
Al-Qur‘an Yang Interaktif Ala Ingrid Mattson
Oleh: I’syatul Luthfi
Dalam Mabāḥith fī ʿUlūm al-Qurʾān, Mannāʿ Khalīl al-Qaṭṭān (w. 1420/ 1999) mendefinisikan al-Qur’an sebagai ‘kalam Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril dan membacanya merupakan ibadah‘. Hal krusial dari pernyataan ini adalah bahwa nabi Muhammad hanyalah objek penerima wahyu yang pasif dan seakan-akan tidak terjadi interaksi antara Nabi dan orang-orang di sekitarnya selama proses turunnya wahyu.
Adalah Ingrid Mattson, profesor Islamic Studies di Universitas Huron, Kanada, dalam bukunya, The Story of The Qur’an membahas satu bab khusus terkait definisi al-Qur‘an dengan cara yang berbeda dari al-Qaṭṭān. Artikel ini tidak sedang membandingkan pemikiran keduanya, melainkan menjelaskan defenisi al-Qur‘an versi Mattson yang diklaim berangkat dari kajian atas sejarah bangsa Arab.
Historisitas Bangsa Arab
Pada bagian ini, Mattson memulai penjelasannya dengan menceritakan kisah Khawlah bintu Thaʿlabah yang di-ẓihār oleh suaminya, Aws bin Sāmit dengan kalimat “Bagiku, kau tak ubahnya punggung Ibuku”. Ẕihār merupakan tradisi bangsa Arab pra-Islam yang digunakan untuk mentalak istri. Maka setelah di-ẓihār, Khawlah haram disentuh oleh Aws. Pada saat itu tidak ada satupun masyarakat dapat mengubah tradisi tersebut.
Merasa tidak mendapatkan keadilan, Khawlah kemudian mengadu kepada nabi Muhammad, ternyata nabi pun belum bisa memberi jawaban karena wahyu tentang ẓihār belum turun. Akhirnya QS. al-Mujadalah [58]: 1-2 turun untuk merespon kejadian yang dialami Khawlah dan ayat tersebut membenarkan tradisi ẓihār. Ini adalah satu dari sekian ayat yang merespon tradisi budaya bangsa arab pada saat itu.
Ayat-ayat al-Quran yang diturunkan tidak saja membenarkan tradisi bangsa Arab pra-Islam, tapi juga terkadang menentang tradisi pada saat itu seperti QS. al-Nur [24]: 33 yang secara tegas melarang budak perempuan dijadikan pelacur, dan QS. al-Nur [24]: 33 yang melarang mengubur bayi perempuan. Melalui penggalan kisah ini, Mattson ingin menunjukkan bahwa al-Quran bukan saja tentang Allah, Jibril dan Muhammad, tapi juga tentang orang-orang di sekitarnya.
Selanjutnya, Mattson menceritakan asal-usul peradaban kota Makkah yang dibangun oleh Ibrahim dan keturunanya. Dalam mengisahkan narasi tersebut, Mattson berangkat dari QS. Ibrahim [14]: 37 tentang bagaimana Ibrahim meninggalkan Hajar di lembah yang tandus atas perintah Allah dan QS. al-Baqarah [2]: 127 tentang bagaimana Ibrahim dan Ismail membangun pondasi Ka‘bah.
Sejak saat itu, kota Makkah yang awalnya adalah daerah tandus tak berpenghuni berubah menjadi kota peradaban yang ramai dikunjungi untuk melakukan ritual ibadah haji. Kisah tersebut menjadi penegasan bahwa Ibrahim dan keturunannya tidak menyembah berhala seperti yang dituduh oleh generasi-generasi setelahnya.
Pada akhir abad keenam, saat peradaban kota Makkah semakin berkembang, pergolakan politik di semenanjung Arab kian memanas dan koalisi antar suku kian berubah, kota ini diambang kehancuran karena diserang oleh tentara bergajah.
Menurut Irfan Shahid dalam bukunya, The Life of Muhammad: A Translation of Ishaq’s Sirat Rasul Allah, seperti yang dikutip oleh Mattson, serangan tersebut terjadi karena raja Abisnis penguasa Yaman membangun sebuah gereja untuk menandingi Ka’bah dan mengalihkan ritual haji kesana, dan orang-orang Mekkah mengolok-ngolok gereja tersebut, sehingga Raja Abisnis memutuskan untuk menghancurkan Ka’bah.
Dalam menjelaskan kisah Raja Abisnis tersebut, Mattson mengutip QS. al-Fil [105]: 1-5 dan merujuk buku sejarah yang ditulis oleh sejarawan Barat dan Timur seperti, al-Sīrah al-Nabawīyah karya ʿAbd al-Malik ibn Hishām (w.213 H), al-Maʿārif karya Ibnu Qutaibah al-Dīnawarī (231-276 H) dan Pre-Islam Bedouin Religion karya Joseph Henninger (Amerika).
Siapa saja yang membaca buku Mattson akan merasakan bahwa Mattson sedang menggiring pembaca untuk memahami sejarah bangsa Arab sebelum dan sesudah Islam datang, bahwa ada interaksi sosial dan budaya setempat yang tidak bisa dilepas selama proses turunnya wahyu. Konsekuensi dari interaksi ini memberi kesadaran kepada para pembaca al-Quran bahwa teks al-Quran tidak kaku, ia diturunkan dengan berbagai konteks untuk merespon dan memberi jawaban terhadap problematika bangsa Arab pada saat itu.
Kedudukan Bahasa Arab
Dalam mendefinisikan al-Qur’an, Mattson tidak saja melihat konteks bangsa Arab, tapi juga menilik bagaimana kedudukan bahasa Arab pada masa itu. Untuk mendapatkan informasi tersebut Mattson merujuk ke buku-buku sejarah pra-Islam dan Islam klasik. Mattson menjelaskan bahwa Bangsa Arab adalah bangsa yang sangat gemar bersyair sehingga syair adalah produk budaya terbesar bangsa Arab pra-Islam.
Bagi mereka, berbahasa berarti bersyair, dan bahasa bukan sekedar alat komunikasi melainkan juga menunjukkan nilai dan identitas suku. Syair pada pra-Islam merupakan salah satu sarana untuk memperkuat solidaritas antar kelompok, mengancam para musuh, bahkan dapat memicu perang. Seperti syair yang dilantunkan para perempuan untuk mencela laki-laki karena tidak mau membalas dendam atas kematian anggota suku mereka:
Jika kau tak membalas untuk saudaramu
Tanggalkan senjatamu
Dan campakkan ke tanah berbatu
Ambil celak mata, kenakan baju pendek
Selubungi dirimu dengan pakaian wanita
Sungguh, kau laki-laki hina bagi saudaramu yang tertindas!
Betapa sakral kedudukan syair pada saat itu, sampai-sampai syair yang dinilai luar biasa akan digantung di dinding Ka’bah sebagai bentuk penghormatan. Budaya bersyair untuk berkomunikasi dan menyampaikan pesan ini kemudian diadopsi oleh al-Quran untuk menyampaikan pesan. Gaya ini dapat dilihat dari bentuk susunan ayat atau bahkan dapat dirasakan langsung oleh pembacanya, seperti pengakuan Walīd bin Mughīrah kepada Abū Jahl mengenai keindahan al-Qur‘an yang ditulis al-Ṭabarī (310 H ) dalam Jāmiʿ al-Bayān :
“Apa yang harus aku katakan mengenainya. Demi Allah tidak ada seorangpun yang lebih tahu tentang syair, baik dan buruknya selainku. Ini bukan syair jin. Demi Allah tidak ada satupun yang menyerupainya. Demi Allah ungkapannya sangat manis, sungguh sangat indah. Mampu menghancurkan apa yang ada di bawahnya. Sungguh sangat tinggi dan tidak ada yang bisa menandinginya.
Cara Mattson mendefinisikan al-Quran dengan melihat konteks historis bangsa Arab dan kedudukan bahasa Arab, memberikan pemahaman kepada pembaca al-Quran bahwa al-Qur’an bukanlah sekedar teks suci yang bisu dan kaku, tapi ia aktif merespon konteks bangsa Arab pada saat itu.
Konsekuensi dari interaksi ini menjadikan siapa pun yang ingin memahami Al-Quran, dia harus secara penuh bertanggung jawab mempertimbangkan sejarah, budaya, dan konteks bangsa Arab ketika Al-Qur’an diturunkan.
Jika melihat kitab-kitab babon ʿUlūm al-Qurʾān klasik, seperti al-Burhān fī ʿUlūm al-Qur’ān karya al-Zarkashī (w. 893 H), al-Itqān karya al-Suyūṭī (w. 911 H) dan Manāhil al-ʿIrfān karya al-Zarqānī (w. 1362), tidak satupun dari mereka yang menjelaskan secara eksplisit definisi al-Quran.
Definisi al-Quran secara eksplisit baru ditemukan pada kitab-kitab ʿUlūm al-Qurʾān kontemporer. Pada kitab-kitab klasik, al-Qur‘an dijelaskan atas dasar historisitas dan kronologi turunnya. Gaya mendefinisikan seperti inilah yang diadopsi Mattson dalam bukunya, sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Mattson sebenarnya sedang merevitalisasi model penjelasan ulama klasik tentang al-Qur‘an yang menonjolkan sifatnya sebagai teks yang responsif dan interaktif.
How to cite this Article: I’syatul Luthfi, “Al-Qur‘an Yang Interaktif Ala Ingrid Mattson,studitafsir.com (blog), April, 6, 2022 (+ URL dan tanggal akses).