Polemik Penerimaan Hermeneutika Barat Pada Kesarjanaan Timur (Review Artikel Sahiron Syamsuddin)

Oleh: Alif Jabal Kurdi 

Hermeneutika masih menjadi salah satu topik yang memancing kontroversi. Permasalahan sisi origin serta ketepatannya jika diaplikasikan dalam penafsiran al-Qur’an masih menjadi persoalan. Alasan tersebut setidaknya masih memberikan kesan yang cukup membekas dalam ruang-ruang diskusi akademik yang bergulir bahkan hingga saat ini. Perdebatan sarjana “Timur” dan “Barat” masih kerap memunculkan ketegangan saat membawa tema-tema seputar Hermeneutika dan kemudian berimbas pada peta perjalanan kajian Islam—khususnya kajian tafsir al-Qur’an—di Indonesia.

Berbagai respon kritis muncul sebagai representasi atas diskusi hangat yang terjadi—khususnya respon para sarjana yang merupakan produk orisinil institusi pendidikan di Timur semisal al-Azhar. Di satu sisi Hermeneutika dianggap sebagai “benda asing” yang tidak layak bersanding dengan produk-produk orisinil dari khazanah Islam, sehingga secara simplistik ditolak begitu saja—pendapat ini diwakili oleh Muhammad Imarah. Di sisi lain, Hermeneutika diberikan tempat dalam kajian tafsir al-Qur’an namun perlu pertimbangan ketat dalam penggunaannya sebagai bagian dari metodologi penafsiran—sebagaimana pendapat M. Quraish Shihab.

Penolakan (rejection) dan penerimaan (reception) yang disebutkan di atas tidak bisa dilepaskan dari kontruksi nalar yang dibangun oleh masing-masing pendapat. Maka tulisan ini akan mengulas artikel yang ditulis oleh Sahiron Syamsuddin, “Differing Responses to Western Hermeneutics: A Comparative Critical Study of M. Quraish Shihab’s and Muhammad Imarah’s Thoughts”, yang selain mendiskusikan dan membandingkan kedua tokoh yang mewakili kedua pendapat di atas secara kritis, juga merefleksikannya ke dalam konteks dinamika studi Qur’an di Indonesia.

Imarah dan Shihab serta Definisi Hermeneutika

Imarah dan Shihab merupakan dua sarjana muslim yang memiliki latar belakang keilmuan Islam dari satu institusi pendidikan yang sama, al-Azhar. Namun secara spesifik keduanya memiliki perbedaan pada fokus kajian yang ditekuninya. Shihab menekuni bidang studi Qur’an sejak level pendidikan sarjana hingga pascasarjana. Sedangkan Imarah selalu mengambil jurusan berbeda pada setiap jenjang pendidikan tingginya. Imarah mengambil jurusan bahasa Arab pada pendidikan sarjananya dan Filsafat Islam serta Ushul Fiqh pada jenjang pendidikan master dan doktoralnya.

Baik Shihab maupun Imarah adalah cendekiawan yang tidak hanya aktif di ranah akademik namun juga berkiprah dalam dunia politik. Shihab terlibat dalam pemerintahan Era Orde Baru Soeharto sebagai duta besar Indonesia di Mesir, yang saat itu tidak terlibat permasalahan politik global dengan negara-negara Barat. Sedangkan Imarah merupakan aktivis yang aktif memperjuangkan kebebasan Palestina dan Mesir dari pendudukan Israel yang didukung oleh negara-negara Barat. Gambaran konteks ini setidaknya mempengaruhi inklusivitas dan ekslusivitas keduanya dalam menerima pemikiran yang berasal dari Barat.

Hal ini misalnya dibuktikan dengan karya-karya yang dihasilkan baik oleh Imarah maupun Shihab yang merepresentasikan resepsi keduanya terhadap pemikiran yang “berbau” Barat. Imarah menuliskan beberapa karya yang spesifik membahas pemikiran “Islam” dan Barat seperti al-Gharb wa al-Islam: Ayna al-Khata’? Wa Ayna al-Shawab?; al-Islam wa al-Gharb; Radd al-Iftira’at al-Jabiri ‘ala al-Qur’an al-Karim; Qira’at al-Nass al-Dini bayna al-Ta’wil al-Gharbi wa al-Ta’wil al-Islami. Karya yang disebut terakhir bahkan secara khusus dituliskannya untuk mengulas aplikasi Hermeneutika dalam penafsiran al-Qur’an.

Berbeda halnya dengan Shihab yang lebih cenderung menulis karya-karya spesifik mengenai kajian al-Qur’an dan tafsir serta mengaitkannya dengan isu-isu kontemporer. Mengenai persoalan Hermeneutika, Shihab tidak menulis secara eksplisit satu karya yang mendiskusikan pendapatnya melainkan menaruhnya pada satu bagian pembahasan khusus dalam bukunya, Kaidah Tafsir. Adapun karya-karyanya yang lain seperti al-Misbah—yang merupakan magnum opusnya, serta Membumikan al-Qur’an, merupakan ekspresi pemikiran orisinilnya dalam menafsirkan al-Qur’an serta mendialogkannya dengan isu-isu kontemporer.

Menarik untuk melihat lebih lanjut uraian definitif Hermeneutika sebagai pondasi dasar bagi penyikapan keduanya terhadap keilmuan ini. Shihab, dalam karyanya Kaidah Tafsir, mengelaborasi term Hermeneutika dengan mengutip beberapa penulis Arab yang menerjemahkannya dengan ‘ilm al-ta’wil atau al-ta’wiliya yang dielaborasi lebih lengkap sebagai seperangkat piranti yang digunakan untuk menganalisis dan memahami makna teks, begitu juga mengeksplorasi substansinya.

Berbeda halnya dengan Shihab yang memberikan uraian definisi yang jelas, Imarah hanya menyebutkan karakteristiknya saat mengulas biblical hermeneutics. Baginya, Hermeneutika merupakan metode interpretasi yang diikuti oleh empat asumsi yang melekat padanya yaitu: 1) matinya author/ pengarang; 2) makna berada sepenuhnya di tangan pembaca; 3) kebenaran interpretasi adalah relatif; 4) tidak ada perbedaan antara sacred text dengan profan text.

Definisi keduanya memiliki perbedaan yang sangat signifikan, di mana di satu sisi Shihab mendiskusikannya secara terbuka dan di sisi lain Imarah justru memberikan pandangan yang sangat peyoratif. Meskipun Shihab memberikan definisi yang cukup jelas, namun bagi Sahiron definisi yang diajukannya hanya menyentuh sisi paling umum.

Sahiron menyebut bahwa sebagai sebuah disiplin keilmuan, Hermeneutika mencakup empat hal pokok di dalamnya yaitu 1) hermeneuse; 2) hermeneutics in narrow sense; 3) philosopical hermeneutics; 4) hermenutical philosphy, sehingga keterangan Shihab tidak memadai untuk menjelaskan Hermeneutika secara terperinci.

Ulasan Kritis atas Pandangan Shihab dan Imarah Terhadap Tokoh-Tokoh Hermeneutika Barat

Bagian ini menjadi narasi lanjutan atas definisi Hermeneutika Shihab maupun Imarah sekaligus memperlihatkan kedalaman keduanya dalam memahami Hermeneutika. Sebenarnya tanggapan keduanya juga merupakan bentuk respon atas beberapa tokoh muslim yang mengenalkan Hermeneutika dalam khazanah keilmuan Islam khususnya Hassan Hanafi dan Nasr Hamid Abu Zayd. Maka akan sangat menarik untuk meninjau narasi keduanya dalam menjelaskan pemikiran-pemikiran Hermeneutika Barat yang berkembang dalam kesarjanaan Timur.

Pertama, dalam membahas Schleiermacher, Shihab mengurai bahwa ada dua komponen teoretis utama dari Hermeneutika ini yaitu analisa aspek gramatikal dan aspek psikologis. Kedua analisis ini, menurutnya, dibutuhkan untuk menangkap pesan teks sekaligus maksud pengarang. Namun bagi Shihab analisis psikologis pengarang merupakan sesuatu yang mustahil dan lantas ia beralih pada Dilthey yang memberi perhatian lebih besar pada sisi historis konteks dari teks yang dikaji.

Meskipun telah memberikan uraian yang jelas, namun bagi Sahiron deskripsi Shihab masih terlalu sederhana. Sebab ada beberapa aspek teoretis yang tidak diuraikan oleh Shihab, dan bahkan pada aspek analisis psikologis, Shihab tidak menguraikannya secara detail serta ia juga tidak merujuk langsung pada karya utama Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism and Other Writings. Akan tetapi, penjabaran Shihab atas Hermeneutika Schleiermacher setidaknya mampu memberikan gambaran umum jika dibandingkan dengan Imarah yang sangat simplifikatif dalam memandang Hermeneutika

Imarah dengan tegas mengatakan bahwa Hermeneutika adalah ilmu yang beranggapan bahwa author telah mati (al-hirminitiqa ‘ilm maut al-mu’allif). Klaimnya ini juga membawanya pada kesimpulan bahwa Hermeneutika adalah ilmu yang hanya menakar pemahaman teks melalui pemahaman subjektif pembacanya tanpa memperdulikan atau bahkan menolak maksud yang ada di balik teks yang berasal dari author maupun speaker-nya.

Maka segala jenis Hermeneutika, menurut Imarah, wajib dieleminasi penggunaannya dalam penafsiran. Sahiron menambahkan analisisnya bahwa sikap Imarah tidak bisa dilepaskan dari penolakannya terhadap pemikiran serta budaya Barat secara keseluruhan.

Kedua, Gadamer dan Paul Ricouer. Kedua tokoh ini, menurut Sahiron, disalahpahami baik oleh Shihab maupun Imarah. Saat menguraikan pemikiran Gadamer, Shihab menjelaskan bahwa Gadamer merupakan salah satu aliran subjektivis sehingga tidak cocok jika dijadikan sebagai alat untuk menarasikan al-Qur’an.

Padahal, menurut Sahiron, jika karya Gadamer dibaca secara teliti maka akan ditemukan bahwa Gadamer memberikan porsi yang seimbang antara objektivitas teks yang ditafsirkan dan subjektivitas penafsir. Kesalahpahaman Shihab ini membuktikan bahwa ia tidak merujuk langsung kepada karya orisinil Gadamer.

Meskipun demikian, setidaknya Shihab masih memberikan ruang diskusi atas salah satu tokoh Hemeneutika yang populer satu ini. Berbeda halnya dengan Imarah yang tidak berkenan untuk membicarakan tokoh-tokoh Hermeneutika tersebut kecuali satu tokoh yaitu Paul Ricouer.

Baginya, Hermeneutika ialah sebagaimana yang ia pahami dari teori Ricouer yaitu menolak maksud yang diinginkan pengarang dan mendeklarasikan kematian pengarang. Sahiron menyebut bahwa klaim “the death of author” bukan berasal dari Ricouer melainkan dari Roland Barthes. Hal ini sekaligus memperlihatkan misunderstanding Imarah atas Hermeneutika serta implikasinya dalam memberikan klaim tanpa telaah yang objektif terlebih dahulu.

Implikasi dalam Konteks Studi Qur’an di Indonesia

Kedua bentuk penerimaan yang berbeda terhadap Hermeneutika pada diskusi di atas memberikan dampak pada kajian al-Qur’an di Indonesia. Pendapat Imarah misalnya, mendapatkan apresiasi dan angin segar saat disuarakan kembali oleh Adian Husaini. Ia menyebut bahwa Hermeneutika berasal dari tradisi Kristen yang secara ontologis kitab sucinya berbeda dengan Islam. Bible diinspirasi oleh Tuhan sedangkan al-Qur’an diwahyukan dari Tuhan kepada Nabi Muhammad.

Selain itu, ia juga menambahkan bahwa Hermeneutika dapat berimplikasi pada tiga hal: 1) relativisme penafsiran; 2) kritik keras kepada ulama Islam klasik; 3) dekonstruksi konsep perwahyuan al-Qur’an. Bagi Sahiron, pendapat ini seakan membeo pada konstruksi penolakan Imarah yang tidak berlandaskan pada penelaahan yang matang—objektif pada karya pemikir yang dikritisi pemikirannya—dan cenderung sangat subjektif dalam memberikan penilaian.

Namun bagi yang memiliki ketertarikan dan bersikap apresiatif terhadap Hermeneutika cenderung akan mengaplikasikannya pada penafsiran al-Qur’an secara selektif dan moderat. Shihab misalnya, yang apresiatif dengan Hermeneutika  menekankan sisi teks dan konteks historis, mengaplikasikan dua metode tersebut dalam menafsirkan ayat syura, lalu mengkontekstualisasikannya sehingga menghasilkan makna yang relevan dengan kondisi saat ini. Hal itu juga dijumpai pada cendekiawan muslim Indonesia lainnya seperti Yudian Wahyudi dan Sahiron Syamsuddin, yang bahkan mengembangkan model Hermeneutikanya sendiri, ma’na cum maghza.

Diskusi mengenai problem penerimaan hermeneutika di kalangan sarjana Timur setidaknya memperlihatkan dua hal yang patut digarisbawahi. Pertama, kedalaman suatu kritik harus dilandasi dengan kedalaman pemahaman atas objek yang dikritisi. Hal ini menjadi penting sebab berdasarkan uraian di atas, baik Shihab maupun Imarah tidak lepas dari kesalahpahaman saat mendeskripsikan maupun mengkritisi objek yang akan dikritisinya dan fakta ini tidak bisa dilepaskan dari kurangnya literasi bahkan mencukupkan diri membaca suatu pemikiran hanya dari referensi sekundernya.

Kedua, kurangnya penerimaan maupun apresiasi terhadap keilmuan yang tidak lahir dari rahim Islam—khususnya pada studi Islam—oleh kesarjanaan Timur, tidak bisa dilepaskan dari kondisi politik negara-negara Timur yang kerap berkonflik dengan Barat. Di satu sisi, penolakan (rejection) yang dilakukan oleh beberapa sarjana Timur bisa diasumsikan sebagai ekspresi defensive atas kolonialisasi berbentuk pemikiran.

Namun di sisi lain, penolakan yang diajukan oleh Imarah, misalnya, juga tidak bisa dibenarkan secara akademik sebab sikap tersebut justru memperlihatkan arogansi serta stagnasi keilmuannya yang masih mengandalkan pendekatan intradisipliner sedangkan dunia saat ini bahkan telah menuntut perspektif transdisipliner. [ ]

 

How to cite this Article: Alif Jabal Kurdi, Polemik Penerimaan Hermeneutika Barat Pada Kesarjanaan Timur (Review Artikel Sahiron Syamsuddin), studitafsir.com (blog), Juni, 16, 2022 (+ URL dan tanggal akses).

 

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 80

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Unknown