Fluiditas al-Qur’an? Sebuah Perdebatan (Review Artikel Nicolai Sinai) Bagian Pertama

Oleh: Annas Rolli Muchlisin

Sumber-sumber tradisional Muslim menginformasikan bahwa mushaf al-Qur’an yang kita miliki sekarang secara resmi telah dibukukan pada masa khalifah Utsmān bin ‘Affān (w. 656). Namun, beberapa sarjana modern, seperti Mun’im Sirry (Notre Dame) untuk konteks diskursus di tanah air, mempertanyakan ulang pandangan konvensional ini. Sirry sering menegaskan bahwa syarat sebuah sumber historis dapat diterima adalah kesezamanan antara sumber tersebut dengan peristiwa yang ia rekam.

Kodifikasi al-Qur’an yang diatributkan kepada masa Utsmān (abad pertama Islam) misalnya direkam dalam Ṣaḥīḥ karya al-Bukhārī (w. 870). Apakah karya al-Bukhārī yang ditulis pada abad ketiga hijriyah dianggap reliable (terpercaya) untuk mengkonstruksi peristiwa yang terjadi pada abad pertama? Dalam keyakinan penulis Muslim, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan karya semisal dapat dipercaya karena disokong oleh isnād yang sampai pada generasi Muslim pertama. Tetapi bagi kalangan sarjana di Barat, berita yang ditransmisikan secara lisan rentan mengalami pengembangan, penambahan, distorsi, dan pemalsuan, dan dengan demikian tidak cukup kredibel.

Berangkat dari pertimbangan tersebut, sekelompok sarjana – sering disebut revisionists –  tidak menerima narasi tradisional dan menegaskan bahwa al-Qur’an masih bersifat fluid (cair – dalam arti masih ‘terbuka’ untuk berbagai perombakan yang signifikan) sebelum menjadi korpus tertutup pada era belakangan. Chase Robinson, Alfred-Louis de Prémare, David Powers, dan Stephen Shoemaker, misalnya, berpendapat bahwa al-Qur’an menjadi korpus tertutup bukan pada masa Utsmān, tetapi pada era khalifah kelima Umayyah, ‘Abd al-Malik bin Marwān (w. 705). Nicolai Sinai (Oxford) dalam dua artikelnya – yang akan direview di sini – menguji pandangan ini.

Argumen Kesarjanaan Revisionis dan Problematisasi Sinai

Bangunan Kubah Batu (Qubbah al-Shakhrah/Dome of the Rock) di Yerussalem, yang selesai dibangun pada tahun 72H/691-2 M di era kepemimpinan ‘Abd al-Malik, adalah saksi bagi sejarah Islam awal. Para peneliti menemukan bahwa inskripsi ayat al-Qur’an yang terukir di bangunan ini berbeda dari mushaf standar yang kita punya saat ini.

Sebagai contoh, di dalamnya tertulis, “lahu al-mulk wa lahu al-ḥamd yuḥyi wa yumīt wa huwa ‘alā kulli syain qadīr,” tetapi frase seperti ini tidak ditemukan di dalam mushaf standar. Yang kita temukan adalah frase “lahu al-mulk wa lahu al-ḥamd wa huwa ‘alā kulli syain qadīr” (Q 64:1) atau “lahu mulk al-samāwāt wa al-ardh yuḥyi wa yumīt wa huwa ‘alā kulli syain qadīr (Q 52:7).

Contoh lainnya, di dalam mushaf standar tertulis “wa raḥmatī wasi‘at” (Q 7:156), sedangkan di pintu masuk sebelah selatan Qubbah al-Shakhrah terukir “wasi‘at raḥmatuh.” Perbedaan inskripsi ini dengan mushaf standar, menurut sarjana revisionis, adalah bukti gamblang akan kekurang stabilan (relative instability) dan cairnya al-Qur’an hingga pada masa pembangunan Qubbah al-Shakhrah.

Tetapi, Sinai tegaskan bahwa interpretasi ini bukanlah satu-satunya kemungkinan. Dalam seni kaligrafi, perpaduan antar berbagai potongan ayat al-Qur’an adalah hal yang lumrah, sebagaimana dibuktikan dalam inskripsi lainnya. Tulisan ‘wasi‘at raḥmatuh’ (kata ganti orang ketiga) dalam Qubbah al-Shakhrah, alih-alih ‘wa raḥmatī wasi‘at’ (kata ganti orang pertama), bisa dipahami berdasarkan konteks epigrafisnya karena potongan ayat yang dikutip sebelumnya pada ukiran tersebut menggunakan kata ganti orang ketiga (kataba ‘alā nafsih raḥmah – Q 6:12).

Dalam konteks ini, al-Qur’an berfungsi sebagai pijakan inspirasi awal saja untuk elaborasi tulisan di inskripsi tersebut. Singkat kata, inskripsi di Qubbah al-Shakhrah bisa ditafsirkan secara beragam: oleh sarjana revisionis, ia adalah bukti fluiditas al-Qur’an, tetapi, tegas Sinai, itu bukan satu-satunya penafsiran untuk inskripsi tersebut.

Argumen sarjana revisionis selanjutnya adalah fakta bahwa sumber-sumber Muslim mengafirmasi peran Bani Umayyah dalam sejarah standarisasi al-Qur’an. Ibn Abī Dāwūd, misalnya, menyuguhkan riwayat bahwa ‘Ubaydillāh bin Ziyād (w. 686) menambahkan alfay ḥarfin (dua ribu huruf) ke dalam kodeks al-Qur’an.

Meskipun Ibn Abī Dāwūd menjelaskan bahwa yang ditambahkan adalah huruf alif (misalnya قلو menjadi قالوا dan كنو menjadi كانوا, penambahan yang tidak mengubah makna), tetapi De Prémare memahaminya sebagai penambahan dua ribu kata dengan alasan bahwa penambahan alif sudah lazim pada era sebelumnya, sebagaimana yang ditemukan pada inskripsi Mu‘awiyyah (w. 680) di dekat bendungan Taif, sehingga penambahan alif tidak perlu lagi dilakukan.

Tetapi, penjelasan De Prémare, lanjut Sinai, terbantahkan oleh bukti manuskrip al-Qur’an awal yang di beberapa bagiannya masih tidak memakai alif. Dengan demikian, penjelasan Ibn Abī Dāwūd di atas masih bisa dipegang.

Sumber Muslim juga menggambarkan bahwa gubernur Iraq, al-Ḥajjāj ibn Yūsuf (d. 714), mengumpulkan para penghafal al-Qur’an untuk menghitung huruf, kata, dan ayat al-Qur’an, lalu membaginya menjadi bagian (aḥzāb) dengan panjang yang sama. Ia juga diceritakan menyuruh Nasr ibn ̣ ʿĀsim (w. 707/8), murid Abū al-Aswad al-Du’alī (w. 688/9), untuk menambahkan tanda diakritik pada al-Qur’an.

Pada sisi yang lain, sumber-sumber non-Muslim awal mendeskripsikan peran al-Ḥajjāj secara lebih radikal. Penulis Kristen, ʿAbd al-Masīḥ al-Kindī (awal abad 3H/9M), menulis bahwa “tidak ada satupun kodeks yang tidak dikumpulkan oleh al-Ḥajjāj melainkan ia tambahkan banyak hal dan menghapus banyak hal lainnya.”

Selaras dengan itu, Lewond, penulis kronik abad ke-8 asal Armenia, mengutip surat raja Bizantium, Leo III (717-741) kepada khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz (717-720) yang menggambarkan bahwa al-Ḥajjāj mengubah beberapa bagian dari al-Qur’an sesuai seleranya. Namun, lanjut Sinai, testimoni al-Kindī dan Lewond ini bisa dilihat sebagai upaya polemik untuk menyebarkan keraguan terhadap integritas al-Qur’an. Apakah tulisan yang sifatnya polemik bisa dijadikan rujukan dalam diskusi akademik?

Argumen kelompok revisionis lainnya adalah ketidaksesuaian antara hukum Islam awal dengan al-Qur’an. Joseph Schacht, misalnya, mencontohkan bahwa dalam diskursus hukum Islam awal, dokumen tertulis tidaklah dianggap sebagai bukti legal (berbeda dengan Q. 2:282) dan hukuman rajam bagi pezina (berbeda dengan Q 24:2).

Berdasarkan contoh-contoh seperti ini, Patricia Crone mengajukan pertanyaan, “bagaimana mungkin Muslim awal sudah memiliki kitab suci yang berisi peraturan tapi tidak menjadikannya sebagai landasan hukum?.” Dalam bahasa lain, jika benar bahwa al-Qur’an sudah terbukukan, mengapa ia tidak dijadikan sumber hukum? Crone lalu berpendapat pastilah al-Qur’an terkanonisasi pada era belakangan, yakni periode pertengahan dinasti Umayyah.

Apakah argumen ini kuat? Fakta bahwa pada era modern, hukuman pencuri di beberapa negara Muslim adalah penjara (berbeda dengan bunyi literal Q. 5:38), misalnya, apakah dengan sendirinya menjadi bukti ketiadaan al-Qur’an? – ini pertanyaan saya, bukan Sinai. Dalam hipotesisnya, Sinai menjelaskan bahwa seringkali fungsi paling awal dari kitab suci adalah recitation (pelantunan) untuk tujuan ritual dan kebaktian, sedangkan fungsi semantiknya yang mencakup interpretasi dan penegakan hukum yang terkandung di dalamnya datang secara bertahap.

Setelah memproblematisasi beberapa argumen sarjana revisionis bahwa al-Qur’an masih bersifat fluid dan baru menjadi kanon tertutup pada periode pertengahan dinasti Umayyah sebagaimana didiskusikan di atas, Sinai memulai artikel keduanya dengan menunjukkan beberapa keterbatasan argumen yang digunakan sebagian sarjana tentang kodifikasi mushaf era Utsmān. Kemudian, ia menganalisa bukti internal al-Qur’an sendiri untuk menguji apakah kitab suci ini fluid atau sudah fixed sejak masa awal. Artikel Sinai yang kedua akan diulas pada tulisan berikutnya.

Artikel yang diulas berjudul “When did the consonantal skeleton of the Quran reach closure? Part I,” dalam Bulletin of SOAS, 77, 2 (2014), 273–292.

 

How to cite this Article:  Annas Rolli Muchlisin, “Fluiditas al-Qur’an? Sebuah Perdebatan (Review Artikel Nicolai Sinai) Bagian Pertama, studitafsir.com (blog), April 6, 2022 (+ URL dan tanggal akses).

 

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 80

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Unknown