Living Qur’an Setelah Lima Belas Tahun (Tawaran Definisi Ahmad Rafiq)

Oleh: Mu’ammar Zayn Qadafy

 

Untuk urusan ‘kemapanan‘ fondasi sebuah cabang ilmu, lima belas tahun adalah waktu yang terlampau singkat. Ibarat kue, ia masih dalam bentuk adonan yang bisa dibentuk menjadi apapun menurut tangan pembuatnya. Beberapa orang yang melihat adonan itu terlalu lembek bisa saja menambahkan ‘beberapa sendok tepung dan bahan-bahan lain‘. Di saat yang sama, orang-orang yang merasa komposisi adonannya sudah pas, akan setia menunggu hingga ia mengembang sempurna.

Adalah artikel Ahmad Rafiq (Yogyakarta) yang cukup menyita perhatian publik penikmat kajian Living Qur’an (LQ) di tanah air baru-baru ini . Pasalnya, Rafiq adalah orang Indonesia pertama yang disertasinya di Temple University (tahun 2014) dikhususkan pada kajian atas resepsi masyarakat Muslim (di Banjar) terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Yang membuat artikel ini ‘mencengangkan‘ adalah klaim Rafiq bahwa sampai saat ia ditulis, belum ada karya yang menyediakan infrastruktur epistemologis sekaligus metodologis yang stabil dan fondasional untuk kajian LQ.

Al-Qur’an Yang Hidup

Padanan bahasa Arab untuk istilah LQ adalah al-Qurʾān al-Ḥayy. “Ide dasar dari istilah ini adalah bahwa al-Qur’an itu hidup atau dihidupkan oleh komunitasnya, baik melalui penafsiran maupun praktik-praktik tertentu“, tegas Rafiq. Bagi sementara penikmat kajian LQ, definisi yang diusulkan Rafiq ini cukup janggal, karena ia memasukkan praktik penafsiran yang sifatnya abstrak dan berhubungan dengan alam pikiran sebagai satu bentuk fenomena al-Qur’an yang hidup. Ini bertentangan dengan asumsi umum yang berkembang bahwa LQ adalah melulu tentang ritual atau perilaku tertentu di masyarakat yang berhubungan dengan bagian tertentu dari al-Qur’an.

Nampaknya jelas sekarang, bahwa Rafiq, dan siapapun yang seide dengannya, mengidealkan LQ sebagai fenomena yang kompleks, baik di tataran ide maupun praktek. Adapun jika sementara ini sisi kedua yang lebih dominan dikaji, itu memang karena ia lebih ditekankan agar perhatian terhadapnya sama besarnya dengan perhatian pada wacana pertama.

Dari sisi ini, kegelisahan Rafiq mengenai banyaknya pengkaji fenomena LQ yang lari dari kajian filologis atas teks al-Qur’an dan tafsir-tafsir atasnya, sebagaimana diulas dalam wawancara StudiTafsir pekan lalu, sangat masuk akal. Sebagaimana klaimnya, sedari awal Rafiq mengidealkan kajian atas LQ sebagai kajian diakronis tentang bagaimana al-Qur’an bergumul dengan komunitas orang beriman dari masa ke masa.

Padanan LQ dalam Bahasa Inggris

Dari segi tata bahasa Inggris, ada tiga padanan frasa yang menurut Rafiq bisa dikaitkan dengan fenomena al-Qur’an yang hidup atau dihidupkan: Living the Qur’an, the Lived Qur’an atau the Living Qur’an. Dua frasa pertama memiliki kesamaan dalam memberi penekanan bahwa aktor utama dari fenomena al-Qur’an yang hidup adalah manusia, sementara al-Qur’an berkedudukan sebagai obyek perilaku semata. Sebaliknya term ketiga, yang kemudian dipakai secara luas di Indonesia menekankan bahwa al-Qur’an lebih dari sekedar obyek pasif saja, melainkan punya andil dalam menentukan makna (defining meanings) dan membentuk perilaku (shaping practices).

Elaborasi Rafiq tentang rasionalisasi linguistik di atas adalah pengantar untuk klaimnya yang lebih besar, bahwa kesakralan al-Qur’an sebagai teks suci tidak lantas menjadikannya harta karun yang untouchable. Sebaliknya, disakralkannya al-Qur’an oleh komunitas Muslim adalah awal dari pola interaksi kedua kubu yang khas, interaktif dan hidup. Untuk tujuan ini, Rafiq mengutip teori relasionalitas teks suci dengan penganut agama yang dicetuskan William Graham. Dalam kasus al-Qur’an, ia menerima (receives) sekaligus membentuk (forms) keberagamaan umat Islam.

Dalam kesarjanaan Rafiq, Al-Qur’an adalah Seperti Koin Bersisi Dua. Ia bisa memiliki fungsi informatif atau performatif. Yang pertama berkaitan dengan proses umat Islam membaca dan meresapi makna teks al-Qur’an, sementara yang kedua berkaitan dengan lahirnya sebuah aksi tertentu dari hasil bacaan di awal. Sebagai ilustrasi, tafsir atas Surat al-Fātiḥah atau surat-surat al-Qur’an yang lain merujuk pada fungsi informatif. Sementara praktik-praktik penggunaan surat-surat ini untuk tujuan tertentu dalam perilaku tertentu bisa dikaitkan dengan fungsi performatif teks tersebut.

Transmisi dan Transformasi

Selain elaborasi teoretis atas term LQ, hal menarik lain dari artikel Rafiq adalah penekanannya pada resepsi atas al-Qur’an yang dinamis dan terus berubah dari waktu ke waktu. Bagi al-Bukhārī (w. 256/ 870) misalnya, riwayat tentang pembacaan surat al-Fātiḥah oleh seorang sahabat Nabi untuk mengobati penyakit tertentu hanya dijadikan dasar hukum dibolehkannya menggunakan ayat-ayat tertentu untuk pengobatan. Riwayat yang sama oleh al-Nawawī (w. 676/1277) dijadikan alasan dari anjurannya untuk melantunkan al-Fātiḥah dalam ritual-ritual tertentu, sebuah model resepsi performatif yang nanti dikembangkan sedemikian rupa oleh al-Nāzilī (w. 1300/1884).

Contoh di atas hanyalah satu di antara sekian ribu kasus transmisi dan transformasi dari peran teks al-Qur’an tertentu di komunitas Umat Islam. Lewat contoh sederhana ini, Rafiq seakan memotivasi pembacanya agar siapapun yang tertarik dengan kajian LQ tidak mengenyampingkan proses transmisi dan transformasi yang terkandung dalam setiap fenomena LQ, karena penelusuran ini akan mampu mengungkap sejarah intelektual Islam yang teramat kaya.

Catatan Akhir

Kemunculan artikel Rafiq ini membawa angin segar bagi perkembangan wacana kajian LQ yang tengah berada dalam periode formasi awal yang sangat krusial. Tiga poin yang telah dielaborasi di atas (rasionalisasi istilah LQ dalam Bahasa Arab dan Inggris, sifat ganda dari al-Qur’an sebagai akibat dari persentuhannya dengan imaji dan kreatifitas umat Islam, serta proses transmisi dan transformasi yang secara diakronik terus terjadi sepanjang sejarah) penting untuk direnungkan oleh siapapun yang memiliki concern terhadap kajian LQ.

Meski demikian, siapapun yang teliti membaca artikel Rafiq ini akan menemukan bahwa Rafiq kurang ‘berbaik hati’ dalam menjabarkan ide-idenya. Penjelasannya di beberapa tempat terlalu singkat sehingga menyusahkan pembaca untuk menangkap maksud utama yang diinginkan. Yang paling mencolok adalah munculnya kategorisasi yang bisa jadi sebenarnya penting dalam narasi besar LQ, tetapi menjadi tidak signifikan bagi ide-ide spesifik yang artikel ini suguhkan. Kategorisasi yang dimaksud adalah penyebutan tiga tipe transmisi ilmu dalam tradisi Islam yang nanggung dan ‘ala-kadarnya’.

Apapun itu, artikel Rafiq sepatutnya dirayakan. Tidak seperti mereka yang melihat adonan kue LQ terlalu lembek, Rafiq justru menganggapnya terlalu keras dan kaku. Ia lantas menegaskan perlunya menambahkan unsur-unsur pencair, dan ia membubuhkannya tepat di inti perkara: definisi.

 

How to cite this Article: Mu’ammar Zayn Qadafy, “Living Qur’an Setelah Lima Belas Tahun (Tawaran Definisi Ahmad Rafiq)”, studitafsir.com (blog), Februari 23, 2022 (+ URL dan tanggal akses).

Artikel Ahmad Rafiq bisa didownload di sini.

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 80

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Unknown