak dikembalikan padanya. Untuk memperkuat interpretasinya ini, Anthony menyertakan redaksi permintaan Hafshah yang berbunyi: inni akhafu an tahbisahu ‘anni (aku khawatir engkau akan menahan Mushaf itu dariku).

Apakah pemusnahan kodeks Hafshah adalah upaya sistematis untuk mendeligitimasi kontribusinya dalam kodifikasi Qur’an, sebagaimana yang diyakini Khan?. Anthony tidak sedikitpun teryakinkan, utamanya karena perlakuan yang sama juga diberlakukan pada naskah-naskah Mushaf sahabat-sahabat Nabi yang lain, seperti milik Abdullah Ibn Mas’ud dan Ubayy Ibn Ka’b.

Naskah Mushaf Para Istri Nabi (dalam Riwayat tradisional)

Bab ini adalah penutup dari artikel Anthony yang tidak berkaitan dengan artikel Khan. Dengan melacak riwayat-riwayat mengenai keberadaan mushaf-mushaf para istri Nabi (dalam hal ini Aisyah, Hafshah dan Ummu Salamah), Anthony menyimpulkan beberapa thesis: Pertama, ketiga naskah cenderung mirip dan homogen dari sisi qira’at, alih-alih berbeda satu dengan yang lain. Kedua, kodeks-kodeks ini ditulis setelah Nabi meninggal untuk digunakan sendiri, bukan untuk konsumsi publik.

Secara khusus, Anthnony, menekankan bahwa siapapun yang hendak menyusun naskah al-Qur’an secara mandiri di masa tersebut, pastilah memiliki kekayaan yang melimpah, karena proyek seperti ini sangat mahal. Ketiga, meski wujud asli naskah-naskah ini sulit (atau bahkan mustahil) ditemukan, Anthony meyakini mereka pernah ada. Artinya, riwayat-riwayat ini memuat informasi sejarah yang riil dan bukan semata-mata kabar burung. Pun demikian, para ahli sejarah, ahli filologi dan ahli paleografi perlu bekerja bersama dan bersungguh-sungguh untuk meriset dugaan ini lebih jauh.

Dua artikel yang telah kami review ini menunjukkan keseriusan dari masing-masing penulisnya dalam membaca tradisi, menganalisa dan menyusun argumen yang mereka yakini. Tulisan Khan akan diapresiasi oleh mereka yang memiliki keresahan sama mengenai dominasi nalar androsentris  dalam cara sarjana modern meneliti sejarah Islam. Pun demikian, cara dia memilah-milah tradisi dan menganalisanya cenderung bias dan tidak obyektif, menurut kaca mata seorang filolog seperti Anthony. Berulang kali, ia mengkritik Khan karena terlalu bebas berspekulasi atas data yang ia paparkan. Baginya, seorang peneliti harus setia pada data yang ia temukan. Pun jika ia harus melakukan interpretasi, itu harus memiliki fondasi tekstual yang jelas.

How to cite this Article: Muammar Zayn Qadafy, “Pembacaan Feminis Terhadap Sejarah Kodifikasi Qur’an; Antara Hafshah Bintu ‘Umar, Ruqayya Khan dan Sean Anthony (Part 2)”, studitafsir.com (blog), May 28, 2021 (+ URL dan tanggal akses).

Detil Artikel yang diringkas: Sean W. Anthony dan Catherine L. Bronson, “Did Hafshah edit the Qur’an? A Response with Notes on the Codices of the Prophet’s Wives”. Artikel bisa didownload di sini.

 

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 80

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Unknown