Realita Kajian Studi Living Quran: interview bersama Ahmad Rafiq

Kami berbincang-bincang dengan Ahmad Rafiq, seorang intelektual yang dianggap trend-setter kajian Living Qur’an (selanjutnya ditulis LQ) di Indonesia, berkaitan dengan artikel terbarunya tentang fondasi epistemologis term ini dan hubungannya dengan status terkini kajian ini di Indonesia.

StudiTafsir (ST)           : Fenomena apa yang paling mengganggu anda mengenai LQ di Indonesia?

Ahmad Rafiq (AR)      : Saya perhatikan beberapa tahun belakangan, ada dua tema yang paling dominan dibahas dalam Tugas Akhir mahasiswa Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, khususnya di UIN Sunan Kalijaga: Hermeneutika al-Qur’an dan LQ. Itu cukup membuat saya senang di satu sisi karena tawaran saya diterima secara luas oleh para mahasiswa. Namun di sisi lain, ada beberapa hal fatal yang tidak sesuai dengan harapan saya.

ST                                : Ini pernyataan yang menarik dari seorang penggagas sekaligus pakar kajian LQ.

AR                               : Well, seringkali sebuah wacana menggelinding liar tanpa mampu dikontrol. Tak terkecuali wacana akademik mengenai kajian LQ.

ST                                : Apakah dengan demikian, artikel terbaru anda ingin menata ulang hal-hal yang “menyimpang“ tersebut?

AR                               : To some extent, iya. Karena harus saya akui, belum ada landasan epistemologis dan filosofis yang kuat mengenai term ini sejak ia pertama kali muncul lima belas tahun lalu.

ST                                : Baik, apa kegelisahan utama anda?

AR                               : Yang paling vulgar adalah adanya kesalah-pahaman laten di kalangan dosen dan mahasiswa bahwa LQ itu adalah kajian antropologis (dan dalam taraf tertentu sosiologis) an sich terhadap teks al-Qur’an. Bahwa antropologi, sebagai sebuah pendekatan, akan bermain banyak dalam menganalisa fenomena interaksi umat Islam dengan al-Qur’an adalah sebuah keniscayaan. Tetapi sedari awal, saya mengidealkan LQ sebagai model kajian terpadu atas teks al-Qur’an dan teks-teks lain yang mengitarinya. Pada tahap pertama, seorang peneliti harus memahami betul makna dan sejarah intelektual yang terkandung dalam sebuah teks al-Qur’an. Baru kemudian, ia bisa mengembangkan analisanya dengan perangkat ilmu sosial, ketika bersinggungan dengan pola-pola interaksi teks tersebut dengan komunitas Muslim.

ST                                : Apa itu artinya, banyak mahasiswa yang abai dengan tahapan pertama (studi teks) dan langsung melompat pada tahapan kedua?

AR                               : Tepat sekali. Banyak dari mereka yang dengan sombongnya datang kepada saya dengan seperangkat teori ilmu sosial mutakhir yang diklaim mampu memberikan alternatif pemahaman yang berbeda mengenai fenomena LQ tertentu, tanpa memilki basis studi teks yang kuat. Saya bisa pastikan, sejauh ini hanya segelintir mahasiswa saja yang proposal tugas akhirnya mengenai LQ saya restui karena memenuhi kriteria kecakapan kajian teks ini tadi. Bahwa ternyata jumlah tugas akhir mengenai LQ terlihat membludak, itu pasti lewat dosen-dosen lain.

ST                           : Bisakah anda memberikan contoh konkrit mengenai keharusan analisa berbasis teks dan sejarah intelektual dalam kajian LQ?

AR                          : Saya memberi contoh sederhana dalam artikel terbaru tentang LQ dalam sub-bab ‘Transmission and Transformation‘. Pelacakan terhadap khazanah intelektual Islam klasik memberi gambaran yang jelas mengenai bagaimana sebuah bagian dari al-Qur’an berkembang penerimaannya di kalangan umat Islam. Al-Bukhārī (w. 256/ 870) memahami riwayat tentang pembacaan surat al-Fātiḥah sebagai penunjuk status hukumnya, sementara al-Nawāwī (w. 676/1277) menggunakan riwayat tersebut sebagai dasar pelafalan al-Fātiḥah dalam ritual-ritual tertentu, sebuah model resepsi performatif yang nanti dikembangkan sedemikian rupa oleh al-Nazili (w. 1300/1884).

ST                           : apa yang ingin anda tekankan dalam contoh ini?

AR                          : Utamanya bahwa khazanah intelektual Islam itu teramat kaya dengan detil-detil yang mengagumkan, termasuk mengenai LQ. Mengabaikan kajian filologis yang proper terhadap sumber-sumber tak ternilai ini hanya akan mencerabut LQ dari koridor asalnya sebagai bentuk kajian advanced dari studi al-Qur’an.

ST                           : Tetapi ada kesan bahwa disertasi anda di Temple kurang menonjolkan kajian teks dan sejarah.

AR                          : Itu saya akui. Tapi banyak orang yang tidak tahu sejarah di balik munculnya disertasi saya itu. Pertama, karena aturan batasan halaman disertasi, saya harus memangkas hampir seratus halaman dari versi asli yang saya tulis. Karena saya pikir atraksi utama dari disertasi saya adalah bagian studi lapangan di masyarakat Banjar, dengan sangat terpaksa saya harus menghilangkan satu bab khusus tentang kajian teks-teks al-Qur’an yang muncul dalam riset saya berikut sejarahnya. Kedua, saat hendak diujikan, data-data wawancara yang saya dapatkan susah payah telah habis masa berlakunya. Jika dipaksakan, saya akan melanggar kode etik pengumpulan data yang berlaku di Temple. Karenanya, sesuai arahan supervisor, saya mengubah data-data wawancara yang adalah kutipan verbatim, menjadi data-data observasi yang sering tidak terlalu tajam dan to the point. Dua alasan ini yang menurut saya menutupi nuansa kajian teks dan sejarah dari disertasi saya.

ST                           : Itu sangat disayangkan.

AR                          : Apapun itu, disertasi saya telah terbit dan banyak mahasiswa dan dosen yang telah membacanya. Saya hanya berharap mereka tidak melompat ke bagian kesimpulan dan fokus pada pembagian fungsi teks al-Qur’an ke jenis yang informatif dan performatif.

ST                           : Well, kita punya tugas besar untuk memutar pendulum kajian LQ ke model riset yang sebenarnya anda inginkan. Dan saya kira, artikel anda muncul di saat yang tepat, sebelum arah kajian LQ di Indonesia melenceng terlalu jauh. Apakah ada catatan yang ingin anda tekankan?

AR                          : Itu tadi. LQ itu basisnya adalah studi teks al-Qur’an dan sejarah penerimaan atas teks tersebut dalam tradisi Umat Islam. Ia adalah model kajian diakronik yang menganggap penting semua informasi mengenai al-Qur’an yang hidup dan dihidupkan di masa lalu hingga masa sekarang. Memutus salah satu dari mata rantai informasi diakronis ini akan mendistorsi data-data dari fenomena LQ yang teramat kaya, unpredictable dan tidak monoton.

ST                           : very well-said. Kami meminta izin untuk me-review tulisan anda di website kami.

AR                          : dengan senang hati

 

How to cite this Article: ”Realita Kajian Studi Living Quran”, studitafsir.com (blog), Februari 16, 2022 (+ URL dan tanggal akses).

Untuk berdiskusi silahkan tinggalkan komentar.

 

 

 

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 80

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  1. Mau izin bertanya berkaitan dengan Living Qur’an (LQ), kan saya mau mengambil judul skripsi tentang LQ yang membahas tentang perbedaan Al-Qur’an Qudus dan Al Qur’an kmenag, Berti tindakan yang paling awal saya harus Lakukan untuk meneliti harus bagaimana nggeh pak ?
    Terimakasih

    • Klo mnrut kami, perjelas dulu yang mau dikomparasikan apanya… Apakah khat atau model waqf n ibitida’ kah? Atau resepsi masyarakat atasnya?
      Kalau yang kedua, pastikan metode risetnya sesuai standar riset ilmiah dr segi pmilihan smple, rasionalisasi rumusn maslah, kajian sejarah kedua mushaf dll.
      Kalau sdah ketemu data datanya, nanti temuan itu dianalisa dan disajikan… Intinya nggak usah risau dng apakah itu trmasuk kajian LQ atau bukan.

Unknown