Dongeng Jalan Tengah: Herbert Berg Membenturkan Paradigma Optimis dan Skeptis dalam Tafsir Q. 15: 89-91

Oleh: Mu’ammar Zayn Qadafy

 

Awal Mula

Sejak pertama diperkenalkan, isu “asal-usul” agama Islam (Islamic origins) telah melahirkan tensi berkepanjangan antara pendukung dan penyanggahnya. Golongan skeptis (biasa disebut juga “revisonis”) tanpa ragu menyebut bahwa segala hal yang kita ketahui tentang Muhammad, al-Qur’an dan generasi awal Muslim tidak lebih dari sekedar “sejarah penyelamatan” (salvation history) yang merefleksikan pemahaman umat Islam belakangan mengenai apa yang ingin mereka percayai, dan karenanya tidak bernilai sejarah.

Tesis ini telah disanggah oleh banyak pemerhati Islam awal seperti Versteegh (Nijmegen) dan Donner (Chicago). Jika al-Qur’an, hadith dan Sīrah adalah murni produk muslim belakangan, sebagaimana diklaim oleh kalangan revisionis, maka ini mengasumsikan adanya konspirasi besar di kalangan umat Islam untuk menciptakan (baca: memalsukan) sejarah versi mereka. Lebih dari itu, meski banyak perbedaan (baik yang signifkan maupun tidak) ditemukan dalam riwayat-riwayat tradisional, semua aliran dalam Islam menyepakati kebenaran plot dan tokoh utama sejarah Islam secara umum. Dua point ini menjadi dasar yang dipakai kalangan tradisionalis untuk menolak eksperimen hipotetikal kelompok skeptis yang ingin menyodorkan alternatif sejarah Islam yang baru.

Tiga orang yang dianggap memelopori asumsi skeptis-radikal adalah Goldziher (1850-1921), Joseph Schacht (1902-1969) dan Wansbrough (1928-2002). Dua strategi berbeda ditempuh oleh kelompok tradisionalis dalam membantah klaim-klaim ketiga pemikir ulung tersebut. Golongan tua seperti Abbot (1897-1981), Sezgin (1924-2018) dan Azami (1930-2017) mengakui kekosongan materi tulisan di abad pertama dan kedua Islam, tetapi berargumen kalau kumpulan riwayat pada abad ke-3 dan ke-4 memuat rekaman sejarah yang “sempat tidak terekam” tersebut. Untuk tujuan ini, mereka menguji rangkaian sanad dalam kitab-kitab hadith pilihan dan berargumen bahwa sanad-sanad ini dihasilkan dari proses transmisi yang terus berlanjut dari bentuk sanad yang oral hingga berbentuk tulisan.

Golongan muda seperti Stauth, Motzki (1948-2019) dan Schoeler (Basel) menempuh strategi lain yang lebih ekstrem, yang oleh Herbert Berg disebut sebagai the Sanguine approach). Dengan mengkaji secara bersamaan sanad (dengan bantuan ʿilm rijāl al-ḥadīth) dan matn (dengan kritik redaksional) dari beberapa hadith pilihan, mereka mengklaim telah berhasil mengkonstruksi  format dasar sanad ini (urtext) pada periode formatifnya. Baik golongan tua dan muda, keduanya berkesimpulan bahwa sebagian besar hadith adalah otentik dan secara historis akurat.

Penting dicatat, seakrobatik apapun metode penelusuran sejarah yang ditempuh Motzki dan kawan-kawan, kelompok skeptis tetap akan memandangnya sebelah mata. Bagi mereka, keterhubungan antara sanad, matn, dan materi-materi biografis (yang coba dihadirkan oleh Motzki cs) tidaklah mengherankan karena ketiganya saling bergantung (independent) satu sama lain, sehingga argumen otentisitasnya hanya berputar-putar (baca: sirkular) .

Sangking substansial-nya perbedaan antara dua paradigma skeptis dan optimis, Berg menyebut mustahil menemukan titik temu di antara keduanya, jangankan untuk saling menerima, bahkan hanya sekedar untuk saling bersimpati. Eksklusifitas inilah yang menjadi argumen utama dalam artikel Berg berjudul “Competing paradigms in the Study of Islam Origins” yang direview ini. Sebagai sampel, Berg memilih kasus penafsiran atas Q. 15: 89-91 dan bagaimana masing-masing metodologi skeptis dan optimis menganalisa riwayat-riwayat penafsiran atasnya.

Ayat-ayat di atas berbunyi:

wa qul innī anā al-naḏīr al-mubīn (dan katakanlah, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang jelas),

ka mā anzalnā ʿalā al-muqtasimīn (sebagaimana kami telah menurunkan kepada orang yang memilah-milah),

al-laḏīna jaʿalū al-Qurʾān ʿiḍīn (yaitu mereka yang membuat al-Qur’an menjadi terbagi-bagi)

Fokus utama Berg adalah tafsir atas kata al-muqtasimīn dan iḍīn yang menurutnya ambigu. Mengenai yang pertama, kebanyakan riwayat mengaitkannya dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani, sementara sebagian kecil menautkannya dengan orang-orang non Muslim dari suku Quraishī atau dengan kaum Nabi Soleh yang ingkar.

The Sanguine Approach

Pendekatan ini meng-ideal-kan, jika informasi dari sanad dibandingkan dengan informasi dari matn yang disandarkan kepadanya, akan bisa disaring materi yang asli dari materi-materi palsu yang ditambahkan. Mengenai sosok common link, yang seringkali dituduh sebagai pemalsu hadith, Motzki menyebutnya sebagai sesuatu yang lumrah, dan justru menjadi bukti dari proses transmisi yang betul-betul terjadi. Adapun sanad yang mendahului common link, maka dianggap valid selagi tidak ada bukti yang menunjukkan sebaliknya.

Memakai framework mereka, Berg melacak tiga narasi ini dalam beberapa kitab, di antaranya: Tafsir karya Ṭabarī (d. 310/923), Sufyān al-Thawrī (d. 161-778), Mujāhid (d. 104/722), Muqātil (d. 150/767), al-Ayyāshī, Muṣannaf ʿAbd al-Razzāq (d. 211/827), Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, serta Sīrah dan Siyar wa al-Maghāzī karya Ibn Isḥāq (d. 150/767). Berg lalu menyusun plot kisah dari masing-masing alternatif tokoh yang menurut para mufassir tersebut menjadi sasaran dari kata al-muqtasimīn, sekaligus menampilkan bagan sanad yang disandarkan ke masing-masing Abū Zabyān, Saʿīd Ibn Jubayr (d. 95/714), Ibn ʿAbbās (d. 68/687), Mujāhid, dan ʿIkrimah.

Dengan ketelitian yang mengagumkan, Berg mengurai detil-detil menarik dari kumpulan sanad tersebut (hal. 265-275). Di antara temuannya adalah sebagai berikut: (1) pada kumpulan riwayat terpopuler, makna al-muqtasimīn sebagai “ahli kitab” bersumber dari seorang comon link yaitu Ibn ʿAbbās. Di tangan periwayat setelahnya, makna “ahli kitab” ini tidak secara konsisten dipakai, melainkan berkembang menjadi redaksi yang baru. (2) Di antara tambahan redaksi yang muncul belakangan adalah frasa “mereka beriman pada sebagian dari al-Qur’an dan mendustakan sebagian yang lain“, yang kemungkinan besar dibubuhkan oleh Hushaym, dari materi dasar versi Ibn ʿAbbās di atas. Temuan ini memperkuat hipotesa kalau semakin panjang sebuah isnād, peluang semakin panjangnya matn juga semakin besar (hal. 271). (3) makna al-Muqtasimīn sebagai orang Quraish yang memfitnah al-Qur’an bisa dilacak hingga Qatādah (common link) yang sanad-nya berujung di ʿIkrimah. Versi matn yang lebih panjang ditemukan dalam riwayat yang disandarkan kepada Maʿmar Ibn Rashīd (d. 153/770). (hal. 272).

Di akhir analisanya, Berg menyebut kalau metodologi para sanguine ini akan cenderung menganggap penisbahan al-Muqtasimīn ke orang-orang kafir Makkah lebih akurat. Tidak hanya karena plot ini menjanjikan untuk dianggap sebagai sabab al-nuzūl ayat yang sedang dibahas (sehingga di kemudian hari plot ini lebih populer dalam kitab-kitab sīrah), tetapi juga karena lemahnya sanad yang disandarkan kepada Ibn ʿAbbās. Pun jika itu dianggap benar, keyakinan bahwa Ibn ʿAbbās belum dilahirkan ketika ayat ini turun membuat kesaksiannya tidak kuat, sehingga pengaitan al-muqtasimīn dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani adalah tidak lebih dari interpretasi Ibn ʿAbbās, berdasarkan ijtihadnya sendiri (hal. 275).

Apapun hasil dari penelusuran sanad dan matn versi kelompok optimis yang diperagakan Berg, kesimpulan akhirnya bermuara pada pembenaran atas terjadinya transmisi aktual dari sebuah kisah yang bisa dilacak dari sebaran dan kronologi sanad, disandingkan dengan analisa terhadap variasi matn yang beredar di sumber-sumber tradisional.

The Skeptical Approach

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pendekatan skeptis tidak menganggap narasi-narasi di kitab-kitab Muslim tradisional -seberapapun masif jumlahnya- sebagai bernilai sejarah. Karenanya, metode yang tepat untuk meneliti riwayat-riwayat ini, menurut kelompok skeptis, adalah melalui kritik sastra terhadap matn dengan mengabaikan secara total sanad-sanad yang menyertainya.

Dalam rangka mereplika cara berpikir kelompok skeptis, Berg memakai tipologi tafsir klasik yang diperkenalkan oleh Wansbrough, bahwa secara kronologis, tafsir paling awal berbentuk haggadik (naratif dengan didukung riwayat-riwayat, identifikasi nama-nama, anekdot dan sabab al-nuzūl), lalu halakhik (seputar hukum dan naskh), lalu masoretik (tekstual dan mengacu pada perbedaan Qiraat, dan penjelasan leksikal-grammatikal).

Dalam framework ini, penafsiran al-muqtasimīn sebagai “ahli Kitab” sangat mungkin muncul dalam Lingkungan sektarian Yahudi-Nasrani saat al-Qur’an dilahirkan (catat bahwa Wansbrough memiliki teori tentang kelahiran al-Qur’an yang berbeda dengan versi tradisional). Bahwa narasi ini ditemukan juga dalam tafsir Muqātil, sebagai salah satu tafsir tertua, akan menjadi bukti tambahan mengenai karakter haggadik dari makna ini. Wansbrough, dan siapapun yang mengamini metodologinya, akan menganggap kisah ini sebatas penafsiran naratif yang tidak memuat sedikitpun unsur sejarah (hal. 279).

Kemudian, dalam Maʿānī al-Qurʿān karya al-Farrāʾ (d. 207/822), mulai diperkenalkan penghubungan al-Muqtasimīn dengan musuh-musuh Nabi dari suku Quraish. Dalam al-Farrāʾ, fase penafsiran telah bergeser dari fase haggadik ke fase masoretik. al-Farrāʾ menandai pergeseran penempatan al-Qur’an dari konteks lingkungan Yahudi-Kristen menuju lingkungan Mekkah. Adapun mengenai makna al-muqtasimīn sebagai pengikut Nabi Soleh, makna ini adalah makna masoretik lanjutan karena disinyalir muncul dari dua makna kebahasaan yang dikandung oleh kata ini: orang-orang yang menyalahi sumpah dan atau orang-orang yang membagi-bagi.

Ringkasnya, analisa kesusastraan ala Wansbrough ini sedari awal memang tidak ditujukan untuk menggali nilai faktualitas historis dari penafsiran-penafsiran yang berkembang atas kata muqtasimīn, melainkan untuk melacak sejarah kemunculan narasi tertentu dalam genre karya sastra tertentu.

Catatan 

Artikel ini, menurut saya, berhasil mencapai tujuan yang diinginkan penulisnya. Berg berhasil menunjukkan bagaimana asumsi tertentu terhadap sejarah Islam akan menuntun pada pola dan hasil pembacaan tertentu pula. Pendekatan optimis mungkin secara metodologis lebih teliti (rigorous) karena berkaitan dengan pelacakan tanggal-tanggal dan nama-nama. Biasanya, jika dalam penelusuruan sanad dan matn ditemukan pola-pola yang mencurigakan, maka itu akan dianggap sebagai “pemalsuan”, “kesalahan penyalinan” atau efek perubahan dari transmisi oral ke transmisi tulisan. Di sisi lain, pendekatan skeptis nampak secara teoretis, lebih teliti, karena menghendaki bukti sejarah tertulis yang memang sezaman dengan fakta sejarah yang dikisahkan. Di titik ini, kelompok skeptis terlihat sangat keras kepala (stubborn) dan menutup peluang kompromi.

Terlepas bahwa teori perkembangan meateri tafsir ala Wansbrough sudah mendapat kritik yang serius dari sejarawan tafsir kontemporer (lihat pembahasan tentang point ini di sini), analisa kesusastraannya yang secara epik dilanjutkan oleh mendiang Andrew Rippin dalam analisanya tentang genre sabab al-nuzūl dan naskh telah membuka banyak hal penting yang menentukan cara para Islamis mengarahkan riset sejarah intelektual Islam di era klasik dan pertengahan. Saya pikir, perlu dilakukan kajian yang hati-hati atas kesarjanaan Rippin dan sumbangsihnya terhadap bidang ini. Saya sendiri begitu “menikmati” argumennya mengenai posisi “Sabab al-Nuzūl” sebagai materi interpretif yang nilai sejarahnya meragukan, dan agak sulit menyebut Rippin sebagai hanya “pengekor” Wansbrough.

Kasus Rippin juga menunjukkan kepada kita bahwa Studi Tafsir tidak sepenuhnya bisa terbebas dari isu “origins”, yang biasanya dikaitkan dengan Studi Qur’an (lihat perbedaan keduanya dalam artikel ini dan ini). Artinya, penggiat Studi Tafsir tidak bisa abai dengan trend terkini tentang studi Qur’an, Studi Fiqh, studi kalam, serta -tentu saja- studi Hadith.

Mengikuti alur berpikir Berg, jalan tengah antara pendekatan optimis dan skeptis sepertinya memang hanyalah dongeng yang tidak mungkin terwujud. Bagaimana implikasinya bagi penikmat dan pengkaji sejarah Islam awal?. Menjadi seorang optimis atau menjadi seorang skeptis adalah pilihan serius, yang sialnya tidak bisa digabungkan atau dilakukan setengah-setengah.

How to cite this Article: Mu’ammar Zayn Qadafy, Dongeng Jalan Tengah: Herbert Berg Membenturkan Paradigma Optimis dan Skeptis dalam Tafsir Q. 15: 89-91, studitafsir.com (blog), 31 Januari 2023 (+ URL dan tanggal akses).

Artikel Berg dan buku yang dieditnya bisa didownload di sini.

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 27

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Unknown