Tafsir Petir dan Kebutuhan Tafsir Ilmi: Menuju H-6 Deadline CFP Konferensi AIAT-NICMCR

Oleh: Ali Imron

 

Beberapa waktu lalu, dalam sebuah forum, saya diminta menemui para siswa yang didampingi beberapa guru dari sebuah Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di Jawa Timur yang berkunjung ke Ushuluddin UIN Yogyakarta. Mereka adalah siswa kelas XII yang sebentar lagi akan lulus. Berhubung saat itu sedang musim hujan, saya tanyakan kepada mereka. “Apa yang kalian pahami tentang fenomena petir yang biasa terjadi di sekitar kalian. Bagaimana proses terjadinya petir menurut sains fisika yang pernah kalian pelajari di sekolah?

Seorang siswa menjawab “Petir itu terjadi karena ada beda petensial di dalam awan, pak. Ada awan yang mengandung muatan listrik positif, sementara yang lain mengandung muatan listrik negative. Ketika dua awan ini saling bertemu, maka muncullah percikan bunga api yang disertai suara dan cahaya. Itulah petir dan sambaran kilat yang kita lihat.”

Sekarang coba buka HP kalian. Buka Google. Ketikkan kata kunci “hadis petir cambuk malaikat,” lanjut saya. Mereka kemudian terlihat sibuk membuka HP masing-masing.

Dari hasil pencarian itu, sekarang coba buka situs bla…bla..bla” lanjut saya sambil menyebutkan nama salah satu situs keislaman. “Coba baca tulisan di sana. Adakah di sana kutipan dari hadis yang menjelaskan bahwa petir adalah malaikat yang membawa cambuk untuk menghalau awan?

Ada pak,” jawab seorang siswa.

Sekarang akan saya bacakan. Tolong kalian simak.

Saya kemudian membacakan Riwayat di bawah ini:

يا أبا القاسمِ أخبِرنا عنِ الرَّعدِ ما هوَ قالَ ملَكٌ منَ الملائكةِ موَكَّلٌ بالسَّحابِ معَهُ مَخاريقُ مِن نارٍ يسوقُ بِها السَّحابَ حَيثُ شاءَ اللَّهُ فقالوا فما هذا الصَّوتُ الَّذي نسمعُ قالَ زَجْرُهُ بالسَّحابِ إذا زَجرَهُ حتَّى ينتَهيَ إلى حَيثُ أُمِرَ

“Wahai Abul Qosim (yakni Nabi Muhammad), kabarkan kepada kami apa itu ar-ro’du (petir)? Maka beliau saw. menjawab, “Petir adalah malaikat dari malaikat-malaikat Allah yang ditugasi (mengurus) awan. Bersamanya ada alat (cambuk) dari api untuk menggiring awan ke tempat yang Allah kehendaki.” Mereka bertanya lagi, “Lalu suara apa yang kita dengar (dari petir) ini?” Beliau menjawab, “Bentakan malaikan ketika menggiring awan, jika ia membentaknya, sampai berhenti ke tempat yang diperintahkan kepadanya.” (HR. Tirmidzi).

Saya lanjutkan bertanya kepada mereka, “Apa bunyi redaksinya kira-kira seperti di atas?

Betul pak.” Jawab mereka.

Sekarang kalian perhatikan. Tentang fenomena petir ini, di dalam al-Qur’an ada ayat tentang petir. Bahkan ada surat khusus yang Bernama surat al-Ra’d, yang artinya petir. Sekarang di depan kalian ada dua sumber kelimuan yang menjelaskan tentang petir. Sumber pertama dari sudut pandang ilmu sains fisika yang memberikan penjelasan bahwa petir adalah fenomena alam yang terjadi karena gesekan awan dengan potensial listrik yang berbeda sehingga menghasilkan percikan bunga api. Sementara di sisi lain, dari sudut pandang ilmu agama, ada riwayat yang menjelaskan bahwa petir adalah malaikat Allah yang memegang cambuk yang menghalau awan. Nah, sekarang saya tanya kalian sebagai siswa salah satu MAN terbaik di Jawa Timur. Kalian lebih memilih percaya yang mana? Penjelasan dari ilmu sains ataukah penjelasan dari ilmu agama tadi?

Beberapa siswa mulai tampak bingung. Mereka mulai menolah ke kanan dan kiri, bertanya ke teman sebelah. Dari arah tengah, muncul seorang siswa mengangkat tangan.

Kita memilih lebih percaya pada sumber agama, pak,” jawab siswa ini.

Oke, kita terima jawaban Anda,” lanjut saya.  “Tapi jawaban ini nanti akan membawa kita pada masalah baru. Sekarang coba buka HP kalian masing-masing. Buka Google. Masukkan kata kunci “Masjid tersambar petir.”

Para siswa itu tampak kembali sibuk dengan HP masing-masing. Saya lanjutkan bertanya kepada mereka, “Apakah kalian mendapati berita peristiwa tentang masjid yang disambar petir?

Ya pak,” jawab mereka.

Ada berapa berita?

Banyak pak.

Coba sekarang kalian pikirkan. Di depan tadi ada Riwayat bahwa petir itu malaikat Allah yang memegang cambuk yang menghalau awan. Kenapa bisa terjadi petir itu malah menyambar masjid yang nota bene adalah rumah Allah. Apa mungkin cambuk malaikat itu salah sasaran? Yang seharusnya dipakai untuk menghalau awan, malah meleset mengenai pucuk-pucuk atap masjid?”. Saya perhatikan para siswa itu mulai bingung lagi.

Coba buka Google lagi. Masukkan kata kunci “Crane Masjidil Haram tersambar petir”. Para siswa itu segera terlihat sibuk lagi.

Coba sekarang kalian buka situs Sind*new.com. Di situ malah diberitakan bahwa pada musim haji tahun 2015, ada petir yang menyambar crane di Masjidil Haram sehingga roboh yang menimpa jamaah haji disana. Ratusan orang meningeal. Padahal mereka sedang ibadah haji di dekat Ka’bah. Coba sekarang kita piker, mungkinkah petir yang merupakan malaikat pembawa cambuk itu salah sasaran lagi? Bagaimana mungkin orang yang sedang haji di Masjidil Haram malah menjadi sasaran petir yang dia kendalikan.

Kalau begitu kita lebih percaya pada penjelasan sains pak, bahwa petir itu fenemona alam akibat gesekan awan.” Kata salah seorang siswa.

Serius?” tanya saya.

Iya, pak.

Lho, apa Anda berani membuang Riwayat hadis Nabi tadi? Anda berani tidak percaya pada apa yang dikatakan Nabi? Apa tidak takut dianggap kafir?” tanya saya lebih lanjut.

Hening. Seisi forum menjadi diam. Dari siswa hingga guru-guru yang mendampingi terlihat bingung.

Buru-buru saya lanjutkan bahwa untuk bisa menerima dua otoritas keilmuan yang tampak saling bertentangan ini, yakni sains dan agama, maka ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, riwayat hadis bahwa petir itu malaikat Allah tadi, apakah itu benar-benar shahih? Kalau shahih, maka kita masuk ke ferifikasi tahap selanjutnya.

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzī dalam kitab Sunan-nya. Dalam kitab Sunan al-Tirmidzī, bagian Kitab Tafsir, bab Wa min Surah al-Ra’d hadis ini beliau komentari sendiri dengan berkata, “Hādzā Ḥadīth Ḥasan Gharīb,”. (Sunan Tirmidzi, juz 5, hlm. 274). Ḥadīth Gharīb sendiri adalah salah satu jenis Hadis Ahad level paling rendah, di bawah Hadis ʿAzīz dan Hadis Masyhūr. Ini artinya, hadis ini tidak sampai kepada level hadis mutawātir. Selain itu, isi hadis ini juga berkaitan dengan masalah akidah, yakni iman kepada malaikat.

Para ulama sendiri sendiri berbeda pendapat mengenai status keberterimaan Hadis Ahad bila isinya terkait dengan masalah akidah. Sebagian ulama menerima begitu saja Hadis Ahad dalam masalah akidah, sementara ada ulama lain yang menerima dengan syarat tertentu. Termasuk yang menerima dengan syarat ini adalah imam Abu Hanifah, pendiri Madzhab Hanafi. Bagi beliau, hadis Ahad yang isinya terkait dengan masalah akidah tidak bisa diterima, karena Hadis Ahad hanya membawa pengetahuan yang bersifat Zhannī (spekulatif) dan tidak qath’ī.

Jadi kalau ada di antara kalian yang tidak menerima riwayat bahwa petir itu adalah malaikat yang memegang cambuk seperti film Thor dalam versi berbeda, tentunya dengan mengikuti teori madzhab Hanafi ini, maka seharusnya tidak perlu dilabeli kafir,” kata saya. Wajah-wajah yang tadinya tegang kini mulai tampak mengendur. Saya lalu melanjutkan.

Kedua, bagaimanakah latar belakang munculnya riwayat bahwa petir itu malaikat yang membawa cambuk di atas tadi? Apakah Riwayat ini ada kaitannya dengan orang-orang Ahli kitab di masa lalu? Ini Riwayat termasuk Isra’iliyyat atau bukan?

Redaksi lebih lengkap dari Riwayat di atas dapat dijumpai dalam al-Ahkam al-Wustha karya ʿAbd al-Ḥāl al-Isbilī, juz 4, hlm 339. Redaksi lengkap ini sekaligus menginformasikan Asbābul Wurūd hadis Malaikat Cambuk Petir di atas. Di situ diceritakan bahwa beberapa orang Yahudi yang sudah biasa membaca informasi teologis dari kitab-kitab mereka, mendatangi Nabi, dan berkata:

Wahai Abul Qasim (Muhammad), kami akan ajukan beberapa pertanyaan kepadamu. Jika kamu dapat menjawabnya, kami akan bersedia menjadi pengikutmu, membenarkanmu, dan beriman kepadamu. Nabi pun mengambil kesepakatan dengan mereka sebagaimana kesepakatan antara Israil (Ya’qub) dengan anak-anaknya dengan berkata, Allah menjadi saksi atas yang kita ucapkan.”  Orang-orang Yahudi itu kemudian bertanya tentang banyak hal, tentang bagaimana tanda-tanda seorang Nabi, tentang bagaimana proses janin bisa menjadi laki-laki atau perempuan, tentang petir, tentang guruh, dan lain sebagainya.

Jadi Riwayat tentang petir cambuk malaikat ini bisa digolongkan sebagai Isrā’īliyyāt, karena isinya adalah informasi yang terkait dengan kepercayaan orang-orang Yahudi yang dipakai untuk menguji Nabi. Para ulama tafsir sendiri berbeda pendapat dalam hal penerimaan Isrā’īliyyāt dalam penafsiran al-Qur’an. Ada yang begitu longgar, dan ada yang sangat ketat. Imam Ibnu Katsir sendiri dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa Israiliyyat itu bisa didiamkan begitu saja, bisa diterima, juga bisa ditolak.

Hal ini membawa implikasi pada kesimpulan bahwa mengesampingkan riwayat di atas dan lebih memilih penjelasan saintifik adalah hal yang wajar dan bahkan diperlukan untuk situasi saat ini. Kasus di atas adalah salah satu contoh betapa relasi antara agama dan sains dalam Islam masih PR yang harus diselesaikan dengan baik. Secara general memang banyak orang setuju bahwa antara sains dan al-Qur’an itu selaras dan tidak bertentangan.

Contoh kasus di atas menunjukkan bahwa umat Islam butuh tafsir baru, tertutama pada ayat-ayat yang berbicara tentang fenomena-fenemona kealaman seperti petir, angin, awan, matahari, bulan, dan lain sebagainya. Teori-teori sains kontemporer harus menjadi bahan untuk tafsir ayat-ayat kealaman ini. Ini bukan cocokologi, tetapi jelas merupakan relevasi dan urgensi. Bila ini tidak dilakukan, maka yang terjadi adalah pengambilan riwayat-riwayat seperti malaikat petir cambuk di atas secara berulang-ulang. Akibatnya tafsir atas ayat-ayat kealaman yang muncul akan terus terasa menggelikan dan inkompatibel dengan ilmu pengetahuan yang terus berkembang. Generasi muda Islam akan semakin menjauh dari ilmu pengetahuan.

Tentu ini harus dibarengi dengan kecerdasan literasi sains yang baik, sekaligus etika keilmuan yang memadai. Tanpa adanya kecerdasan literasi sains yang cukup, hoax-hoax berbau sains akan masuk dan menyusup menjadi bahan penafsiran ayat-ayat kealaman. Sementara tanpa etika keilmuan yang baik, akan muncul klaim-klaim sepihak bernada merendahkan bahwa temuan saintifik hasil riset bertahun-tahun pihak lain sebenarnya sudah ada dalam al-Qur’an. Dua hal ini juga harus dihindari seperti halnya pengulangan-pungulangan riwayat inkompatibel seperti di atas, karena sama-sama akan menumbuhkan iklim keilmuan yang tidak sehat.

Selain itu, dibutuhkan juga perangkat metodologis yang cocok untuk menafsirkan ayat-ayat kealaman ini. Tanpa metode yang baik dan benar, maka tafsir yang dihasilkan bisa asal-asalan dan menimbulkan problem di masa yang akan datang.

 

nb: Tulisan ini dibuat dalam rangka menyonsong acara Konferensi International AIAT-NICMCR di Yogyakarta

How to Cite this Article: Ali Imron, “Tafsir Petir dan Kebutuhan Tafsir Ilmi: Menuju H-6 Deadline CFP Konferensi AIAT-NICMCR”, studitafsir.com (blog), Mei 10, 2023 (+ URL dan tanggal akses)

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 20

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Unknown