
Islah Gusmian dan Potret Tafsir Al-Qur`an di Era Orde Baru
Oleh: Husnul Maab
Islah Gusmian (Solo) adalah satu nama yang tidak asing lagi dalam wacana tafsir Indonesia. Karya-karyanya sukses menasbihkan ia sebagai salah satu pakar di bidang tersebut. Satu di antara bukunya yang cukup populer adalah,“Khazanah Tafsir di Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi”. Buku ini lumayan lengkap memotret diskursus perkembangan tafsir yang ada di Indonesia. Setelah buku ini, tepatnya pada tahun 2019 lalu, Islah Gusmian Kembali menelurkan satu karya menarik terkait diskursus tafsir Al-Qur`an di Indonesia, yang ia beri judul, “Tafsir Al-Qur`an dan Kekuasaan di Indonesia: Peneguhan, Kontestasi, dan Pertarungan Wacana”. Buku setebal 400 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Salwa, Yogyakarta. Berbeda dengan bukunya yang pertama, bahasan buku kedua ini eksklusif membincang diskursus tafsir Al-Qur`an pada masa orde baru.
Tafsir Al-Qur`an, apakah sebagai proses atau sebagai produk, tidak akan pernah bisa dilepaskan dari konteks kemunculannya. Akan selalu terjadi dialektika antara tafsir di satu pihak, dengan ruang sosial di pihak yang lain. Demikian halnya dengan masa Orde Baru. Dalam jangka waktu yang sangat panjang (1966-1998), produk-produk tafsir bermunculan dengan aneka macam ragamnya. Di lihat dari sisi cara karya-karya itu memposisikan dirinya di hadapan pemerintah, ada yang akomodatif, ada pula yang konfrontatif. Dua model ini menggunakan Al-Qur`an sebagai titik pijaknya.Adapun bahasan buku ini, secara garis besar, terdiri dari tujuh bab. Pada bab pertama, Islah mengantarkan pembaca menuju diskursus tafsir di IndonesIa—khususnya tafsir-tafsir yang ditulis sepanjang masa rezim Orde Baru. Di sini Islah menegaskan bahwa tafsir yang ia sasar lebih luas dari apa yang biasa dipahami. Dalam survey-nya, Islah memasukkan segala hal yang berkaitan dengan penjelasan Al-Qur`an, entah itu buku bacaan, karya akademik, makalah, dan lain sebagainya.
Bab kedua membahas bagaimana praktik politik yang terjadi di era orde baru, serta bagaimana sejarah penulisan serta publikasi tafsir Al-Qur`an saat itu. Islah mengurai tiga hal yang menjadi titik singgung rezim orde baru. Pertama, tentang basis ideologi politik yang menjadi karakter dasar dalam menjalanklan pemerintahan. Kedua, tindakan dan kebijakan rezim yang bersinggungan dengan kepentingan umat Islam. Ketiga, publikasi tafsir Al-Qur`an di tengah pasang surut hubungan antara Islam dan negara. Di bab tiga, Tafsir Al-Qur`an di masa orde baru, oleh Islah, diklasifikasikan berdasarkan beberapa karakteristik, seperti identitas sosial penulisnya (ulama, politikus atau negarawan, sastrawan, akademisi dan lain-lain), audiens (elit, akademisi atau masyarakat umum), ruang publikasi (media massa, ceramah keagamaan, proyek lembaga, atau tugas akademik seperti skripsi, tesis, dan buku ajar.
Bab keempat menjelaskan isu-isu sentral di masa orde baru yang mencakup diskursus tentang pancasila sebagai asas tunggal, isu KKN, otoritarianisme, pelanggaran HAM, KKN, serta pembungkaman suara kritis. Semua ini dianggap Islah punya pengaruh pada rupa tafsir al-Qur’an yang muncul di era kepemimpinan Soeharto ini. Karenanya di bab kelima, Islah menguraikan bagaimana para mufassir di Indonesia merespon kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh rezim. Setidaknya, menurut Islah, di masa orde baru terdapat tiga macam kategori tafsir: tafsir bungkam, tafsir gincu, dan tafsir kritis.
Pertama, perspektif tafsir bungkam. Potret tafsir semacam ini tidak melakukan perbincangan secara terbuka terkait bagaimana kebijakan dan praktik politik-kekuasaan yang dilakukan oleh Orde Baru. Misalnya, ketika berbicara tentang makna QS. An-Nisa’ [4]: 135. Ayat ini berbicara tentang bagaimana menegakkan prinsip keadilan di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi, penafsiran yang disuguhkan oleh Tim Departemen agama RI dalam “Al-Qur`an dan Tafsirnya”, justru menjelaskan tentang keadilan personal, yaitu terkait dengan membagi waktu, bukan keadilan hukum dalam ranah publik dan politik. Sehingga penafsiran yang diketengahkan oleh Depag RI ini sama sekali tidak menyentuh realitas kebijakan-kebijakan yang diproduksi oleh Rezim Orde Baru.
Kedua, Tafsir Gincu yang berfungsi sekedar untuk memberi peneguhan terhadap kebijakan rezim. Ibarat gincu, tafsir semacam ini tampil sebagai pemberi citra baik untuk penguasa. Salah satu contohnya adalah apa yang diuraikan oleh Bakri Syahid (1994) saat menafsikran ʾulū al-amr pada QS. An-Nisa’ [4]:83. Ayat ini pada dasarnya berbicara tentang kondisi orang-orang munafik yang suka menyiarkan berita-berita provokatif (hoax), dalam konteks semacam ini Allah menginformasikan agar orang-orang Islam berhati-hati serta waspada dalam menyikapi berita-berita yang, utamanya terkait dengan hal keamanan dan ketakutan. Akan tetapi, oleh Bakri, ayat ini ditarik sebagai alat legitimasi atas demokrasi Pancasila yang diusung oleh Orde Baru. Dalam konteks ulul amri, Bakri menggarisbawahi bahwa makna kosakta ini ditujukan kepada para sahabat di era Nabi. Akan tetapi pada era sekarang, lanjutnya, makna ulul amri bisa ditujukan kepada pemerintahan demokrasi, dan dalam konteks Indonesia yang dimaksudkan adalah demokrasi Pancasila. Menurut Islah, pemaknaan yang diberikan oleh Bakri tidak terlepas dari posisinya sebagai anggota militer pada era rezim Orde Baru.
Ketiga, Tafsir Kritis yang, tidak seperti dua model sebelumnya, menolak tunduk pada kekuasaan. Sebaliknya, tafsir ini digunakan sebagai strategi untuk menyampaikan kritik pada penguasa. Di antaranya adalah Ayat Suci dalam Renungan karya Moh. E. Hashim (1916); Tafsir al-Hijri karya Didin Hafidudin (1951); dan Dalam Cahaya Al-Qur`an karya Sy’bah (w.2011). Tiga karya tafsir ini kerap memberikan tafsiran sekaligus jawaban yang cukup pedas terhadap kebijakan-kebijakan yang dirasa sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, pada era Orde Baru. Misalnya, terkait dengan identitas gaya pemerintahan Soeharto yang kerap menggunakan instrumen militer. Di dalam cahaya Al-Qur`an, praktik kekerasan dan militerisme orde baru, oleh Syu’bah, diperbincangkan saat ia menjelaskan QS. al-Baqarah [2]:190-191. Ayat ini merupakan ayat Madaniyah yang berbicara tentang izin pertama kali yang diterima orang Islam untuk berperang melawan serangan orang-orang Musyrik, terkait dengan pembunuhan dan fitnah. Namun, oleh Syu’bah, cuplikan ayat ini dipergunakan untuk membincang kasus pembantaian orang-orang PKI pada peristiwa Gestok 1965. Dengan lugas, ia menarik substansi yang terkandung dalam ayat ini kemudian dikontekstualisasi dengan kondisi ril perilaku rezim Orba, spesifik pada peristiwa yang terkait dengan pembunuhan dan finah. Bagi Syu’bah, ayat ini sangat relevan disandingkan terhadap perilaku Orde Baru pada peristiwa pembunuhan para aktivis PKI pasca gagalnya kudeta pada 1 oktober 1965, oleh karena, PKI baik secara organisatoris maupun individu disinyalir sebagai dalang dari aksi kudeta tersebut. Atas dasar ini, Syu’bah memberi catatan: proses penangkapan yang dilakukan aparat penguasa pada rezim Orde Baru terhadap para aktivis PKI merupakan contoh dari “kebuasan” dan “kemerosotan derajat moral kemanusiaan”.
Sebagai sesuatu yang terkait dan terhubung secara langsung dengan Rezim, potret dari varian penafsiran inipun mendapat tanggapan dari Orde Baru. Dalam konteks ini terdapat dua reaksi yang ditampakkan: reaksi dukungan dan reaksi penolakan. Tafsir “gincu” adalah satu model penafsiran yang mendapat dukungan dari rezim. Sebaliknya, reaksi penolakan secara otomatis didapatkan oleh mereka yang bersuara kritis. Soal semacam ini sudah menjadi konskuensi yang mesti terjadi. Diantara sebabnya, karena hal semacam ini akan menganggu proses stabilitias yang dibangun oleh Orde Baru. Yang mana sudah jamak diketahui, alasan “stabilitas” adalah diantara instrumen yang kerap dipergunakan Orde Baru untuk membungkam suara-suara kritis. Namun, meski demikian, menurut catatan Ishlah, walaupun penafsiran yang berwatak kritis mendapat penolakan dari rezim, tindakan yang secara langsung menghalangi penyebaran tafsir ini tidak terjadi. Ia tetap bebas dicetak dan dipublikasikan kepada khalayak ramai. Hal semacam ini berlaku boleh jadi disebabkan oleh momentum dan ruang publikasinya: tafsir al-hijri dipublikasikan dalam pengajian terbatas yang diselenggarakan dengan para mahasiswa sejak 1993, dan baru dibukukan pada tahun 2000. Demikian halnya dengan “Cahaya dalam Al-Qur`an” dipublikasikan dalam majalah panji masyarakat dalam kisaran tahun 1997-1999 dan terbit pada tahun 2000.
Pada bab ke enam bukunya, Islah mengurai keterangannya dalam dua bahasan besar. Pertama, bagaimana dinamika paradigma tafsir Al-Qur`an yang terjadi di masa orde baru. Pembahasan tentang paradigma ini sangat penting dilakukan, sebab penafsiran yang dilakukan oleh seorang penafsir sangat erat kaitannya dengan sikapnya terhadap realitas sejarah yang dihadapi. Dalam konteks Orde Baru, menurut Ishlah, dapat ditemukan adanya asumsi-asumsi dasar serta paradigma yang menjadi landasan atau titik pijak di dalam menafsirkan Al-Qur`an. Asumsi-asumsi tersebut sangat erat kaitannya dengan pola sikap sang penafsir terhadap teks Al-Qur`an di satu sisi dan bagaimana keterkaitannya dengan realitas sejarah pada sisi lainya; begitupun dengan sumber-sumber data yang digunakan saat melakukan penafsiran, dan selanjutnya, perangkat metode seperti apa yang digunakan?
Kedua, bagaimana eksistensi tafsir Al-Qur`an sebagai praktik wacana. Bagi Islah, memahami pesan Tuhan tidak hanya terpaku pada upaya memahaminya melalui teks Al-Qur`an, akan tetapi juga membaca realitas kehidupan sebagai teks sosial-politik.
Bab ke tujuh merangkum bahasan-bahasan yang telah dielaborasi pada bab-bab terdahulu. Bahwa dinamika tafsir Al-Qur`an yang terdapat pada masa orde baru ditulis dan digerakkan oleh mereka yang berasal dari genealogi keilmuan yang beragam. Tidak semuanya berasal dari orang yang yang secara formal memiliki latar pendidikan di dalam Al-Qur`an, akan tetapi ada yang ahli komunikasi, seperti Jalaludin Rahmat (2021); ekonom (Dawam Raharjo) dan Militer (Bakri Syahid).
Pada akhirnya, kita bisa mengatakan bahwa buku yang ditulis Islah Gusmian ini mampu mengungkap dengan sangat apik betapa erat kaitan antara Tafsir Al-Qur`an dengan realitas sosial-politik, sebagaimana yang tampak pada kemunculan tafsir di era orde baru. Realitas semacam ini setidaknya memberi kesadaran kepada kita mengenai disparitas antara Al-Qur`an dan tafsir atasnya: yang pertama bersifat sakral, sementara yang kedua profan. Dalam perspektif Orde Baru, sebagaimana diurai oleh Islah, kita melihat bahwa para mufassir terlahir dari genealogi keilmuan, bahkan identias sosial yang beragam. Semua ini menjadi sebab atas hadirnya penyikapan yang variatif terhadap teks Al-Qur`an.
How to cite this Article: Husnul Maab, “Islah Gusmian dan Potret Tafsir Al-Qur`an di Era Orde Baru”, studitafsir.com (blog), Maret 20, 2022 (+ URL dan tanggal akses).