Cinta yang abadi: Menantang “kesetiaan” Mehmet Akif Koç terhadap Ṭabarī

Oleh: Ahmad Mughzi Abdillah

Mehmet Akif Koç adalah seorang cendekiawan Turki yang melakukan kajian mendalam mengenai kajian isnad dalam khasanah tafsir klasik. Sayangnya, Koç tidak banyak dikenal oleh sarjana Indonesia lantaran keterbatasan mereka dalam mengakses bahasa Turki. Dengan diterbitkannya İsnad Verileri Çerçevesinde Erken Dönem Tefsir Faaliyetleri, İbn Ebî Ḥâtim (ö. 327/939) Tefsiri Örneğinde Bir Literatür Incelemesi (Early Tafsīr Activities Based on Analyses of Isnāds in the Case of Ibn Abī Ḥātim’s (327/939) Tafsīr) pada 2003 dan Tefsirde Bir Kaynak İncelemesi, es̱-S̱aʿlebi (427/1036) Tefsirinde Muḳātil b. Suleymān (150/767) Rivayetleri (The References to Muqātil b. Sulaymān (150/767) in the Exegesis of al-Thaʿlabī (427/1036)) pada 2008, menempatkan nama Koç ke dalam daftar sarjana top dalam kajian tafsir klasik.

Mengenai Ṭabarī, Koç mengakui peran sentralnya dalam khasanah tafsir klasik, sebuah klaim yang dipertanyakan oleh Saleh, sebagaimana telah kami ulas sebelumnya.  Perdebatan sengit diantara mereka masih tercium hingga hari ini. Bahkan ketika review ini ditulis, Koç tengah mempersiapkan publikasinya di Zeitschrift der Deutschen Morgenländischen Gesellschaft (ZDMG) yang berhubungan dengan sikapnya terhadap Saleh dalam mengkritik pentingnya Ṭabarī dalam tradisi tafsir Sunni.

Review ini tidak membahas bagaimana Koç menyikapi keberatan Saleh mengenai Ṭabarī, karena topik ini akan menjadi atraksi utama dalam Studium Generale on “Ṭabarī, Revisited”, hari Rabu, 5 April 2023 di ruang Teatrikal, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga. Review ini mencoba menggali pandangannya terhadap Ṭabarī secara genuine sebagai seorang cendekiawan klasik.

Mendengar pandangan Akif Koç tentang Tafsir Ṭabarī sungguh membuat pendengar terkagum-kagum! Dia mengatakan bahwa Tafsir Ṭabarī adalah karya tafsir yang tidak terlalu memilah-milah riwayatnya, namun lebih mengutamakan untuk memotret semua sikap orang-orang pada tiga abad pertama Hijriyah terhadap Al-Quran. Ini benar-benar karya ensiklopedis yang luar biasa menurutnya. Akan tetapi, ada satu hal yang membuat saya geram, yaitu ketika Koç menyatakan bahwa sayangnya nama Muqātil b. Sulayman tidak ditemukan dalam karya Ṭabarī. Apa maksudnya ini? Apakah Ṭabarī dengan sengaja mengabaikan nama besar mufassir era klasik awal ini? Ini sungguh tidak masuk akal! Di titik ini, konsistensi dan validitas pandangan Akif Koç harus dipertanyakan kembali.

Sejujurnya, kekaguman Akif Koç terhadap Ṭabarī tidak muncul tanpa alasan yang kuat, karena terdapat pengaruh dari beberapa sarjana, termasuk sarjana Barat. Claude Gilliot, seorang ahli Ṭabarī yang berasal dari Prancis, telah menyatakan dalam sebuah seminar di Universitas Ankara pada tahun 2009 bahwa Ṭabarī memiliki ambisi untuk menghasilkan sebuah karya yang unik dan berbeda dari karya-karya para pendahulunya.

“Taberi, Kitābu’l-latīf’i Şāfiīʻnin (204/819) er-Risālesi’nden; Tehẕību’l-ās̱ār’ı Ahmed b. Hanbel’in (241/855) Musned’inden, Tārīḫu’l-umem ve’l- mulūk’u Muhammed b. İshak’ın (150/767) Siyer’inden; Cāmiʻu’l-beyān’ı Mukatil b. Sulayman’ın (150/767) Tefsir’inden; Kitābu’l-fasl beyne’l-ḳırā’at’i Ebu Ubeyd Kasım b. Sellam’ın (224/839) Kırā’atu Ebī ʻUbeyd’inden farklı ve çekici kılmak istiyordu.”

“Ṭabarī berambisi menulis Kitāb al-Latīf berbeda dan lebih menarik dibanding ar-Risālah karya Shafi’i (204/819), begitu juga dengan Tehẕīb al-Ās̱ār ditulis berbeda dan lebih menarik dibanding Musnad karya Ahmad b. Hanbal (241/855), begitu juga dengan Tārīkh al-Umam wa al-Mulūk dibuat lebih menarik dibandingkan Siyar karya Muhammad b. İshaq (150/767), begitu juga dengan Jāmiʻ al-Bayān dibuat berbeda dan lebih menarik dibanding Tafsir Muqatil b. Sulayman (150/767), begitu juga dengan Kitābu al-Fasl bayna al-Qırā’at  dibuat lebih menarik dibanding Qırā’atu Abī ʻUbayd karya Ebu Ubayd Qasım b. Sallam (224/839).”

Dengan karyanya Tārīkh al-Umam wa al-Mulūk, Ṭabarī juga layak disebut sebagai “Bapak Sejarah” (Tarihin Babası) lantaran pendekatannya dalam menyusun karya ini dipandang mirip dengan pendekatan akademis kontemporer. Tidak berhenti disitu, Theodor Nöldeke, seorang sarjana Barat terkemuka abad ke-19, juga menyadari keistimewaan tafsir Ṭabarī dalam mencerminkan upaya awal dalam memahami Al-Quran dan pandangan awal tentang cakupan tafsir. Nampaknya pandangan-pandangan inilah yang semakin menumbuhkan kekaguman Koç terhadap peran Ṭabarī dalam khazanah klasik.

Penafsiran Ṭabarī sangat futuristik?

Salah satu isu yang menyita perhatian Akif Koç adalah kepiawaian Ṭabarī dalam menganalisis tata bahasa untuk menentukan makna dan konteks kalimat. Misalnya pada tema “al-mughayyibāt al-khamsah” (lima hal yang tidak diketahui) yang terdapat pada Q. 31:34.

اِنَّ اللّٰهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِۚ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْاَرْحَامِؕ وَمَا تَدْرٖي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَداًؕ وَمَا تَدْرٖي نَفْسٌ بِاَيِّ اَرْضٍ تَمُوتُ ؕ اِنَّ اللّٰهَ عَلٖيمٌ خَبٖيرٌ

“Sesungguhnya hanya di sisi Allah ilmu tentang hari Kiamat; dan Dia yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal.”

Ṭabarī tidak pernah menyebutkan angka mughayyibāt dengan jelas, layaknya ulama sebelumnya yang menyebutkan secara terang-terangan dengan istilah “al-mughayyibāt al-khamsah.” Baginya hanya ada tigal hal yang berkaitan dengan “mughayyibāt”: pengetahuan tentang kiamat, apa yang akan terjadi pada seseorang di hari esok, dan tempat kematian mereka. Sementara terkait dengan turunnya hujan, Ṭabarī hanya menekankan hanya Allah yang mampu menurunkannya, dan ini tidak berkaitan dengan pengetahuan tentang prediksi turunnya hujan. Begitu juga dengan janin dalam rahim, Ṭabarī menegaskan tidak ada tanda yang mengisyaratkan bahwa hanya Allah yang memiliki pengetahuan tentang hal tersebut.

Tentu saja, saat itu tidak terbesit di benak kepala Ṭabarī tentang kemajuan teknologi yang terjadi hari ini. Adanya kemampuan untuk mengetahui jenis kelamin bayi dalam kandungan melalui ultrasonografi, atau kemampuan untuk memprediksi hujan melalui prediksi cuaca, menjadikan konsep “al-mughayyibāt al-khamsah” tidak relevan lagi dengan zaman. Disinilah terlihat, betapa futuristiknya penafsiran Ṭabarī menurut Koç.

Kesunnian Ṭabarī diragukan!!

Akif Koç menyadari bahwa secara umum Ṭabarī menggunakan pendekatan Sunni dalam memahami Al-Quran. Ia mengkritik Mu’tazilah dalam penafsirannya terhadap Q. 7:16, ketika iblis mengatakan kepada Allah, Fa Bimā Aghwaytanī (karena Kamu telah menyesatkan aku). Ia mengkritik Mutazilah karena menyatakan bahwa manusia bebas memilih kebenaran atau kesesatan, sementara Iblis sendiri mengakui bahwa kesesatannya berasal dari Allah. Di sini Ṭabarī menggabungkan konsep keadilan dan bimbingan ilahi, yang akhirnya menyimpulkan bahwa konsep ini sulit dipahami sepenuhnya oleh manusia. Meskipun begitu, sikap kritisnya tidak mengahalanginya untuk menyantumkan riwayat-riwayat tafsir dari Mab’ad al-Juhani (80/699), salah satu tokoh klasik yang merepresentasikan pemikiran Qadariyyah.

Kesunnian Ṭabarī kembali dipertanyakan ketika ia mengungkapkan pandangan-pandangan yang bertentangan dengan ideologi sunni secara umum. Sebut saja ketika ia menegaskan bahwa “ẕabīh” yang dimaksudkan dalam konteks penyembelihan anak Ibrahim adalah Ishaq, bukan Isma’il, sebagaimana yang banyak dipopulerkan oleh kalangan sunni. Ṭabarī juga berani mengeluarkan pernyataan tegas tanpa memperhatikan risiko politik yang ia hadapi, saat ia menafsirkan Q. 62:39-42, dengan menyatakan bahwa seorang mukmin berhak protes jika dianiaya oleh seorang mukmin atau penganut agama lain. Terlebih ketika ia menolak kepakaran seorang Ahmad b. Hanbal sebagai ahli fikih didepan pengikutnya yang radikal, dan hanya mengakuinya sebagai seorang muhaddist, sehingga menyebabkannya menerima aksi kekerasan dari pengikut Hanbali hingga ajal menjemputnya.

Ṭabarī memang tidak memiliki visi  yang secara ngotot memaksakan preferensinya sendiri, dan mengesampingkan pokok-pokok pembahasan antar sekte dalam tafsirnya. Bahkan jika ada pandangan yang tidak sesuai denganya, ia mengungkapkan dengan istilah Ghayri madfuʻa (tidak ada salahnya menerimanya). Disinilah tercermin sikap moderasi Ṭabarī. 

Adakah keretakan dalam hubungan antara Ṭabarī dan Muqatil b. Sulayman?

Salah satu isu yang menarik perhatian banyak pengkaji tafsir klasik adalah kenapa Muqatil b. Sulayman tidak disebutkan dalam Tafsir Ṭabarī yang disebut oleh Suyuti sebagai tafsir terbesar yang mencakup 37.000 riwayat dengan sanad yang dapat ditelusuri hingga Nabi, Sahabat, dan Tabiin. Apakah mungkin Ṭabarī mengabaikan nama besar Muqatil b. Sulayman? Apakah Ṭabarī memiliki sikap anti terhadap Muqatil b. Sulayman sehingga ia tidak mencantumkan namanya dalam karya-karyanya?

Perlu dicatat bahwa dalam diskursus riwayat tafsir, pada abad kedua Hijriyah, terdapat dua perawi yang disebut Muqatil: Muqatil bin Hayyan (w. 135/752) dan Muqatil bin Sulayman (w. 150/767). Keduanya sama-sama berasal dari wilayah Khorasan (Balhk), dan memiliki kesamaan dalam hal meriwayatkan tafsir dari Ibnu Abbas dan murid-muridnya.  Dalam menyikapi kesamaan nama tersebut, Koç menegaskan  bahwa Muqatil b. Hayyan selalu disebutkan dengan nama ayahnya, sedangkan Muqatil b. Sulayman disebutkan dengan nama “Muqâtil” secara mutlak.

Lantas, apakah Ṭabarī benar-benar menafikan nama Muqatil b. Sulayman di tafsirnya? Jawabannya ternyata tidak.

Suat Mertoğlu (Marmara University) menampik pandangan Koç yang menyatakan bahwa Ṭabarī “tidak” memasukkan nama Muqatil dalam tafsirnya. Dalam Q. 18:19, di mana terdapat riwayat tentang identitas nama orang yang dikirim oleh Ashabul Kahfi ke kota untuk berbelanja yang bernama Yamlikh, riwayat tersebut diriwayatkan dari Ubaidullah bin Muhammad al-Zuhri, Sufyan, dan Muqatil (Jâmi‘ al-Bayân, XV, 212.). Bahkan riwayat ini ditemukan juga dalam Tārīkh al-Umam wa al-Mulūk (Târîkh at-Tabarî, II, 6.).

Tidak berhenti di sini. Ṭabarī juga mengutip riwayat Sulayman bin Qays (ayah Muqatil b. Sulayman), dalam menafsirkan Q. 76:8, yang menyatakan bahwa mereka memberi makanan kepada orang lain meskipun mereka sendiri ingin memakannya (Jâmi‘ al-Bayân, XXIII, 543). Riwayat ini juga terdapat dalam tafsir Muqatil dengan penjelasan yang sama (Tafsir Muqatil, IV, 525).

Sekali lagi, Akif Koç bukan satu-satunya sarjana Turki yang menggeluti tafsir Muqatil b. Sulayman, ada juga Ali Özek, sarjana yang mentahkik karya Muqatil b. Sulayman ‘al-Wujūh wa al-Nazā’ir’, menyatakan bahwa Ṭabarī termasuk di antara para mufassir yang menerima riwayat dari Muqatil. Belum lagi jika menilik Tārīkh al-Umam wa al-Mulūk, terlihat bahwa Ṭabarī tidak anti terhadap Muqatil b. Sulayman dengan banyaknya kisah sejarah yang ia ceritakan di dalamnya.

Terlihat jelas bahwa perdebatan dialektika antara “Ṭabarī vs Muqatil b. Sulayman” tak hanya terjadi di antara Saleh dan Koç, tetapi juga di antara sarjana-sarjana dari Turki. Klaim-klaim ini membuktikan bahwa wacana tafsir klasik di Turki tidak kalah sengitnya dengan yang ada di Barat.

Lain orang lain kepala, lain Ṭabarī lain Ibn Abi Hatim. Meski keduanya dikenal sebagai penulis tafsir yang komprehensif, Ibn Abi Hatim memiliki sikap yang lebih kritis terhadap riwayat Muqatil jika dibandingkan dengan Ṭabarī. Hal ini dikarenakan reputasi Ibn Abi Hatim sebagai ahli dalam menilai kualitas riwayat. Bahkan Koç menganggapnya sebagai salah satu tokoh yang menghambat penyebaran riwayat Mukâtil dalam dunia tafsir.

Namun, yang menjadi pertanyaan besar adalah mengapa Saleh begitu gigih dalam mengkritisi Ṭabarī hanya karena tidak mencantumkan nama Muqatil b. Sulayman dalam tafsirnya? Padahal masih ada riwayat Muqatil yang dapat ditemukan meskipun hanya dalam satu titik. Sementara itu, Ibn Abi Hatim yang secara jelas menjaga jarak dari Muqatil b. Sulayman, justru diabaikan. Apakah ini disebabkan oleh sikap skeptis Saleh, bukan terhadap Ṭabarī, melainkan terhadap para sarjana yang mengagungkan peran Ṭabarī dalam khasanah tafsir klasik?

Penutup

Pandangan Akif Koç tentang Ṭabarī sungguh menggetarkan jiwa! Dia memuji Ṭabarī layaknya seorang fotografer super yang mampu memotret semua riwayat yang mampu ia jangkau. Koç menyebut Ṭabarī layaknya seorang legenda yang patut dihormati, tetapi nampaknya Koç tidak konsisten dalam memandang isu Muqatil b. Sulayman. Dia seakan-akan bermain dua kaki!

Di sisi lain, debat sengit antara Koç dan Saleh patut disanjung tinggi, karena mereka berhasil mempertahankan semangat kajian tafsir klasik yang sekarang sudah mulai ditinggalkan oleh para sarjana Indonesia, sedangkan di Barat dan Turki, situasinya jauh berbeda. Nampaknya isu-isu seperti ini perlu terus digaungkan, sehinga kita terus terprovokasi untuk membuka kembali lembaran kitab-kitab klasik yang mulai usang. Pandangan kita tentang kajian tafsir klasik harus terus-menerus diuji dan digugat, sehingga tidak ada lagi pandangan “final” yang mengikat kita.

 

How to cite this Article: Ahmad Mughzi Abdillah, “Cinta yang abadi: Menantang “kesetiaan” Mehmet Akif Koç terhadap Ṭabarī”, studitafsir.com (blog), April 4, 2023 (+ URL dan tanggal akses)

Detil Artikel yang diringkas bisa didownload di sini

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 30

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Unknown