
Perantara Wahyu: Jibril, Ruh Kudus atau Ruh Amin?
Oleh: Mun’im Sirry
Walaupun ada semacam kesepakatan di kalangan mufassirun, Sunni dan Syi’ah, bahwa al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad melalui perantaraan Jibril, ayat-ayat al-Qur’an memperlihatkan persoalan lebih kompleks dari yang umumnya dipersepsikan. Saya menyebut “semacam kesepakatan,” karena walaupun para mufassirun tampak bersepakat Jibril sebagai pembawa wahyu namun pertanyaan seputar apakah Jibril, Ruh Kudus dan Ruh Amin merupakan entitas yang sama atau berbeda termasuk persoalan yang diperselisihkan.
Ayat-ayat al-Qur’an secara eksplisit menegaskan bahwa ketiga entitas tersebut (Jibril, Ruh Kudus dan Ruh Amin) berperan membawa wahyu kepada Nabi. Dalam surat al-Baqarah, Jibril menurunkan wahyu ke dalam hati Muhammad (Q 2:97); dalam surat al-Nahl, Ruh Kudus menyampaikan ayat-ayat kepada Nabi (Q 16:102); sementara dalam surat al-Syu’ara’, perantara wahyu adalah Ruh Amin (Q 26:193). Maka, cukup masuk akal jika kita bertanya: Apakah ketiga entitas tersebut identik bahkan merujuk pada makhluk yang sama?
Dalam tulisan ini, saya akan mendiskusikan pertanyaan tersebut dengan menganalisis karya-karya tafsir, baik di kalangan Sunni maupun Syi’ah. Karena dalam tulisan sebelumnya, berjudul “Al-Qur’an Kalam Allah dan Perkataan Muhammad,” saya tidak menyebut pandangan ulama-ulama Syi’ah (saya berharap suatu saat akan mendiskusikan perspektif mereka), maka dalam tulisan ini saya akan mengelaborasi pendapat kalangan Syi’ah seputar pertanyaan di atas secara agak detail.
Tafsir Sunni
Perbedaan pendapat di kalangan mufassirun terkait identitas ketiga pembawa wahyu dalam al-Qur’an dielaborasi cukup detail oleh Fakhr al-Din al-Razi (w. 606/1210). Dalam tafsirnya atas Q 2:87 (“Kami memperkuatnya [Isa] dengan Ruh Kudus”), Razi mengidentifikasi empat pendapat tentang siapakah Ruh Kudus itu? Pertama, Ruh Kudus tak lain dan tak bukan adalah Jibril. Kedua, Ruh Kudus adalah Injil. Ketiga, Ruh Kudus merupakan entitas yang dengannya Isa menghidupkan orang mati. Keempat, Ruh Kudus merupakan spirit yang dihembuskan dalam proses penciptan.
Razi tidak menyebut sejumlah nama ulama terdahulu yang mendukung setiap pendapat di atas, kecuali pendapat ketiga yang diatribusikan kepada sahabat Ibn ‘Abbas dan Sa’id ibn Jubair. Namun demikian, penulis al-Tafsir al-Kabir ini mendiskusikan cukup detail kenapa Jibril disebut “Ruh Kudus.” Misalnya, Jibril itu pantas disebut Ruh yang suci karena berkat Jibril agama berkembang melalui penurunan wahyu kepada para Nabi.
Tentu, Razi bukan orang pertama yang menyebut perbedaan pendapat di kalangan mufassirun Sunni. Tiga abad sebelumnya, Tabari (w. 310/923) sudah mengindikasikan keragaman tafsir tersebut, walaupun tidak menyebut pendapat keempat. Berbeda dengan Razi, Tabari mengidentifikasi siapa saja yang mendukung setiap pendapat. Dari catatan Tabari, pendapat pertama yang didukung paling banyak ulama, seperti Qatadah, Suddi, Rabi’. Bahkan, Tabari juga mengutip hadis untuk menguatkan pendapat pertama.
Seperti biasa, Tabari menutup diskusinya dengan menunjukkan pendapatnya sendiri. Dalam hal ini, dia memilih pendapat pertama: Ruh Kudus adalah Jibril sembari mengajukan argumen-argumen rasional dan tekstual untuk menolak pendapat kedua dan ketiga. Baginya, dua pendapat terakhir tidak bisa dipertahankan karena mengasumsikan pengulangan yang tak perlu. Misalnya, dia mengajukan pertanyaan retorik: bagaimana mungkin Isa dikuatkan dengan Injil padahal dia juga menerima (wahyu) Injil, atau bagaimana mungkin Isa dikuatkan dengan ruh secara umum padahal dia sendiri disebut Ruh?
Pandangan dan tipologi perbedaan pendapat sebagaimana disusun Tabari ini tampaknya berpengaruh di kalangan mufassirun Sunni (dan juga Syi’ah) dalam periode berikutnya, seperti terlihat dalam tafsir Mawardi, Ibn Atiyah atau Ibn Jauzi. Demikian juga cara Tabari men-tarjih pendapat pertama berpengaruh besar pada mufassirun belakangan. Ibn Katsir mengutip hadis yang disebut Tabari dan menambah hadis lain untuk menguatkan pandanganya bahwa Ruh Kudus adalah Jibril.
Menarik dicatat, sejak abad ke-7 H. sejumlah mufassirun mulai mengatribukasikan pandangan tersebut kepada Ibn ‘Abbas juga. Misalnya, dalam tafsir Qurtubi, dua pendapat berbeda dinisbatkan kepada Ibn ‘Abbas: Ruh Kudus sebagai Jibril dan Ruh yang digunakan Isa sekaligus. Penisbatan dua pendapat berbeda kepada satu figur, seperti Ibn ‘Abbas, bukan sesuatu yang aneh dalam literatur tafsir, yang merefleksikan terjadinya proliferasi makna dan sekaligus penisbatan.
Yang tidak kalah menarik untuk dicatat ialah tatkala menafsirkan Q 16:102 (“Ruh Kudus menurunkannya [al-Qur’an] dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”), semua mufassirun bersepakat bahwa Ruh Kudus adalah Jibril. Walaupun sebagian kecil mufassirun tidak mengidentifikasi siapa itu Ruh Kudus, tapi itu karena mereka memang sudah menafsirkan Ruh Kudus sebagai Jibril dalam ayat lain. Tak seorang mufasirpun yang menyebut perbedaan pendapat, seperti terlihat dalam tafsir mereka atas Q 2:87.
Hal yang sama dapat dideteksi dalam tafsir meraka atas Q 26:193 (“Ia dibawa turun oleh Ruh Amin”). Ruh Amin diidentifikasi sebagai Jibril. Tak ada perbedaan di kalangan mufasirrun. Karena itu, seperti disebutkan di awal, ada “semacam kesepakatan” di kalangan mufassirun, karena kendatipun disinyalir ada perbedaan pendapat tentang identitas Ruh Kudus, kenyataannya mereka bersepakat bahwa tiga entitas tersebut merujuk pada satu makhluk yang sama. Tidak mengagetkan jika dalam tradisi Sunni Ruh Kudus dan Ruh Amin disebutkan sebagai nama-nama yang disematkan kepada Jibril.
Tafsir Syi’ah
Dalam tradisi tafsir Syi’ah, identifikasi Jibril sebagai Ruh Kudus dan Ruh Amin juga dapat ditemukan dalam beberapa kitab tafsir, walaupun pandangan yang juga diterima luas menempatkan Ruh Kudus sebagai perantara wahyu, dan tidak identik dengan Jibril. Karena alasan teologis yang nanti akan dijelaskan, ulama-ulama Syi’ah cenderung memahami Jibril sebagai entitas berbeda dengan Ruh Kudus. Bahkan, Ruh Kudus memperoleh status yang lebih tinggi dari Jibril.
Satu kesulitan yang dihadapi para peneliti tafsir Syi’ah awal ialah karena sejumlah kitab tafsir mereka yang sampai kepada kita sekarang tidak dalam bentuk tafsir yang utuh. Sebelum abad ke-4 H., tidak ada kitab tafsir Syi’ah yang sampai kepada kita. (Bandingkan, misalnya, dengan tafsir Tabari yang begitu masif dan secara utuh dapat dibaca saat ini.) Beberapa karya mufassirun Syi’ah abad ke-4, seperti Qummi (w. 307/919), Furat (w. 310/923) dan ‘Ayyasyi (w. 320/932), atau abad ke-5, seperti Mufid (w. 413/1032) dan Tusi (w. 460/1068), tidak memuat tafsir ayat-ayat al-Qur’an secara utuh. Baru pada abad ke-6, kita mendapatkan karya tafsir utuh, seperti Majma‘ al-bayan karya Tabrisi (w. 548/1154). Karena itu, melacak penafsiran Syi’ah perlu kerja ekstra.
Kalau kita hendak mengetahui apa penafsiran Mufid terkait “Ruh Kudus” dalam Q 16:102, kita tak akan menemukannya dalam surat al-Nahl (surat ke-16) itu. Sebab, tafsir ayat 102 tidak ada di sana. Kita akan temukan pandangannya tentang Ruh Kudus justeru dalam Q 42:52 ketika dia menjelaskan beragam makna “ruh”. Al-Qur’an 42:52 berbunyi “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-Kitab dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan cahaya, yang dengannya Kami beri petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” Menurut Mufid, salah satu makna kata “ruh” ialah Jibril, dan dia merujuk pada Q 16:102 itu. Penafsiran Q 16:102 juga tidak ditemukan dalam karya Furat dan ‘Ayyashi, dan mereka tidak menjelaskan makna kata “ruh” dalam Q 42:52.
Dua tafsir Syi’ah awal yang memperlihatkan kompleksitasnya tersendiri ialah tafsir Tusi dan Qummi. Terkait Q 16:102, Tusi merekam tiga pandangan yang sebelumnya disebutkan oleh Tabari lengkap dengan siapa mengatakan apa. Seperti Tabari, Qummi juga menguatkan pandangan bahwa Ruh Kudus adalah Jibril. Namun dalam tafsirnya atas Q 42:52, Tusi memaknai “ruh” bukan sebagai Jibril atau Ruh Kudus, melainkan sebagai al-Qur’an. Jadi frasa al-Qur’an “Kami wahyukan kepadamu ruh dengan perintah Kami” itu diartikan “Kami wahyukan kepadamu al-Qur’an.”
Qummi setuju bahwa Ruh Kudus dalam Q 16:102 merujuk kepada Jibril, namun penafsirannya atas Q 42:52 berbeda dengan Tusi. “Ruh” dalam Q 42:52 bukan berarti al-Qur’an dan juga bukan Jibril. Dia mengutip pandangan Ja’far al-Shadiq, imam ke-6, sebagai berikut: “[Ruh] adalah malaikat yang lebih agung dari Jibril dan Mikail; malaikat yang pernah bersama Nabi dan [sekarang] bersama para imam.” Masih mengikuti pandangan imam Ja’far, Qummi berpendapat bahwa kata “cahaya” dalam frasa al-Qur’an (“Kami menjadikannya cahaya, yang dengan Kami beri petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami”) merujuk kepada Ali ibn Abi Thalib, yang di kalangan Syi’ah dikenal sebagai “amir al-mu’minin.”
Pandangan imam Ja’far al-Shadiq yang dikutip Qummi ini kelak menjadi pemahaman yang diterima luas di kalangan ulama-ulama Syi’ah. Ruh Kudus bukan hanya perantara wahyu kepada Nabi Muhammad, melainkan juga melanjutkan “tugasnya” sebagai penyampai wahyu kepada para imam Syi’ah. Sebelum mengelaborasi penerimaan pandangan imam Ja’far ini, terlebih dahulu saya ingin melanjutkan pamaparan tentang tafsir Syi’ah.
Membandingkan tafsir Tabrisi (Syi’i abad ke-6) dan Tabari dan Razi (Sunni abad ke-4 dan 7) memperlihatkan tingkat afinitas yang tinggi. Tidak sulit untuk berargumen bahwa Tabrisi yang Syi’i menyerap banyak informasi dari Tabari yang Sunni. Juga, Razi yang Sunni tampaknya juga bersandar pada teks Tabrisi yang Syi’i, terutama menyangkat penjelasan kenapa Jibril disebut Ruh Kudus. Hal ini memperlihatkan bahwa, kendati mereka berasal dari aliran teologis berbeda, diskursus tafsir melampaui sekat-sekat sektarianisme.
Tafsir Tabrisi sangat signifikan dalam arti bahwa sumber-sumber yang dia gunakan sama sekali tidak terkesan bersifat sektarian. Dia menggunakan sumber-sumber tanpa membedakan apakah berasal dari sumber Sunni atau Syi’ah.
Dalam pengamatan saya, Tabrisi lebih banyak menggunakan sumber Sunni, dibanding Syi’ah sendiri. Bahkan dalam tafsirnya atas Q 42:52, dia menafsirkan kata “ruh” sebagai al-Qur’an, dan memposisikan pandangan Ja’far al-Shadiq yang dikutip Qummi sebagai sumber yang tidak diketahui (unknown source). Yakni, dia menggunakan kata “qila” (dikatakan atau disebutkan, tanpa menyebut sumber).
Sebagai mufasir Syi’i, sulit dibayangkan bahwa Tabrisi tidak mengetahui tafsir Qummi yang cukup awal. Metode seperti ini kerap digunakan dalam kitab-kitab klasik untuk menunjukkan pendapat yang tidak dianggap kuat. Berikut saya kutipkan tafsir Tabrisi (kata dalam kurung adalah teks al-Qur’an):
(“Demikian Kami wahyukan kepadamu”) yakni, sebagaimana Kami wahyukan kepada nabi-nabi sebelum kamu, Kami juga mewahyukan kepadamu (“ruh dengan perintah Kami”) yakni, wahyu dengan perintah Kami, yang berarti al-Qur’an karena dengannya orang-orang akan mendapatkan petunjuk. Menurut Qatadah, Juba’i dan lainnya, dalam al-Qur’an terdapat kehidupan dari matinya kekufuran. Diriwayatkan dari Suddi, bahwa ruh berarti Ruh Kudus. Juga dikatakan/disebutkan (qila), ruh merupakan malaikat yang lebih agung dari Jibril dan Mikail, yang dulu pernah bersama Nabi. Ja’far al-Shadiq dan Abu Abdullah berkata: Dia [malaikat tersebut] belum naik ke langit, melainkan sedang bersama kami.
Keterbukaan tafsir Syi’ah pada sumber-sumber Sunni juga dapat ditemukan dalam tafsir modern, seperti al-Mizan karya Tabataba’i (w. 1981) atau al-Amtsal karya Nashir Makarim al-Syirazi (masih hidup). Dalam tafsir yang disebut terakhir, Syirani mendedah silang-pendapat di kalangan mufassirun tentang identitas Ruh Kudus mirip seperti diebalorasi Tabari. Yang menarik ialah dia mendiskusikan status Ruh Kudus dalam agama Kristen dengan deskripsi yang cukup akurat dan mengutip sumber Kristen sendiri.
Dalam tafsirnya atas Q 42:52, Syirazi mendiskusikan dua pandangan secara agak detail: Pertama, “ruh” sebagai al-Qur’an, dan kedua, “ruh” sebagai Ruh Kudus. Dia sendiri sebenarnya cenderung pada pandangan pertama, namun secara eksplisit mengidentifikasi malaikat agung yang disebutkan oleh imam Ja’far sebagai Ruh Kudus. Dia tidak menyebut nama imam Ja’far, namun mengatakan pandapat tersebut “didukung oleh sejumlah hadis yang terkenal” (mashadir al-hadits al-ma’rufah). Dalam bagian berikut, saya akan diskusikan pandangan ulama Syi’ah tentang status Ruh Kudus yang disandarkan pada sumber-sumber hadis yang mereka anggap shahih.
Peran Ruh Kudus dalam Pewahyuan yang Berkesinambungan
Untuk kepentingan diskusi kali ini dan supaya tidak terlalu panjang, saya akan membatasi pada dua kumpulan hadis-hadis Syi’ah, yang mewakili periode awal dan pertengahan. Yakni, Basha’ir al-darajat karya al-Shaffar al-Qummi (w. 290/903) dan Bihar al-anwar karya Majlisi (w. 1110/1698). Yang disebut terakhir merupakan kumpulan hadis yang sangat masif, sekarang terbit dalam 110 jilid (masing-masing jilid terdiri dari 400 halaman lebih!).
Untuk memahami peran Ruh Kudus dalam pewahyuan yang kesinambungan dalam tradisi Syi’ah, perlu ditegaskan dahulu bahwa kalangan Syi’ah menganut suatu keyakinan para imam mereka (jumlahnya tergantung pada sekte-sekte dalam Syi’ah) menerima wahyu dari Tuhan.
Kalangan Syi’ah bukan hanya meyakini pengangkatan Ali ibn Abi Thalib sebagai penerus kepemimpinan Nabi didasarkan atas petunjuk langsung dari Nabi (yang berarti juga petunjuk dari Tuhan), mereka juga percaya bahwa Ali dan keturunannya yang ditahbiskan sebagai para imam memiliki kualitas spesial.
Di kalangan Syi’ah Itsna ‘Asyariyah (mengimani 12 imam), misalnya, para imam disebut “pintu Tuhan” (bab Allah), “wajah Tuhan” (wajh Allah), “tangan Tuhan” (yad Allah). Mereka memiliki suatu karunia Ilahi, berupa ilmu khusus yang dengannya mereka dapat mengetahui hal-hal eksoterik dan esoterik dari teks al-Qur’an. Tentu, keyakinan kalangan Syi’ah terhadap status para imam berbeda-beda, dari yang bersifat maksimalis hingga minimalis. Di luar perbedaan itu mereka meyakini para imam mendapatkan inspirasi dari Tuhan.
Dalam Basha’ir al-darajat, Shaffar (saya menggunakan nama ini bukan Qummi, supaya tidak bercampur dengan Qummi mufassir) menyebut sejumlah riwayat yang menunjukkan bahwa, sepeninggal Nabi, para imam dibimbing oleh dan mendapatkan inspirasi dari Ruh Kudus. Berkat bimbingan dan inspirasi Ruh Kudus tersebut mereka dapat mengakses ilmu yang mereka butuhkan agar terhindar dari dosa dan kesalahan; dan karena itu, mereka dianggap ma’shum.
Berdasarkan Q 56:7-10, imam Ja’far al-Shadiq mengatakan Nabi Muhammad dan para imam termasuk “al-sabiqun al-awwalun”, yang dikuatkan dengan lima ruh. Yakni, al-ruh al-quds (yang membimbing mereka), ruh al-iman (yang mendorong ketakwaan), ruh al-quwwah (kuat beribadah), ruh al-syahwah (dorongan untuk ketakwaan dan mengindari kemaksiatan), dan ruh al-madraj (yang menggerakkan). Di antara ruh-ruh tersebut, al-ruh al-quds memiliki keistimewaan karena dapat menganugerahi para imam dengan ilmu yang berada di luar jangkauan manusia lainnya.
Suatu riwayat menyebutkan, para imam selalu memutuskan setiap perkara sesuai kehendak Tuhan serta ajaran Nabi Muhammad. Imam Ja’far pernah ditanya: “Bagaimana njenengan memutuskan suatu perkara?” Ia menjawab: “Sesuai hukum Allah dan ketentuan Nabi Dawud. Ketika menghadapi suatu perkara dan kami tidak tahu bagaimana memutuskannya, maka Ruh Kudus datang mengabarkannya (talaqqana bihi ruh al-quds).” Tiga riwayat dalam Bashair al-darajat menceritakan situasi ketika Ali diutus oleh Nabi ke Yaman untuk memutuskan berbagai perkara yang dihadapi penduduk lokal. Dan dalam memberikan keputusan terhadap suatu perkara yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an, Ali dibimbing oleh Ruh Kudus.
Semua riwayat di atas memperlihatkan, para imam akan selalu berada dalam bimbingan dan mendapatkan inspirasi dari Ruh Kudus. Beberapa riwayat lain menegaskan peran Ruh Kudus dalam proses pewahyuan kepada Nabi sendiri lebih signifikan ketimbang Jibril.
Dalam kaitan ini, penafsiran imam Ja’far terhadap Q 42:52 dijadikan sebagai dalil, bahwa Ruh Kudus dahulu bersama Nabi, dan di kemudian hari bersama para imam. Imam Ja’far menambahkan, keberlangsungan wahyu melalui Ruh Kudus itu sepenuhnya hal prerogatif Tuhan: Dia akan mengirimkan Ruh Kudus kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.
Perlu segera ditambahkan, dalam berbagai riwayat yang dihimpun Shaffar, inspirasi yang diterima oleh para imam dari Ruh Kudus bersifat non-verbal. Dan apa yang dilakukan Ruh Kudus merupakan perpanjangan atau kelanjutan dari apa yang dilakukannya pada Nabi. Sejumlah riwayat juga menyebutkan bahwa pewahyuan melalui Ruh Kudus bukanlah satu-satunya model, dalam arti bahwa para imam dapat menerima wahyu melalui perantaraan lain.
Beberapa riwayat dalam Basha’ir al-darajat juga direkam oleh Majlisi dalam Bihar al-anwar-nya. Misalnya, kisah bagaimana Ali dibimbing oleh Ruh Kudus selama berada di Yaman untuk menunaikan tugas dari Nabi disebutkan dalam jilid ke-29 atau penjelasan tentang lima ruh dapat ditemukan dalam jilid ke-58.
Dalam jilid ke-25, Bihar al-anwar memuat sejumlah riwayat yang mempertegas status Ruh Kudus dalam aktivitas Nabi dan para imam Syi’ah. Terkait Q 40:15 (“[Tuhan] Yang Maha Tinggi derajat-Nya, Yang mempunyai ’Arsy, Yang mengutus ruh dengan membawa perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya”), Abu Abdullah berpendapat, “ruh yang dimaksud adalah Ruh Kudus, malaikat yang khusus bagi Nabi dan para imam.” Pendapat serupa dikemukakannya ketika menafsirkan Q 17:15 (“Mereka bertanya kepadamu tentang ruh”), bahwa ruh yang dimaksud adalah Ruh Kudus yang bersama Nabi dan para imam.
Banyak sekali riwayat dicatat oleh Majlisi untuk menunjukkan para imam dikuatkan atau didukung dengan Ruh Kudus, dengan menggunakan redaksi yang mirip seperti ditemukan dalam al-Qur’an, yakni bahwa Isa dikuatkan/didukung dengan Ruh Kudus (ayyadnahu bi-ruh al-quds).
Di kalangan Syi’ah, keyakinan ini didasarkan pada Q 58:22 (“Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan ruh yang datang daripada-Nya”). “Mereka” dalam ayat tersebut dipahami sebagai para imam Syi’ah dan, sekali lagi, kata “ruh” diartikan Ruh Kudus.
Imam Ja’far berkata: “Di antara kami didatangi oleh figur (shurah) yang lebih dari Jibril dan Mikail.” Pernyataan imam Ja’far ini menarik karena tidak mengidentifikasi Ruh Kudus sebagai malaikat. Memang ada riwayat dalam Bihar al-anwar yang secara eksplisit menyebut Ruh Kudus bukan malaikat. Yakni, riwayat yang dinisbatkan kepada imam al-Rida, sebagai berikut:
Sesungguhnya Allah menguatkan kami (ayyadna) dengan ruh yang suci dan disucikan dan dia bukan malaikat (laisat bi-malak). Dia tidak pernah bersama seseorang sebelumnya kecuali dengan Nabi Muhammad. Dan sekarang dia bersama para imam, mengarahkan dan membimbing mereka. Dia merupakan penyambung cahaya antara kami dan Allah.
Masih banyak riwayat lain yang dicatat oleh Majlisi, tapi kiranya sudah cukup jelas bahwa Ruh Kudus menempati posisi khusus dalam tradisi Syi’ah. Imam al-Baqir, bapaknya imam Ja’far, berkata: “[Para imam] penerima wasiat merupakan muhaddatsun [para imam kadang disebut “muhaddatsun,” yakni mereka yang diajak bicara atau diberi informasi]. Ruh Kudus berbicara dengan mereka walaupun mereka tidak melihanya. Ali pernah menyampaikan pertanyaan kepada Ruh Kudus, dan tiba-tiba dia merasakan getaran dalam dirinya dan yakin bahwa dia mendapatkan jawaban yang benar.”
Apa yang bisa dipelajari dari pandangan Syi’ah dan seluruh konstruksi tafsir tentang perantara wahyu? Bagi pengkaji, kekayaan tradisi diskursif (meminjam istilah Talal Asad “discursive tradition”) dalam dunia tafsir, atau disiplin keilmuan apapun, itu seperti samudera yang luas. Apa yang tampak di permukaan seolah sederhana, tapi kalau diselami ke dalam ternyata sangat luas dengan keragaman ikan dan warna-warni karang. Beragam diskursus penafsiran, sebagaimana didiskusikan di atas, mengajarkan sesuatu yang amat penting: Hamparan kekayaan tradisi Islam itu tidak sesempit pojokan majelis taklim.
How to cite this Article: Mun’im Sirry, “Perantara Wahyu: Jibril, Ruh Kudus atau Ruh Amin?’, studitafsir.com (blog), Mei, 3, 2022 (+ URL dan tanggal akses).