Stay Connected With Us

Ujian Disertasi Yang Sebenarnya
Hari ini (27/8/21), secara resmi, saya berhasil mempertahankan disertasi dengan judul ‘THE EARLY CHRONOLOGICAL INTERPRETATION OF THE QUR’AN: Al-Muḥarrar al-Wajīz of Ibn ʿAṭīyah al-Andalusī (483-541/ 1088-1147)’.
Tesis ini telah mengalami perjalanan panjang yang ‘melelahkan’ sekaligus ‘menyenangkan’. Sebelum sampai pada bentuknya yang sekarang, bagian-bagian dari thesis ini telah saya presentasikan di beberapa konferensi, utamanya di Ankara, Münster dan Istanbul. Di masing-masingnya, asumsi, teknik serta arah riset saya terus berevolusi.
Johanna Pink (Freiburg) dan Walid Saleh (Toronto) setuju memberikan nilai 1,7 untuk thesis, dan 1,7 untuk ujian oral. Artinya, secara komulatif, saya lulus dengan nilai 1,7 (Magna Cumlaude). Sebagai catatan, Jerman memiliki konversi nilainya sendiri. Semakin sedikit nominal nilainya, semakin baik hasil yang didapatkan.
Jalannya Sidang
Ujian disertasi berlangsung kurang lebih 1,5 jam. Di 20 menit pertama, saya mempresentasikan tanggapan saya terhadap review tertulis yang sudah diberikan sebelumnya oleh Johanna dan Walid. Sambil menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis mereka, saya merujuk silangkan dengan temuan-temuan dalam disertasi. Adapun Nadja Germann (Freiburg), bertindak sebagai host sekaligus perwakilan dari Fakultas Filsafat Uni Freiburg yang mencatat dan mengawasi jalannya sidang.
Tampak dalam gambar di atas, ujian dilakukan secara sederhana, dengan kostum kasual dan suasana yang cair lagi menyenangkan. Bagi sebagian orang, prosesi ini janggal dan kurang sakral. Tapi, kami yang tumbuh dan dibesarkan selama empat tahun di Jerman tahu betul, substansi ujian promosi Doktor bukan terletak pada seberapa meriah ujian beserta upacara penganugerahan gelarnya. Substansinya justru terletak pada seberapa nyaman kandidat Doktor mampu merespon dan berinteraksi dengan para pengujinya secara santai, namun lugas dan bernas.
Ujian yang Sebenarnya
Ujian oral berhadapan dengan 3 professor kawakan ini, meski cukup memeras otak dan mental, bukanlah ujian kelulusan saya yang sebenarnya. Tahun 2021, alih-alih menjadi tahun kebahagiaan yang penuh selebrasi, adalah tahun yang kelam bagi keluarga kecil kami. Setelah pada bulan Maret ibu mertua saya meninggal, empat puluh hari kemudian ibu kandung saya turut berpulang. Keduanya menyusul Bapak yang telah lebih dulu menghadap Allah SWT tiga tahun lalu.
Praktis, ketiganya belum pernah kami jumpai sejak keberangkatan kami ke Jerman pada akhir 2017. Jika tahu akan begini, mungkin kami akan memilih untuk tidak usah ke Jerman saja.
Bulan-bulan setelahnya adalah titik nadir dari saya sebagai seorang pribadi sekaligus intelektual. Saya, secara harfiyah, hilang arah, motivasi dan tujuan. Tiga orang yang berpulang adalah tiga orang yang barangkali paling berbahagia atas kelulusan saya nanti. Meskipun ketiganya bukanlah akademisi, saya yakin mereka akan bangga menyaksikan anaknya berhasil menaklukkan ganasnya perjuangan meraih gelar Doktor di Jerman. Pada fase ini, jangankan membaca buku atau menulis, membuka laptop saja saya enggan.
Jika ada yang bisa menyembuhkan luka di hati kami pasca berpulangnya ketiga orang tua kami, itu adalah waktu.
Sementara tak henti-hentinya kami menalar dan meraba hikmah dari cobaan yang bertubi-tubi datang, dukungan moral dan spiritual datang dari orang-orang terdekat. Merekalah yang membantu kami bangkit dari keterpurukan, mengangkat semangat yang telah padam dan menunjukkan kami jalan panjang cita-cita yang pernah kami ikrarkan. Kepada orang-orang terdekat itu, saya berterima kasih sedalam-dalamnya.
Saya ingat betul, ketika Bapak kandung dan Ibu mertua saya meninggal, saya membuat status Facebook untuk mengenang kepergian mereka. Jumlah likes-nya melejit jauh melampaui yang biasa saya dapatkan untuk postingan studitafsir.com. Di mana-mana, tak terkecuali di media sosial, kabar buruk memang jauh lebih menarik perhatian.
Lalu ketika Ibuk meninggal, saya hendak membuat postingan serupa, sebelum saya berpikir ulang. Apa yang saya inginkan dari jempol-jempol maya itu?.
Saya memutuskan, Saya tidak ingin BELAS KASIHAN, tapi saya ingin PENGAKUAN.
Biarlah saya dan orang-orang yang benar-benar tulus hatinya yang akan mendoakan Bapak dan Ibu Kami. Lahumul fatihah….