Polemik Mun’im Sirry (Part 2): Rekontruksi Hipotetikal Seorang Teolog Progresif
Oleh: Fadhli Lukman
Di akhir bagian pertama tulisan saya sebelumnya, saya menyinggung tentang adanya ambiguitas dalam positioning Mun’im sebagai seorang penulis: apakah ia pengkaji sejarah Islam awal—dalam kata lain, seorang sejarawan, atau pengamat kesarjanaan revisionis mengenai Al-Qur’an atau sejarah Islam awal?
Secara metodologis, kedua posisi ini berbeda, terutama dilihat dari subjek primer kajiannya. Dalam pilihan yang pertama, Mun’im seharusnya berhadapan dengan data-data sejarah dan kesimpulan kajiannya adalah pernyataan/argumen mengenai sejarah Islam. Untuk pilihan kedua, Mun’im akan membincang sejarah kesarjanaan revisionis, bukan sejarah Islam itu sendiri. Karena buku ini membahas Kemunculan Islam dalam Kesarjanaan Revisionis, pemisahan kedua hal tersebut memang cukup buram, dan keburaman tersebut juga terlihat di buku ini.
Di sebagian besar buku ini, terlihat bahwa ia sebenarnya berada di posisi kedua. Agaknya, ini pula yang menjadi alasan mengapa ia mengabaikan literatur-literatur non-tradisional dari Muslim, karena kesarjanaan revisionis tidak menggunakan literatur tersebut. Akan tetapi, ambiguitas itu muncul ketika di bagian kesimpulan argumen-argumen yang ia sampaikan secara utuh berhubungan dengan sejarah Islam, bukan dengan kesarjanaan revisionis itu sendiri.
Dapat dikatakan, Mun’im di sini berpretensi mengkaji sejarah Islam, hanya saja bukan lewat data-data sejarah primer, tetapi secara kuat berdasarkan kepada data-data sekunder, yaitu kesarjanaan revisionis. Ini adalah model pengkajian yang analogis dengan judul semacam, “Penafsiran Quraish Shihab mengenai awliyā’”, yang meskipun secara umum mengkaji penafsiran Quraish Shihab, tapi kesimpulannya dianggap sebagai makna Qur’an.
Ada satu ambiguitas lagi yang meskipun muncul dalam kasus yang spesifik tapi sifatnya lebih serius. Ketika membincang sejarah ortografi Al-Qur’an dan masuk ke bagian kajiannya atas al-Kāfirūn, Mun’im bermetamorfosis menjadi seorang teolog progresif, meskipun di halaman 59, ia menampik dirinya sebagai seorang teolog.
Sejak bab pertama, Mun’im membahas permasalahan internal dalam sumber-sumber tradisional dan memberikan titik tekan yang sangat jelas kepada sumber-sumber material, seperti sumber dokumenter, koin, atau prasasti. Namun demikian, ketika melakukan rekonstruksi hipotetikal terhadap al-Kāfirūn, keniscayaan sumber-sumber tersebut ia tinggalkan.
Di bagian ini, ia menjelaskan bahwa sejarah Al-Qur’an tidak sesederhana yang kita bayangkan. Ortografi Al-Qur’an berkembang, dan di beberapa sisi menyentuh aspek yang paling penting dalam Al-Qur’an yaitu integritas pesannya. Penambahan alif misalnya. Di bagian ini, Mun’im berpijak kepada temuan dari Gerd-R Puin yang membandingkan sejumlah manuskrip dengan mushaf edisi Kairo di beberapa ayat. Puin menemukan ada banyak penambahan alif pada mushaf edisi Kairo. Contoh yang secara langsung ia tampilkan adalah surat Yāsīn (36): 22: Wa mā liya lā aʿbudu.
Mun’im menyebut bahwa dalam sebuah manuskrip, Puin menemukan tulisan yang berbeda, yaitu wa mā lī illā aʿbudu. Ada penambahan alif sebelum lā di ayat ini, sehingga bacaannya bukanlah lā yang berarti tidak, melainkan illā yang berarti kecuali. Jika dalam edisi Kairo, ia diterjemahkan menjadi Dan mengapa aku tidak menyembah, versi manuskrip tersebut terjemahannya adalah Aku tidak punya pilihan kecuali menyembah…
Dengan basis ini, Mun’im menilai bahwa ada banyak kemungkinan makna yang berubah dari penambahan alif ini. Misalnya, jika lā aʿbudu itu penambahan alifnya berada sesudah dan bukannya sebelum lā, maka ia akan menjadi mā lī laʾaʿbudu (Aku tidak punya apa-apa, sungguh aku menyembah…), sebuah makna yang sama sekali berbeda.
Di bagian ini, Mun’im sepertinya sudah beranjak dari Puin dan mengajukan kasusnya sendiri. Agaknya, karena contoh spesifik ini menyebut kata aʿbudu, Mun’im meneruskan eksperimen hipotetikalnya kepada al-Kāfirūn, yaitu pada lā aʿbudu mā taʿbudūn. Jika pada lā di ayat itu huruf alif adalah tambahan, maka seharusnya ia berbunyi laʾaʿbudu mā taʿbudūn, dan terjemahan ayatnya berubah dari aku tidak menyembah apa yang kamu sembah menjadi sungguh aku menyembah apa yang kamu sembah.
Kita bisa memahami apa yang dilakukan Mun’im di sini adalah sebuah hiperbola untuk menekankan bahwa sejarah ortografi itu sangat krusial dalam sejarah Al-Qur’an, namun sejauh ini diterima begitu saja apa adanya (taken for granted).
Akan tetapi, hiperbola ini, dalam pandangan saya, kontraproduktif. Pertama, tentu akan ada orang yang tidak bisa dengan mudah melihat elaborasi semacam ini. Mun’im di sini bisa berkilah itu urusan mereka, bukan urusan dia. Tapi jika eksperimen ini justru mengganggu poin utama yang ingin disampaikan, tentu saja ia lebih pantas untuk ditinggalkan. Kedua, di sini Mun’im memperlihatkan sebuah bias, yaitu sebagai seorang teolog progresif. Dia berargumen, bahwa versi rekonstruksi hipotetikal tersebut adalah toleransi sejati, yang juga didukung oleh ayat-ayat lainnya. Ini adalah argumen khas seorang teolog, meskipun berbasis kepada temuan risetnya seorang revisionis.
Hal ini mengingatkan saya pada salah satu tulisan Fred Donner (ironisnya di buku yang diedit oleh Mun’im sendiri) yang menyebut bahwa saat ini juga banyak kajian-kajian apologis yang berbalut argumen akademik (Baca artikel Donner berjudul ‘Reflections on the History and Evolution of Western Study of the Qurʾān’). Ketiga, dan yang paling penting dalam hal ini, Mun’im sama sekali meninggalkan apa yang dia suarakan secara lantang sejak halaman pertama buku ini: sumber yang reliabel!
Untuk kasus ini, Puin menyampaikan sebuah argumen mengenai penambahan alif berlandaskan kepada sumber-sumber dokumenter, yaitu manuskrip-manuskrip. Mun’im seorang sarjana akan menghadapi temuan Puin secara kritis dan jika ia akan mengembangkan argumen dari temuan Puin, juga akan dilakukan secara kritis.
Salah satu bentuk sikap kritis tersebut adalah membuka manuskrip-manuskrip yang ada dan melihat apa saja yang disuguhkan oleh manuskrip tersebut. Sayangnya, hal itu sama sekali tidak dipertimbangkan oleh Mun’im. Di sini, ia hanya bereksperimen dengan alif di al-Kāfirūn tanpa melakukan verifikasi kepada manuskrip-manuskrip yang ada, sebuah eksperimen yang mengingatkan saya kepada penilain Stefan Wild terhadap kajian Luxenberg, yaitu it (might) yield far too many results (baca tulisan Wild berjudul ‘Lost in Philology). Apakah laʾaʿbudu mā taʿbudūn ada justifikasi dokumenternya? Itu adalah pertanyaan yang seharusnya ia ajukan.
Jika Mun’im mengajukan pertanyaan tersebut, dan melakukan pelacakan, maka dia mesti akan melihat bahwa rekonstruksi hipotetikalnya itu sangat tidak perlu. Saya mencoba membuka corpuscoranicum dan melakukan pelacakan sederhana terhadap beberapa manuskrip di sana.
Untuk surat Yāsīn: 22, ada dua versi tulisan, mā liya lā aʿbudu dan mā lī illā aʿbudu. Tapi, versi rekonstruksi Mun’im, mā lī laʾaʿbudu, tidak ada. Jadi, poin Puin di sini jelas, tapi tidak dengan poin Mun’im. Selanjutnya, saya juga melacak al-Kāfirūn. Dari sejumlah manuskrip yang saya cek, tidak ada satupun yang menulis laʾaʿbudu mā taʿbudūn.
Kembali, elaborasi Mun’im tidak ada dukungan dokumenternya. Satu hal yang menarik adalah dalam salah satu manuskrip, kata al-kafirūn di ayat pertama tidak ditulis dengan alif setelah kaf. Jadi, poin ini mendukung temuan Puin, bahwa ada tambahan alif. Akan tetapi, kata lā aʿbudu tertulis seperti itu adanya, dengan alif. Ini jelas sekali menganulir eksperimen Mun’im.
Sebenarnya, sebelum melakukan eksperimentasi hipotetikal tersebut, ia bisa mempertanyakan kemungkinan variabel fungsi gramatikal kosa kata dalam penambahan alif. Tapi, sekali lagi, sepertinya ia tidak mempertimbangkan itu.
Menurut saya, Mun’im telah memperlihatkan poinnya dengan cukup jelas tanpa eksperimen ini, dan eksperimen itu justru merusaknya. Tapi mengapa ia tetap menuliskannya? Sepertinya ini adalah bias yang bekerja dalam argumen Mun’in.
Kita tahu, pluralisme agama dan toleransi adalah salah satu isu sentral dalam peradaban modern ini. Di argumen ini, kita melihat kembali bias itu; Mun’im memproyeksikan konsepsinya mengenai toleransi yang modern ini kepada masa formasi Islam, mungkin lebih kurang sepadan dengan proyeksi ke belakang yang dilakukan oleh Abdul Malik dengan mengintrodusir dua kalimat syahadat dalam koin. Kasus ini mencatat ambiguitas mencolok Mun’im dalam buku ini. Mun’im bukanlah seorang sarjana pengkaji revisionisme, akan tetapi seorang teolog progresif yang sedang berapologi dalam diskursus publik.
Link Manuskrip Yāsīn 22:
- Mā lī lā aʿbudu: https://corpuscoranicum.de/en/verse-navigator/sura/36/verse/22/manuscripts/163/page/149r dan https://corpuscoranicum.de/en/verse-navigator/sura/36/verse/22/manuscripts/170/page/771r
- mā lī illā aʿbudu: https://corpuscoranicum.de/en/verse-navigator/sura/36/verse/22/manuscripts/141/page/308r
Link Manuskrip Al-Kāfirūn:
- https://corpuscoranicum.de/en/verse-navigator/sura/109/verse/2/manuscripts dan https://corpuscoranicum.de/en/verse-navigator/sura/109/verse/2/manuscripts/480/page/56r
How to cite this Article: Fadhli Lukman, “Polemik Mun’im Sirry (Part 2): Rekontruksi Hipotetikal Seorang Teolog Progresif’, studitafsir.com (blog), April 8, 2022 (+ URL dan tanggal akses).
Assalamualaikum wr wb., Mas Fadhli Lukman perkenankan saya sharing pendapat mengenai ayat dalam Surat Al Kafirun yg didiskusikan di atas. Menurut saya kalau terjemahan “Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah” mengandung pengertian ada sesembahan lain selain Allah atau ada Tuhan lain selain Allah. Karena ayat itu adalah merupakan firman Allah atau perkataan dari Allah, maka terlintas di benak saya mungkinkah Allah Tuhan Yang Maha Esa di jagat raya ini berkata demikian? Mendua. Di sini terjemahan alternatifnya (sungguh aku menyembah apa yang kamu sembah) menjadi relevan.
Terima kasih.