Tafsir Kronologis dan Perkembangan Ulūm al-Qurʾān: Review Tulisan Mu’ammar Zayn Qadafy Tentang Ibn ʿAṭīyah (w. 1146)
Oleh: Annas Rolli Muchlisin
Artikel terbaru Mu’ammar Zayn Qadafy (Ngawi) yang baru saja terbit di Australian Journal of Islamic Studies 6, no. 4 (2021) layak disambut dengan diskusi hangat dan saling bertukar pikiran (idea exchange). Penemuannya akan adanya kesadaran pembacaan kronologis dalam literatur tafsir abad pertengahan, dalam hal ini tafsir Ibn ʿAṭiyyah (w. 1146), mengusik dan mempertanyakan beberapa klaim kesarjanaan yang memandang bahwa model pembacaan kronologis atas al-Qur’an adalah ‘murni’ produk keilmuan kontemporer. Memang harus diakui bahwa pendekatan diakronis menemukan momentumnya secara gegap gempita di era modern, baik di kalangan sarjana Muslim maupun Barat, tetapi menilai bahwa sensitivitas ini absen dari perhatian penulis tafsir abad pertengahan adalah pandangan yang, menurut hemat kami dan dibuktikan oleh penelitian Qadafy, cenderung simplistik.
Dalam artikel yang merupakan bagian dari disertasinya di Albert-Ludwigs Universität ini, Qadafy memperlihatkan bagaimana sensitivitas kronologis mewarnai dan menuntun Ibn ʿAṭiyyah dalam menginterpretasi ayat-ayat zakat dalam al-Qur’an. Misalnya, secara kronologis, surah al-A‘raf (7): 156 turun di periode Mekkah, karenanya kata “zakāh” dalam ayat ini tidak ditafsirkan oleh Ibn ʿAṭiyyah untuk merujuk kepada aktivitas mengeluarkan sebagian harta (makna yang sudah spesifik) karena kewajiban mengeluarkan zakat berupa harta baru dimulai ketika Nabi Muhammad berada di Madinah. Dalam pandangan Ibn ʿAṭiyyah, sebagaimana ditunjukkan Qadafy, kata zakāh dalam ayat-ayat Makkiyyah lebih merujuk kepada “perbuatan” yang dapat membersihkan hati (al-aʿmāl al-latī yuzakkūna bihā anfusahum) ketimbang berkaitan dengan “harta benda”. Barulah pada ayat-ayat yang secara kronologis turun kemudian, kata zakāh mulai diasosiasikan dengan makna yang lebih spesifik. Keunikan eksegesis Ibn ʿAṭiyyah ini menjadi jelas ketika Qadafy membandingkannya dengan al-Ṭabarī (w. 923) dan penafsir-penafsir lain yang belum menunjukkan sensitivitas kronologis ini. Ibn ʿAṭiyyah, meski tafsirnya disusun sesuai urutan mushaf Utsmani, telah berusaha melakukan apa yang para penulis modern sebut sebagai upaya “membaca al-Qur’an berdasarkan perkembangan karir kenabian Muhammad.”
Qadafy selanjutnya mencoba menelusuri mengapa penafsir sebelum Ibn ʿAṭiyyah belum mengembangkan kesadaran ini. Ṭabarī, misalnya seperti diulas Qadafy, menafsirkan ayat-ayat zakat dalam surah Makkiyyah sebagai zakat wajib sebagaimana yang kita pahami saat ini (makna spesifik). Rasionalisasi yang ditawarkan Qadafy adalah karena para penafsir ini sangat berpegang erat kepada model pembacaan sinkronis dan analisis struktural (due to their loyalty to the synchronic methodology of displaying Qur’ānic commentary on the one hand and to the structural analysis of the Qur’ānic verses on the other). Alasan ini logis, namun saya ingin menambahkan pandangan lain. Di era Ṭabarī, karya-karya terkait ‘ulūm al-Qur’ān belum sebanyak dan sekompleks di zaman Ibn ʿAṭiyyah. Kesadaran kronologis Ibn ʿAṭiyyah muncul setelah ia membaca beberapa karya ‘ulūm al-Qur’ān, yang dalam catatan Qadafy ditulis oleh Ibn Ḥabīb al-Nīsābūrī (d. 1015), al-Dānī (d. 1052), dan al-Baihaqī (d. 1066). Menulis dua abad sebelum Ibn ʿAṭiyyah, Ṭabari tentu menggunakan perangkat keilmuan yang tersedia di eranya. Seiring perkembangan zaman dan semakin banyaknya ilmu-ilmu tafsir ditulis, Ibn ʿAṭiyyah memanfaatkan karya-karya yang beredar di masanya. Dengan demikian, ini tidak hanya sejarah mengenai kedua penafsir tersebut, tetapi juga merefleksikan iklim keilmuan yang berkembang di masa keduanya.
Meneliti sebuah karya tafsir dengan mempertimbangkan perkembangan diskursus ‘ulūm al-Qur’ān atau wacana keilmuan Islam lainnya belum mendapat perhatian yang cukup di kalangan sarjana. Meski studi tafsir di akademia Barat semakin bergemuruh dan thought-provoking, beberapa literatur yang terkait erat dengan dunia tafsir masih terabaikan. Walid Saleh (Toronto), misalnya, telah lama menyesalkan terpinggirkannya ḥāshiyah dalam upaya meneliti resepsi atas suatu teks tafsir. Padahal menelaah karya-karya yang berada “di luar” tafsir tetapi memiliki kaitan erat dengannya tentu dapat memberikan gambaran yang lebih holistik.
Penelitian David S. Powers dapat dikemukakan sebagai salah contoh di sini. Ia meneliti bagaimana konsep nāsikh mansūkh mengalami perkembangan dari masa ke masa. Dalam observasinya, ia menemukan bahwa jumlah ayat yang dianggap para mufassir telah di-nasakh mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari abad ke-8 hingga ke-11 M. Al-Zuhrī (w. 742) misalnya mengatakan ada 42 ayat yang di-nasakh, al-Naḥḥās (w. 949) 138 ayat, Ibn Salāmah (w. 1020) 238 ayat, sedangkan al-Fārisī (tahun wafat tidak bisa dilacak) 248 ayat. Dalam pandangan Powers, ada dua alasan yang menjelaskan peningkatan ini. Pertama, pengaruh diskusi intens di kalangan ahli fiqh terkait fenomena naskh, dan kedua, adanya pergeseran medan semantik. Jika ulama fiqh memahami naskh sebagai penggantian suatu hukum dengan hukum yang lain maka ulama tafsir memperluas cakupan maknanya yang juga meliputi makna pengkhususan dan pengecualian.
Penemuan Powers ini relevan untuk menjelaskan bagaimana karya tafsir dipengaruhi oleh diskursus ‘ulūm al-Qur’ān, dalam hal ini teori naskh, serta wacana ‘ulūm al-Qur’ān diwarnai oleh diskusi keilmuan yang lebih luas, dalam contoh ini fiqh. Ada keberkelindanan (interconnectedness) di antara berbagai cabang keilmuan ini, dan upaya meneliti suatu teks tafsir mensyaratkan juga perhatian terhadap interrelasi berbagai cabang disiplin ilmu ini. Tulisan Qadafy, yang di samping mengalisa tafsir Ibn ʿAṭiyyah secara spesifik juga melacak pemikiran dan metode eksegesis sebelumnya, telah berhasil menerapkan model pembacaan yang melihat tafsir sebagai, dalam istilah Walid Saleh, tradisi genealogis. Model ini bisa kita kembangkan dengan mempertimbangkan juga diskursus keilmuan yang lebih luas. Baru-baru ini, Majid Daneshgar melayangkan kritik kepada para peneliti yang sangat spesialis, misalnya dalam studi tafsir, tetapi tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap bidang keilmuan lain. Padahal, lanjut Daneshgar, literatur tafsir yang kita teliti tidak hanya memuat pandangan eksegesis, tetapi di dalamnya juga muncul diskusi-diskusi teologi, hadis, fiqh, grammatika Arab, dan cabang lainnya. Walid Saleh sering menasihati kami di kelas, “jadilah spesialis yang mendalam, tetapi juga mengetahui what’s going on di bidang studi yang lain.”
Terakhir, tulisan dan proyek yang diusung Qadafy dan tim studitafsir.com membawa angin harapan baru bagi studi tafsir klasik dan abad pertengahan di tanah air mengingat bahwa tema ini sudah hampir mengalami sakaratul maut seperti yang ditunjukkan dalam tulisan Qadafy yang lain berjudul, “Jurnal Nun dan Matinya Kajian Tafsir Klasik: a Preliminary Survey” Sementara di akademia Barat, studi tafsir semakin berkembang. Buku-buku khusus studi tafsir bermunculan, seperti Tafsir: Interpreting the Qur’an (ed. Mustafa Shah) – sayang sekali buku ini tidak tersedia di perpus UIN Jogja, justru ada di Perpus Ignasius – atau buku lain, seperti Aims, Methods and Contexts of Qur’anic Exegesis (ed. Karen Bauer) dan Tafsir and Intellectual History (ed. Andreas Gorke dan Johanna Pink). Perlu lebih banyak lagi tulisan dan riset seperti yang dilakukan Qadafy sehingga kita bisa beralih dari asumsi lama yang menilai tafsir abad pertengahan hanya ‘repetitif, membosankan, dan kolektor riwayat semata.’ Dengan demikian, kesarjanaan di tanah air bisa lebih merayakan tafsir beserta cabang disiplin lainnya sebagai bagian dari sejarah intelektual Islam (Islamic intellectual history).
How to cite this Article: Annas Rolli Muchlisin, “Tafsir Kronologis dan Perkembangan Ulūm al-Qurʾān: Review Tulisan Mu’ammar Zayn Qadafy Tentang Ibn ʿAṭīyah (w. 1146)”, studitafsir.com (blog), December 16, 2021 (+ URL dan tanggal akses).
Download Artikel Qadafy di sini.