
Modernitas Memaksa al-Qur’an Menjawab Semua Permasalahan: Catatan Menuju H-14 Deadline CfP Konferensi AIAT-NICMCR)
Oleh: Mu’ammar Zayn Qadafy
Pergeseran Orientasi Penulisan Kitab Tafsir
Sebagai penanda orientasi baru dalam penulisan kitab tafsir, pembukaan Kitab Tafsir al-Manār yang ditulis Rashīd Riḍā (1865-1935) terbilang “berani” dan “ceplas-ceplos”. Tidak seperti template muqaddimah tafsir era pertengahan Islam yang cenderung tawāḍuʿ dengan mengambil posisi sebagai penyempurna kitab-kitab tafsir terdahulu, al-Manār didesain sedari awal untuk mendobrak format penulisan tafsir yang terlalu skolastik dan “ilmiah”, yang -menurutnya- justru memalingkan perhatian umat Islam dari hidayah al-Qur’an yang mulia.
Riḍā tidak menampik bahwa di dalam kitab-kitab tafsir lama, terdapat lautan ilmu tentang Iʿrāb al-Qurʾān, kaidah-kaidah Naḥw, ʿilm al-maʿānī, perdebatan teoretis mengenai teologi, Uṣūl al-Fiqh, Fiqh, taṣawwuf dan lain sebagainya. Kitab Tafsir lantas menjadi semakin “elit” dengan dipertimbangkannya kompleksitas materi-materi tafsir berbasis riwayat-riwayat yang melibatkan otoritas generasi salaf. Secara implisit, Riḍā meyakini jumlah riwayat lemah dalam kitab-kitab tafsir jauh lebih banyak jumlahnya dari yang ṣaḥīḥ. Bahkan di tangan Fakhr al-Dīn al-Rāzī (1150-1210), wajah kitab tafsir menjadi semakin “sangar” dengan dilibatkannya ilmu kesehatan, fisika, astronomi dan filsafat.
Sayangnya, sebut Riḍā, ilmu-ilmu itu justru menjadi hijab al-Qur’an yang menghalangi para pembacanya dari menemukan maksud-maksud dan hidayah mulia yang tersembunyi di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Hidayah al-Qur’an inilah yang semestinya, menurut Riḍā, dikejar oleh seorang mufassir dan lantas ditampilkan ulang dalam “kemasan” tafsir yang lebih sesuai dengan kebutuhan umat Islam kontemporer: bersifat ringan, mudah dipahami dan tidak berputar-putar.
Provokasi Riḍā ini adalah caranya untuk menjelaskan orientasi tafsir gurunya, Muḥammad ʿAbduh (1849-1905) yang tidak kalah tajam mengkritik tafsir-tafsir terdahulu yang menurutnya gagal menampilkan al-Qur’an sebagai petunjuk kebahagiaan manusia di kehidupan dunia dan akhirat. Pun demikian, ʿAbduh nampak bersikap hati-hati ketika menyatakan bahwa tafsirnya akan tetap menampilkan sisi-sisi keindahan bahasa al-Qur’an, jika diperlukan (ʿinda al-ḥājah ilā dhālika).
Cara berpikir Riḍā dan ʿAbduh ini menandai format baru dalam penulisan kitab tafsir. Produk tafsir yang dulunya fokus pada praktik menjelaskan al-Qur’an sebagai firman Tuhan (theosentris) menjadi praktik membuat al-Qur’an kitab petunjuk untuk kemajuan peradaban manusia (anthroposentris). Para mufassir modern memiliki cara pandang yang berbeda dalam memosisikan praktik penafsiran al-Qur’an. Mereka merasa punya tanggung jawab besar untuk bisa merumuskan apa artinya menjadi seorang Muslim di tengah modernitas yang terus berkembang.
Usulan pembaharuan orientasi penulisan kitab tafsir oleh Riḍā dan ʿAbduh ini bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, ia akan mengabadikan al-Qur’an dalam podium tertinggi sumber norma dan ajaran Islam, sebuah posisi yang dipercaya mampu menjadikan al-Qur’an penjaga gawang untuk urusan perbaikan moral dan peradaban umat manusia. Di sisi lain, format tafsir baru ini mencerabut tafsir dari landasan keilmuan Islam yang telah membesarkan namanya, atas nama “kebermanfaatan” dan “kompatibilitas” dengan kondisi zaman.
Dua Bentuk Metode Tafsir Teologis atas al-Qur’an
Catat terlebih dahulu kalau saya tidak sedang memakai istilah “teologis” di sini dalam konotasinya yang negatif, bahwa tafsir itu semata-mata dipicu oleh teologi tertentu sehingga tidak tunduk pada kaidah-kaidah penafsiran yang sewajarnya. Yang saya maksud adalah bahwa dewasa ini, terdapat beberapa jenis aktifitas tafsir yang memang ditargetkan untuk merumuskan teologi tertentu mengenai aspek tertentu pula. Logikanya sama persis dengan perubahan orientasi tafsir yang diusulkan oleh Riḍā di atas, karena konsepsi Riḍā tentang pentingnya perhatian terhadap produk tafsir yang mencerahkan dan “memberi petunjuk”, adalah ideologi tersendiri yang sangat distingtif.
Dua bentuk metode tafsir ideologis yang lahir dari semangat pembaharuan orientasi Riḍā dan ʿAbduh adalah apa yang disebut dengan (1) tafsir kontekstual, dan (2) tafsir tematis.
Ada banyak nama untuk menyebut tafsir kontekstual ini. Barangkali, versi originalnya bisa dilacak dalam praktek “tafsir kronologis” sementara versi polesannya mewujud dalam rupa (untuk menyebut beberapa di antaranya) “contextual tafsir“, “double movement”, “maʿnā cum maghzā” dan “tafsīr maqāṣidī”. Perlu pembahasan khusus untuk kelebihan dan kekurangan dari cara kerja masing-masing keempat metode tafsir kontekstual ini. Untuk keperluan artikel pendek ini, cukuplah diketahui bahwa pada tahapan final keempatnya terdapat langkah untuk mendialogkan “inti” (core) yang disarikan dari al-Qur’an dengan kondisi masyarakat Islam di era kontemporer. Meski disebut tahapan final, seringkali porsinya melebihi setengah dari keseluruhan proses tafsir yang dilakukan.
Sementara praktisi tafsir menyebut metode tafsir kontekstual ini sebagai metode tafsir ideal, salah satunya karena ia bisa mempertemukan “obyektifitas” dan “subyektifitas” dalam titik equilibrium yang memuaskan semua pihak. “Kontekstualisasi” lantas menjadi semacam jargon yang dielu-elukan, sampai pada titik di mana mereka yang tidak mempertimbangkan konteks masa kini sebagai penentu akhir produk tafsir dianggap “tekstual”, dan “kolot”. Di dalam proses kontekstualisasi inilah, seorang mufassir merumuskan ideologinya tentang apa yang menurutnya tepat dan tidak, berdasarkan apa yang ia yakini berasal dari al-Qur’an.
Kedua, tafsir tematis. Kenyataan bahwa metode tafsir ini baru muncul dan berkembang di era modern cukuplah menjadi bukti bahwa dia membawa bias-bias modernitas dalam setiap derap langkahnya. Tafsir tematik sepenuhnya teologis. Ia biasa dilakukan dengan pengumpulan terlebih dahulu ayat-ayat al-Qur’an yang setema (apapun temanya mulai iman, islam, kufr, sabar, peradaban, kepemimpinan, dan lain-lain) lalu pengelompokan ayat-ayat yang sudah dikumpulkan ke dalam sub-group (bisa berdasarkan periode pewahyuan, berdasarkan bentuk kata dasar yang dipakai atau berdasar sub-tema yang lebih spesifik), lalu penjabaran inti dari ayat-ayat yang sudah teridentifikasi tersebut.
Adalah naif jika diklaim bahwa tujuan dari tafsir tematis adalah untuk mengungkap worldview al-Qur’an mengenai konsep-konsep tertentu yang sedang dikaji. Narasi seperti ini yang sering kita temukan dalam artikel, skripsi, tesis, hingga disertasi yang berformat tafsir tematis. Lebih tepatnya, tafsir tematis bertujuan untuk merumuskan teologi tertentu yang di “dicarikan” landasan teoretisnya dari al-Qur’an. Hanya saja, semakin kompleks materi tafsir yang dilibatkan dan semakin “canggih” analisa yang dipakai untuk menjelaskan kandungan ayat-ayat yang dikumpulkan, semakin tersamarkan pula proses teologisasi ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan.
Menuju H-14 Deadline CfP Konferensi AIAT-NICMCR
Sedari awal, tulisan ringan ini ditujukan untuk menyambut konferensi Internasional bertajuk “Scripture for Peace and Humanity”, kerja sama antara UIN Sunan Kalijaga, AIAT (Asosiasi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir) se-Indonesia dan NICMCR (Netherlands-Indonesia Consortium for Muslim-Christian Relations). Ada tiga gugus tema yang ditawarkan untuk para peneliti di konferensi tersebut: Scriptural Reasoning, Social Reception dan Contextualist Approach.
Pembahasan singkat tentang bagaimana modernitas punya andil dalam “Memaksa al-Qur’an Menjawab Semua Permasalahan” ini didedikasikan untuk sub-tema terakhir yang disebutkan, contextualist Approach atas kitab suci (dalam hal ini al-Qur’an), dipersilahkan oleh AIAT untuk diterapkan dalam topik-topik spesifik seperti moderasi beragama (no.1), hubungan antar agama (no. 2), kesetaraan jender (no. 6), lingkungan hidup (no. 7), politik (no. 9), serta perdamaian dan kemanusiaan (no. 13).
Komitmen AIAT dan NICMCR dalam penyelenggaraan konferensi bertaraf internasional bukanlah satu-satunya hal yang menjadi magnet utama dari acara ini. Kabarnya, para Guru Besar di AIAT akan ikut turut gunung mendiseminasikan pemikiran mereka tentang tema terkait. Siapapun nanti, baik dari pembicara undangan maupun peserta call for papers, yang mengangkat isu persinggungan antara modernitas dan al-Qur’an, sebaiknya aware dengan bias modernitas yang dalam beberapa hal, telah “memaksa” al-Qur’an untuk menjawab semua persoalan.
How to cite this Article: Muammar Zayn Qadafy, “Modernitas Memaksa al-Qur’an Menjawab Semua Permasalahan: Catatan Menuju H-14 Deadline CfP Konferensi AIAT-NICMCR)”, studitafsir.com (blog), Mei 2, 2023 (+ URL dan tanggal akses)