
Terjemah Interlinear al-Qur’an di Melayu-Indonesia: dari JC Lobherz ke RM Feener (Bag. 1)
Oleh: Muhammad Dluha Lutfillah
Where it all begins
Umberto Eco (1932-2016) pernah dengan cukup marah menyampaikan tuntutannya agar kajian terjemahan memperhatikan hal-hal kecil sekalipun dan memberi detail penjelasan sebanyak mungkin, seperti yang George Steiner (Chicago, 1929-2020) lakukan dalam After Babel: Reflections and Language and Translation, yang kekayaan detailnya sudah melegenda. Melanjutkan kejengkelan ini, para sarjana, salah satunya, T. Burman, juga mulai meminta agar terjemahan berbagai bahasa dari sebuah karya didialogkan (Burman 2013, 169). Rasa gemas ini ternyata menjalar ke saya ketika membaca kajian-kajian, bahkan yang terbaru, tentang terjemahan al- Qur’an. Rasa ini semakin bergejolak ketika saya cermati perhatian para sarjana terhadap praktik terjemah al-Qur’an antarbaris (interlinear Qur’anic translation).
Dari riset bibliografis SM Zwemer (1867-1952) (Zwemer 1915) hingga kontribusi Johanna Pink (Pink 2021) yang penuh terobosan, sarjana yang memperlakukan terjemahan antarbaris lebih dari sekedar artefak praktik penerjemahan kuno, hanya terhitung beberapa. Beruntung pada beberapa waktu terakhir ini, beberapa sarjana, termasuk Pink (Pink 2020) dan MB Wilson (Wilson 2014) yang terinspirasi oleh Travis Zadeh (Zadeh 2012), meniupkan angin segar pada ubun-ubun terjemahan antarbaris yang hampir saja mati suri. Penjelasan tentang konteks historis, politis lokal global, sosial, dan kultural, juga dinamika isu otoritas yang melingkupi terjemahan antarbaris berhasil membuktikan bahwa model penerjemahan ini juga merupakan bagian sejarah yang signifikan.
E Nurtawab (Nurtawab 2020) melebarkan signifikansi itu ke dalam diskusi sejarah dan tradisi tafsir dengan menjadikannya bukti keberlanjutan aktivitas penafsiran dalam rentang waktu ratusan tahun yang Riddell (Riddell 1984, 2001, 2017) sebut sebagai masa vakum. Namun, sebagaimana nanti akan terlihat, perhatian Nurtawab lebih pada unsur-unsur aspek (sosio-)linguistik yang bukan ciri khas terjemahan antarbaris, namun juga ada dalam terjemahan parafrastik/naratif—ada beberapa unsur linguistik khas antarbaris tapi tidak masuk dalam pembahasan Nurtawab. Walaupun ini bisa jadi lebih karena karakter subjek kajiannya (terjemahan antarbaris Jawi, beraksara Arab berbahasa Melayu, dengan dialek Banten) tidak memungkinkan analisis aspek tersebut, namun gema kegemasan Eco dan Burman mengusik saya selama membaca argumen Nurtawab; ia bisa saja berdiskusi tentang hal yang lebih renik (“bahasa-bahasa simbolik”1 atau ortografi, misalnya) dan/atau melibatkan lebih banyak terjemahan berbahasa tetangga selain Melayu (dalam hal ini bahasa Jawa dan Sunda).
Cukup lama setelah dihinggapi rasa gemas terhadap Nurtawab itu, saya bersentuhan dengan tulisan-tulisan terbaru M Daneshgar. Ternyata tulisan-tulisannya, hingga taraf tertentu, menjawab kegemasan saya. Artikel ini akan merekam perjalanan saya bertemu kajian-kajian tentang terjemahan al-Qur’an. Dalam bagian kedua, saya menyajikan tawaran baru untuk mendekati terjemahan al-Qur’an antarbaris yang saya sebut mikrokosmos tekstual.
The State of the Art: Dari JC Lobherz ke RM Feener
Dalam catatan-catatan bibliografis, disertasi JC Lobherz (Lobherz 1704) dianggap sebagai titik mula kesarjanaan tentang terjemahan al-Qur’an (Pearson 2010, 502). Walaupun banyak argumennya yang diperbaiki dan dikoreksi oleh para sarjana setelahnya,2 Lobherz telah berhasil membentuk kesadaran bahwa terjemahan al-Qur’an bisa dan memang layak menjadi sebuah subjek riset. Kerja-kerja kesarjanaan ataupun bibliografis kemudian bergulir—dan perkembangan dalam kedua jalur ini direkam oleh SM Zwemer (Zwemer 1915).
Namun, Zwemer lebih banyak memberi ulasan tentang kualitas terjemahan dan apakah ia literal atau parafrastik. Ia juga memberikan catatan tentang beberapa terjemahan tafsir yang disalahpahami sebagai terjemahan al-Qur’an. Walaupun tidak sebanyak yang dia berikan ke terjemahan berbahasa Eropa, Zwemer mengulas aspek-aspek yang sama dari terjemahan bahasa-bahasa “Oriental”: mengulas teknik penerjemahan Cina dan Jawa (terjemahan Cina lebih merupakan terjemahan parafrastik, terjemahan Jawa lebih tekstual) dan mengupas konteks politik yang mengiringi terjemahan Turki. Tambahan yang tidak ia berikan pada ulasan terjemahan berbahasa Eropa adalah perhatian pada bentuk-bentuk antarbaris (interlinear). Kita kemudian bisa bertanya: Apakah memang tidak ada terjemahan berbahasa Eropa yang memiliki terjemahan antarbaris? Untuk ini, sebagaimana terlihat nanti, R Tottoli (Tottoli 2015, 2018) dan R Glei (Glei 2018) memberi kontribusi penting dan, untuk menjawab pertanyaan tadi, menjawab: ada!
R Paret dan JD Pearson (Paret dan Pearson 1986) memberikan memperbarui catatan Zwemer yang telah hampir satu abad. Dalam kontribusi ini, Paret lebih terlihat memberi pengantar: menjelaskan sekilas perdebatan teologis dan legal tentang boleh tidaknya penerjemahan dilakukan, kemunculannya lagi dalam konteks Turki, dan respon ulama Mesir terhadapnya. Pearson kemudian melanjutkan dengan memberi data bibliografis yang kaya— karena banyak naskah yang ditemukan sejak tulisan Zwemer terbit. Mungkin karena ia meniatkan tulisannya sebagai narasi bibliografis, Pearson hanya beberapa kali saja menyinggung dan hanya dengan sekilas tentang situasi teologis atau politik keagamaan yang melingkupi kemunculan terjemah tertentu. Pearson menjelaskan genealogi yang runtut terhadap terjemahan-terjemahan ke dalam bahasa Eropa, namun tidak pada terjemahan bahasa- bahasa “non-Eropa”. Kita bisa bertanya lagi di sini: Apakah terjemahan-terjemahan ke dalam bahasa non-Eropa memang terlepas satu dari lainnya? Kita simpan dulu pertanyaan ini.
Dengan tidak memberikan catatan bahwa terjemahan antarbaris adalah salah satu teknik penerjemahan di masa-masa awal, baik Paret maupun Pearson seolah memberikan pemahaman bahwa praktik penerjemahan dalam bahasa apapun umumnya dilakukan dalam European sense. Catatan lanjutan Pearson setelah asumsi yang taken-for-granted ini adalah apakah terjemahan-terjemahan itu literal atau parafrastik, apakah mereka menyertakan atau meninggalkan teks Arab al-Qur’an, dan apakah mereka memberi catatan tambahan baik dalam bentuk catatan pinggir yang lebih tradisional atau catatan kaki yang lebih modern.
Kontribusi Paret dan Pearson ini, bagaimanapun, harus dibaca bersamaan dengan kontribusi Pearson lain yang diterbitkan jauh setelah kepergiannya (ia meninggal pada 1997). Dalam tulisan yang bersifat lebih bibliografis ini, (Pearson 2010) Pearson memang berfokus pada terjemahan-terjemahan ke dalam bahasa Eropa, namun ia memberikan daftar karya-karya bibliografis pendahulunya (sebuah catatan yang penting!) dan menariknya diimbangi dengan catatan karya-karya bibliografis terjemahan-terjemahan ke dalam bahasa “non-Eropa”.
Tugas memperbarui kabar tentang kesarjanaan terjemahan al-Qur’an dilanjutkan oleh H Bobzin. (Bobzin 2006) Dalam kontribusinya terhadap the Encyclopaedia of the Quran, Bobzin membagi pembahasan ke dalam dua bagian besar: Islamic world dan outside Islamic world. Dalam bagian pertama, ia juga membagi jadi dua: sebelum abad ke-20 dan setelahnya. Dalam dua bagian dari Islamic world ini Bobzin, menjelaskan semuanya dengan serba singkat sampai taraf yang sangat mungkin menimbulkan kesalahpahaman serius. Salah satunya, misalnya, dengan menyebutkan publikasi terjemahan cetak bahasa Indonesia hanya dalam bagian selama abad ke-20. Pernyataan ini mengesankan bahwa tidak ada penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa lokal di Indonesia pada periode sebelumnya. Padahal, yang dimaksud oleh Bobzin adalah cetak dan ke dalam bahasa Indonesia.
Jumlah bahasa Islamic world yang Bobzin sebutkan sebelum abad ke-20 cukup banyak dan komprehensif: Persian, Turkish, Aljamiado, Aragonite (?), Urdu, dan various regional Indian languages (dan ia menekankan bahwa proliferasi ini terjadi setelah pengenalan teknologi cetak). Seperti Paret dan Pearson, Bobzin menggunakan asumsi standar tentang praktik penerjemahan dalam European sense. Ia mencatat bahwa “Evidence for the secondary significance of vernacular translations with respect to the Arabic original may be found in the form of the interlinear version, which is extant in numerous manuscripts” (Bobzin 2006, 341).
Jika dibaca secara terpisah seperti ini, kalimat tersebut seolah tidak menyalahi fenomena apapun. Sayangnya, Bobzin menyampaikannya dalam posisi yang sangat marginal setelah penjelasan tentang penerjemahan ke dalam bahasa Persia dan Turki. Jika tidak hati-hati, pembaca bisa dengan mudah tergelincir lalu memahami bahwa vernacular yang dimaksud hanya terbatas pada bahasa-bahasa turunan dari Persia dan Turki dan numerous manuscripts yang dimaksud adalah yang berkembang di wilayah pengguna dua bahasa tersebut.
Walaupun banyak keserbasingkatan, Bobzin berhasil memberi cukup pencerahan pada poin penting tentang pengaruh teknologi cetak terhadap terjemahan al-Qur’an. Selain membuat praktik penerjemahan lebih marak dan jumlah bahasa target semakin banyak dan beragam, Bobzin mencatat bahwa “coherent translation became more common after the introduction of printing technology.” (Bobzin 2006, 552) Lebih penting lagi, ia menggarisbawahi bahwa model penerjemahan yang lebih tua dan tradisional masih berhasil hidup dalam abad ke-20. Membaca ini, pembaca bertanya: Jika masih ada beberapa terjemahan yang mempertahankan bentuk antarbaris, untuk alasan apa mereka mempertahankan itu? Kita simpan juga pertanyaan ini.
Di bagian kedua, ketika mengulas terjemahan-terjemahan yang muncul setelah abad ke- 20, Bobzin hanya menyinggung beberapa “most important languages used by Muslims”: Balochi (1911), Brahui (1916), Telugu (1938), Malayan (1923), Indonesia (1928), Cina (1927), dan Jepang (1920), juga beberapa di luar “yang penting” itu: Yoruba (1906) dan Swahili (1923). Namun, setelah itu Bobzin kembali lebih banyak membahas bahasa “Barat”: Inggris (oleh Ahmadiyya, Pickthall, Yūsuf ‘Alī, dan banyak lagi), American English, Perancis (yang kemudian diterjemahkan ke dalam Turkish [lagi]), dan Jerman. Setelah ini barulah ia menyinggung (hanya dalam satu kalimat!) “African countries south of Sahara.” (Bobzin 2006, 344)
Sebagai kontribusi dalam sebuah ensiklopedia, tulisan Bobzin memang tidak dituntut untuk memuat penjelasan yang lebih panjang. Bahkan dalam jatah tempat yang kecil itu, Bobzin berhasil merepresentasikan aspek-aspek yang bisa para sarjana dalami dari sebuah terjemahan: karakter terjemahan (seperti karakter rasional terjemahan Ahmadiyyah Inggris edisi 1920), kualitas bahasa, kontroversi yang dimunculkan, motif (polemis) dan sejarah kemunculan. Bagian selanjutnya didedikasikan untuk wilayah outside the Islamic world. Bagian ini terbagi ke dalam empat bagian: sebelum 1700, abad ke-18, abad ke-19, dan abad ke-20.
Melihat pembagian ini, pembaca bisa melihat kecenderungan Bobzin pada dunia Barat. Aspek-aspek terjemahan yang telah disebutkan di atas juga menjadi pembahasan Bobzin di sini, namun dengan sebuah tambahan yang tidak dinikmati oleh terjemahan-terjemahan dalam Islamic world: narasi genealogis antar terjemahan. Ketidakseimbangan ini mungkin memang dilakukan dengan sengaja; pembahasan tersebut sengaja ia berikan pada kontribusi lain dari ensiklopedia ini—yaitu kontribusi RM Feener. (Feener 2006) Namun, bagaimanapun, perlu dicatat bahwa Feener hanya membahas Southeast Asia. Lalu, di kontribusi mana dalam ensiklopedia ini pembaca akan mendapatkan penjelasan tentang wilayah lain: Asia Barat, Timur, dan Central?
Saya tidak menemukan jawaban untuk pertanyaan barusan. Walhasil, pembaca agaknya harus mencari sendiri catatan-catatan tentang perkembangan terjemahan, misalnya, di Cina, yang relatif berusia muda. Dalam pencarian ini, seseorang bisa menemukan, misalnya, buku K Petersen. (Petersen 2018) Membaca buku ini, seseorang tidak bisa berharap menemukan banyak pembahasan tentang al-Qur’an karena tujuan penulisan buku tersebut memang lebih luas. Namun, setidaknya dari sana kita tahu beberapa informasi dasar penting: bahwa terjemahan Cina baru mulai muncul abad ke-19 dalam bentuk parsial dan pada abad ke-20 lah baru muncul terjemahan utuh dan bahwa kemunculan ini dimungkinkan oleh pergeseran “bahasa Islam” yang berkuasa di Cina, yaitu dari Persia kembali pada Arab, pada akhir abad ke-18. Pembahasan Petersen, dengan demikian, lebih pada aspek historis.
Dibandingkan Petersen, kita akan lebih banyak mendapat informasi dari karya kesarjanaan lain bahkan yang lebih tua, misalnya, tesis I Spira. (Spira 2005) Namun, selain menjelaskan sejarah penulisan, Spira ebih banyak disibukkan dengan penilaian kebahasaan terhadap terjemahan-terjemahan ini: semantik, sintaktis, retoris, pragmatis, dan exegetical (maknawi). Spira juga mendapati kecenderungan pada literalisme dalam terjemahan al-Qur’an Cina abad ke-20. Argumen paling menarik, menurut saya, adalah tentang continuity yang jika didalami lebih lanjut akan menunjukkan tradisi tafsir di Cina. Sayangnya, hilal tradisi tafsir ini ia akui belum terlihat dalam penelitiannya. (Spira 2005, 169)
Kembali pada Feener, ia secara sederhana membagi penjelasannya menjadi tiga bagian: tafsir berbahasa Arab, terjemahan tafsir-tafsir dari Timur Tengah dan Asia Selatan ke dalam bahasa Asia Tenggara, dan tafsir-tafsir yang ditulis langsung dalam bahasa Asia Tenggara. Penjelasan Feener, bagaimanapun juga, sangat terlihat Indonesian-based, bahkan lebih spesifik lagi terlihat sangat bersandar pada materi-materi berbahasa Indonesia dan/atau Melayu. Praktik penerjemahan ke bahasa dan di wilayah Thailand dan Vietnam hanya disebut dalam satu paragraf. Penerjemahan ke dalam bahasa lokal seperti Jawa, Makassar (keduanya disebutkan di awal), dan Sunda (disebutkan di akhir) hanya dibahas dalam satu atau dua kalimat.
Selama mencatat perkembangan historis dari terjemah-terjemah ini, Feener juga memberi perhatian pada pergeseran kultural dan tensi politik keagamaan yang melingkupi perkembangan tersebut. Seperti Bobzin, Feneer juga tidak mengantisipasi kesalahpahaman yang bisa muncul karena penempatan penjelasan tertentu. Yang relevan dengan artikel ini adalah teknik penerjemahan “interlinear translation” yang ternyata disebutkan hanya satu kali dalam bahasa Jawa tanpa elaborasi lebih terhadapnya. Pembaca yang tidak hati-hati bisa menyimpulkan dengan salah bahwa tidak ada praktik penerjemahan antarbaris dalam bahasa selain Jawa. Namun, “dosa” ini tertebus oleh karya-karya kesarjanaan yang lebih belakangan, seperti kontribusi MB Wilson. (Wilson 2020). Apa Kontribusi Wilson dan bagaimana pengaruhnya terhadap kajian terjemah interlinear akan diuraikan dalam artikel selanjutnya.
How to cite this Article: Muhammad Dluha Lutfillah, “Terjemah Interlinear al-Qur’an di Melayu-Indonesia: dari JC Lobherz ke RM Feener (Bag. 1)”, studitafsir.com (blog), May 12, 2023 (+ URL dan tanggal akses).