Muḥammad Jawwād Mughniyah, Sang Mufassir-Cum-Pilsuf (1)

Oleh: Achmad Fauzan 

Muḥammad Jawwād Mughniyah (1904-1979 M) merupakan tokoh Syi’ah Imamiyah Iṡnā ‘Asyariyyah yang kelahirannya sezaman dengan dua tokoh Syi’ah lainnya: Ayatullah Khomeini (1902-1989 M), dan Ḥusayn al-Ṭabaṭabā’ī (1904-1981 M).

Terdapat beberapa persamaan antara Jawwād dan Ṭabaṭabā’ī: mereka berdua sama-sama kelahiran Iran yang beraliran Iṡnā ‘Asyariyyah; mengarang tafsir al-Qur’an, dan (juga) sama-sama mengkritik pemerintahan Ayatullah Khomeini.

Dalam konteks pemikiran terdapat perbedaan antara Ṭabaṭabā’ī dan Jawwad: pemikiran Ṭabaṭabā’ī lebih dikenal daripada Jawwād, setidaknya hal ini cukup tampak di Indonesia. Padahal, menurut penulis, pemikiran Jawwād tidak kalah filosofisnya dengan Ṭabaṭabā’ī.

Setidaknya terdapat dua pengarang asal Indonesia yang membahas pemikiran Jawwād, khususnya dalam bidang tafsir al-Qur’an:

1) Disertasi Mun’im Sirry yang berjudul Reformist Muslim Approaches to the Polemics of the Qur’ān against Other Religions (2012). Di sini Mun’im memunculkan permasalahan ayat-ayat polemis antara agama Islam dan dua agama lain dari trah “Abrahamic Religions” dengan membedah lima mufassir, dua di antaranya adalah Jawwād dan Ṭabaṭabā’ī. Saat membincang profil keduanya, Munim memberi informasi bahwa dua sosok ini sama-sama memproduksi tafsir al-Qur’an terbaik; dan keduanya juga—sebagaimana disebutkan sebelum ini—sama-sama memfokuskan kritiknya terhadap pemerintahan Khomeini.

2) Skripsi dari UIN Walisongo Semarang yang digarap oleh Purnomo dengan judul “Tafsīr Al-Kāsyif karya Syekh Muḥammad Jawwād Mughniyah: Metode dan Corak Penafsiran (2013)”. Dalam skripsinya Purnomo mengurai bagaimana metode dan corak penafsiran yang dikonstruksi oleh Jawwad. Meski demikian, masih terbuka ruang yang lebar untuk melakukan penelitian lebih lanjut terhadap pemikiran-pemikiran Jawwād Mughniyah.

Mengenal Profil Jawwad

Jawwad terlahir tidak seberuntung anak-anak lainnya. Pasalnya, saat usinya masih 4 tahun, ia sudah ditinggal mati oleh ibunya. Konon, ibunya adalah keturunan dari Sayyidah Fathimah Zahra, putri Nabi SAW. Setelah mangkatnya sang ibu, Jawwad ikut bersama ayahnya ke kota Najaf, Irak. Di kota ini ia belajar banyak fan keilmuan, termasuk matematika dan bahasa Persia.

Menginjak umur dua belas tahun, sang Ayah menyusul kepergian ibunya. Kondisi ini memberikan pukulan yang cukup dahsyat pada diri Jawwad. Meski demikian, keinginan menuntut ilmunya tetap teguh walaupun diliputi kondisi sosial yang cukup sulit pasca ibu dan ayahnya menghadap kepada Zat yang maha tinggi.

Di kota Najaf, ia menekuni berbagai macam ilmu pengetahuan selama lebih dari sebelas tahun lamanya dari ulama-ulama besar, seperti: Ayatullah Muhammad Husein Karbala’i, Ayatullah Sayyid Husein Hamani dan Ayatullah Abu al-Qasim al-Khu’i.

Ia merupakan penulis yang produktif, karya-karya yang ditulis dan (juga) bisa dinikmati kurang lebih ada 61 judul, beberapa diantaranya: ma’a al-Syi’ah al-Imamiyyah, al-Syi’ah wa al-Hakimun, Allah wa al-‘Aql, al-Nubuwwah wa al-‘Aql, Ali wa al-Qur’an, al-Husain wa al-Qur’an, al-Itsna ‘Asyariyyah, al-Fiqh ala al-Madzahib al-Khamsah, Fiqh al-Imam al-Shadiq, al-Tafsir al-Kasyif, al-Tafsir al-Mubin, al-Tafsir al-Shahifah al-Sajadiyyah, Israiliyyat, dan lain-lain.

Jawwād Mughniyah wafat pada usia 75 tahun, di Beirut, pada malam Sabtu, 19 Muharram 1400 H / 1979 M. Ia dimakamkan di area maqbarah Imam ‘Ali, di kota Najaf, Irak.

Sekilas Tentang Tafsīr al-Kāsyif

Di dalam mukaddimahnya, Jawwad mengungkapkan, bahwa seusai menulis Mausu’ah Fiqh al-Imam Ja’far al-Shadiq yang terbagi menjadi enam juz besar secara sempurna dan membuahkan hasil, ia ingin melanjutkan misi intelektualnya dengan menuliskan satu karya tafsir yang bahasannya lebih komprehensif, dan ia namakan dengan “Tafsīr Al-Kāsyif”.

Dalam perjalanannya, Jawwad sempat mengalami keraguan apakah ia mampu menuntaskan keinginannya tersebut apa tidak; dan ternyata nasib baik menyertainya, ia diberkahi dengan umur panjang hingga mampu menuntaskan penulisan Tafsīr al-Kāsyif ini dalam tujuh jilid besar.

Adapun terkait metode yang digunakan oleh Jawwād dalam Tafsīr al-Kāsyif ini adalah:

Pertama, ia tidak memfokuskan perhatiannya pada hal yang bersangkutan dengan kebahasaan kecuali bahasa yang cukup asing dan sulit dipahami. Kedua, Jawwād tidak menggunakan riwayat-riwayat Isrāiliyyāt. Menurut Jawwad, cerita-cerita Israiliyyat bersifat khurafat dan asathir (cerita masa lalu) serta tidak ada dalil ṣahīh yang membenarkan tentang hadis-hadis tersebut.

Ketiga, ia tidak memprioritaskan hadis-hadis yang berkaitan dengan asbabun nuzul kecuali hanya sedikit. Pasalnya—menurut Jawwad—kebanyakan para ulama menghapus sanad-sanadnya, membedakan ṣahih dan ḍa’īfnya, dan hanya meneliti secara mendalam ketika riwayat-riwayat itu berhubungan dengan hukum-hukum yang bersifat wajib dan haram.

Keempat, meski demikian, di beberapa penafsirannya Jawwād tetap menggunakan hadis Nabi yang benar-benar diperlukan. Apabila tidak ditemukan hadis dalam memahami suatu ayat, maka Jawwād mendasarkan penafsirannya pada ayat ẓahir (akal), karena al-Mutakallim al-Hakim menggunakan penjelasan maksudnya sesuai dengan apa yang dipahami oleh al-Mukhatab dari sisi ẓahir. Kelima, Ia juga menggunakan metode diskusi (jadal). Salah satu mufassir yang terkenal dengan menggunakan metode diskusi adalah Fakhr al-Dīn al-Rāzī dalam Tafsīr Mafātīḥ al-Ghayb.

Corak yang digunakan Jawwād dalam penafsirannya adalah Iqna’i, yaitu suatu corak penafsiran yang menyimpan harapan terhadap seorang pembaca bisa menerima, bahwa sesungguhnya agama mencakup segala pokok-pokoknya, cabang-cabangnya, dan ajarannya itu bertujuan untuk kebaikan, kemuliaan, dan kesuksesan setiap orang.

Dalam aplikasinya, ia juga mencurahkan segala daya dan upaya untuk memudahkan para pembaca dalam memahami penafsirannya, terutama dengan menyuguhkan bahasa yang mudah dipahami. Sehingga tidak mengherankan jika penafsiran Jawwad lebih didominasi dengan penggunaan ra’yu, dibandingkan dengan bil ma’tsur.

Adapun terkait spesifikasi metode dalam penafsirannya, Jawwad lebih condong kepada tahlili. Hal ini misalnya bisa dilihat jika melihat bagaimana alur bahasan dalam Tafsir yang disusunannya; al-Lughah, al-I’rab, dan al-Ma’na, yang jelas berbeda dengan metode Ijtimālī, Muqāran, begitu pun dengan Mauḍū’ī. [ ]

 

How to cite this Article:Achmad Fauzan, Muḥammad Jawwād Mughniyah, Sang Mufassir-Cum-Pilsuf (1), studitafsir.com (blog), September, 14, 2022 (+ URL dan tanggal akses).

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 80

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Unknown