Benarkah ‘al-Umm’ Ditulis Oleh al-Shafi’i (767-820)? (Ahmed Shamsy membantah Norman Calder)

Oleh: Mu’ammar Zayn Qadafy

Di kalangan revisions dan dalam jagad studi ‘Islam awal’, Norman Calder (1950-1998) bukanlah orang sembarangan. Karya-karya sarjana Inggris ini banyak mempengaruhi arah diskusi kontemporer tentang sejarah Islam.  Sebagai murid langsung dari John Wansbrough (1928-2002), Calder mewarisi cara sang guru dalam menyoal banyak hal yang dianggap final oleh kaca mata kesarjanaan Islam tradisional.

Tahun 1993, Calder menerbitkan bukunya yang berjudul “Studies in Early Muslim Jurisprudence”. Di dalamnya, Calder melemparkan klaim radikal bahwa al-Umm bukanlah hasil karya al-Shāfi’ī, melainkan sekumpulan teks yang secara organik terus tumbuh sejak era sang maestro (the product of organic textual growth) lalu mengkristal menjadi sebuah karya tunggal beberapa generasi setelah ia wafat. Calder meyakini kitab ini adalah kumpulan catatan dari para hakim bermadhhab Shāfi’ī, yang dengan semena-mena dinisbahkan kepada sang guru.

Akumulasi tekstual ini bisa terjadi, tegas Calder, karena pada periode formatifnya, kesarjanaan di dunia Muslim bersifat non-publik: para cendekiawan menulis dan saling bertukar catatan pribadi berdasarkan kuliah-kuliah yang mereka ikuti. Sebuah catatan akan terus berputar dari satu tangan ke tangan lain, dan dengan sendirinya, menjadi semakin tebal. Calder berhipotesa bahwa pada zaman itu, konsep tentang kepengarangan tunggal (individual authorship) belum berkembang.

Thesis Calder dilandaskan dua asumsi dasar: Pertama, bahwa pemikiran al-Shāfi’ī tidak memiliki pengaruh yang signifikan pada para juri setelahnya, paling tidak sebelum paruh awal abad ke-empat. Kedua, secara tekstual, al-Umm (menurut Calder) tidak disusun dengan pola dan irama yang homogen dan seakan-akan mengesankan adanya lapisan-lapisan kepengarangan yang berbeda.

Bagaimana Calder merubah dua asumsi ini menjadi kesimpulan yang fantastis (baca: penegasi-an al-Umm sebagai karya al-Shāfi’ī)?. Ia mengupas kitab al-Umm, mencari penggalan-penggalan fragmennya (narrative breaks), sekaligus mencari ragam inkonsistensi dan pengulangan yang menurutnya menjadi bukti bahwa kitab ini ditulis oleh beberapa penulis selama beberapa periode berbeda.

Adalah Ahmed Shamsy yang dengan serius merespon thesis-thesis provokatif Calder. Lewat artikelnya berjudul ‘al-Shāfi’ī‘s Written Corpus’, Shamsy melakukan kritik sumber (a source-critical study) tandingan untuk membantah hampir semua argumen Calder.

Pertama, ia mengingatkan bahwa al-Umm bukanlah kitab yang memuat satu ide tunggal dalam keseluruhan halamannya. Kitab ini dibuat bersegmen-segmen dan memuat beragam pembahasan tentang topik hukum tertentu (masā’il). Dengan demikian, tandas Shamsy, riset Calder salah sasaran sejak awal karena telah mengandaikan sebuah kitab yang didesain oleh pengarangnya memuat topik-topik hukum terpisah, sebagai buku yang memiliki alur narasi yang saling terhubung dan berkelanjutan. Dari titik ini, Shamsy tidak segan-segan menilai Calder telah salah paham (misunderstood).

Lewat kajiannya, Shamsy menyimpulkan bahwa dalam penulisan al-Umm, al-Shāfi’ī sangat memperhatikan akurasi data, sekaligus sangat kritis dalam berinteraksi dengan sumber-sumber yang ia rujuk. Tak hanya itu, al-Shāfi’ī selalu melakukan penge-cek-an ganda antara apa yang ia hafal dengan apa yang ia temukan dari sumber-sumber tertulis maupun oral. Puncaknya, al-Shāfi’ī tidak segan-segan mengakui bagian dari bukunya yang ia anggap lemah.

Kedua, usaha Calder untuk menempatkan waktu kelahiran al-Umm jauh setelah masa al-Shāfi’ī, dan bahkan setelah masa muridnya, al-Rabī’ (w. 870) tidak beralasan (does not hold water). Shamsy membuktikan bantahannya ini dengan mengkomparasikan al-Umm dengan kutipan-kutipan (baik verbatim maupun non-verbatim) darinya yang bertebaran di kitab-kitab abad ke-3/9 dan 4/10. Meskipun sebagian besar karya sarjana Muslim di periode ini tidak sampai pada kita, tapi kitab-kitab yang berhasil selamat memuat kutipan-kutipan yang identik dengan isi al-Umm. Artinya, kuliah-kuliah yang diberikan al-Shāfi’ī memiliki pengaruh besar pada masa murid-muridnya, bukan sebaliknya sebagaimana yang dituduhkan Calder.

Ada tiga kitab yang dijadikan acuan oleh Shamsy. Ketiganya ditulis pasca meninggalnya al-Shāfi’ī: Ta’ẓīm Qadr al-Ṣalāh karza al-Marwazī (818-906), Iḫtilāf al-Fuqahā’ karya al-Ṭabarī (w. 923) and Aḥkām al-Qur’ān karya al-Jahḍamī (w. 896). 

Indikasi kedua bahwa teks al-Umm yang kita baca sekarang ini adalah benar dari al-Shāfi’ī nampak dari pembagian bab-bab di dalam magnum-opus tersebut. Shamsy membandingkan daftar isi al-Umm cetakan sekarang dengan informasi mengenainya dalam kitab-kitab klasik seperti karya Abū Bakr al-Aṣamm (816-892), Ibn al-Nadīm (w. 995), al-Bayhaqī (944-1066), dan Yāqūt al-Ḥamawī (w. 1229). Shamsy menemukan bahwa dalam kitab-kitab tersebut, tidak ada konsensus tentang berapa jumlah bab dalam al-Umm yang sebenarnya. Berbeda dengan terbitan modern yang memuat 70 bab (jumlah ini sama dengan yang disebut di dalam Musnad al-Shāfi’ī karya Abū Bakr al-Aṣamm), kitab-kitab lain menyebut angka yang berbeda: 104 bab oleh Ibn al-Nadīm, 128 bab oleh al-Bayhaqī dan 214 bab oleh al-Ḥamawī.

Meski berbeda, kerangka utama bab-bab tersebut identik satu dengan lain. Shamsy juga meyakini, sangat mungkin penamaan bab-bab tersebut berasal langsung dari al-Shāfi’ī sendiri, karena ia menemukan kesaling-rujukan antara bab-bab di dalam al-Umm. 

Selain membandingkan al-Umm dengan tiga kitab di atas, Shamsy juga melihat secara detil dua kitab lain, masing-masing karya al-Buwayṭī (w. 846) dan al-Muzanī (791-877). Keduanya meringkas (abridged) sekaligus me-paraphrase-kan ulang beberapa bagian al-Umm. Di titik ini, keduanya memang melakukan improvisasi dan perubahan terhadap isi kitab al-Shāfi’ī. Improvisasi ini tidak seyogyanya dibesar-besarkan sebagai alasan menolak otentisitas al-Umm. Dalam taraf tertentu, sedikit tambahan pada naskah original adalah sesuatu yang sangat umum terjadi. Hal-hal seperti ini, tegas Shamsy, justru menjadi bagian dari mekanisme transmisi pengetahuan di sekitar masa hidup sang imam.

Dalam kesimpulannya, Shamsy meyakini ia telah meruntuhkan basis argumen Calder yang meragukan otentisitas al-Umm. Perbandingan yang teliti terhadap sumber-sumber yang tersedia menunjukkan fakta sebaliknya. Menurut Shamsy, kitab al-Umm yang sekarang adalah otentik karya al-Shāfi’ī. Meskipun Shamsy sadar, ia tidak bisa membuktikan otentisitas al-Umm kata-per-kata, integritas al-Umm sebagai sebuah teks dengan pengarang tunggal tidak bisa dinafikan.

Jika bukti-bukti, analisa serta kesimpulan Shamsy cukup meyakinkan, apa implikasinya bagi kajian modern tentang al-Shāfi’ī?. Jelas sekali. Shamsy meletakkan fondasi riset modern tentang bagaimana al-Umm sebaiknya tetap diposisikan pada tempatnya, sebagai karya tentang hukum Islam terpenting di periode formatif-nya.

How to cite this Article: Mu’ammar Zayn Qadafy, “Benarkah ‘al-Umm’ Ditulis Oleh al-Shafi’i (767-820)? (Ahmed Shamsy membantah Norman Calder)”, studitafsir.com (blog), June 25, 2021 (+ URL dan tanggal akses).

Detil Artikel yang diringkas: Ahmed Shamsy, ‘al-Shāfi’ī’s Written Corpus: A Source Critical Study’, Journal of the American Oriental Society , Vol. 132, No. 2 (April-June 2012), pp. 199-220. Artikel bisa didownload di sini. Tinggalkan komentar jika anda kesulitan mengakses artikel ini.

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 80

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Unknown