Pergeseran Polivalensi-Monovalensi dalam Sejarah Tafsīr: Review Artikel Pieter Coppens.

Oleh: Sherly Dwi Agustin

Pieter Coppens dalam karyanya yang berjudul Did Modernity End Polyvalence? Some Observations on Tolance for Ambiguity in Sunni Tafsīr menyajikan cara baru dalam kajian sejarah tafsīr. ia berangkat dari konsepsi popular bahwa budaya-budaya Islam secara historis sangat terbuka, polivalen, dan toleran terhadap ambiguitas, namun seiring berjalannya waktu konsepsi itu berubah menjadi monovalen dengan hadirnya klaim-klaim yang bernada keras.

Sebagai tanggapan atas realitas ini, Copens mencoba mengutip beberapa karya tokoh sebelumnya semisal Sahab Ahmed yang berpendapat bahwa konsepsi ini muncul sebagai akibat dari kebangkitan Salafisme dengan gagasan ‘Islam Sejati’ yang diusungnya. Lain pada itu, Thomas Bauer mengklaim bahwa pola pikir Cartesian membuat konsepsi tersebut semakin marak di paruh kedua abad ke-19. Demikian halnya dengan Norman Calder, secara lebih spesifik dalam konteks tafsīr, menganggap polivalensi sebagai ‘karakteristik struktural tafsīr’. Namun, benarkah demikian?

Sebagai respon atas pertanyaan di atas, Coppen memulai kajiannya dengan mengamati temuan Calder dan Bauer. Menurutnya, kedua kajian ini sangatlah urgent atas kelangsungan vitalitas studi tafsīr, meskipun, jika ditelisik lebih dalam, entah Calder ataupun Bauer, masih terjebak pada kesimpulan yang general terkait perubahan kecenderungan penafsiran di era modern dengan mengajukan sampel-sampel yang relatif sederhana.

Hal itu terlihat dari dua hal. Pertama, Calder ataupun Bauer  hanya terfokus pada satu tema; atau sekumpulan kecil ayat-ayat al-Qur’an.  Fokus kajian Calder terletak pada analisis naratif tentang Ibrahim dalam al-Qur’an; sedangkan Bauer berfokus pada upaya mengambil perbedaan pendapat tentang Q. 97:1-5 sebagai sampel. Kedua, sample tafsir yang digunakan kedua pendahulu Coppens tersebut relatif kecil. Calder mengaitkan tren penurunan polivalensi dengan tafsir Ibn Kathir, sedangkan Bauer membandingkan penafsiran al-Māwardī (w. 450/1058)—sebagai perwakilan tradisi pra-modern—dengan Muhammad b. Ṣālih b. ʿUthaimīn (1929-2001)— sebagai perwakilan dari tradisi modern—tanpa menjelaskan secara detil kenapa keduanya dianggap sebagai paradigma dasar untuk tradisi tafsīr pra-modern dan modern.

Meski demikian, Coppens tetap mengakui luasnya area kajian tafsīr bagi peneliti yang ingin membuat klaim diakronis tentang kesinambungan dan perubahan (continuity and change) dalam sejarah tafsīr. Hal ini meniscayakan pemilihan karya dan ayat-ayat tertentu untuk meminimalisir luasnya korpus teks.

Berpijak dari kenyataan di atas, Coppens memutuskan untuk mengisi ‘celah’ kedua kajian tersebut. Ia mencoba menelaah pergeseran kecenderungan pemaknaan dalam penafsiran dari berbagai era melalui isu Did Prophet See God or Gabriel?’ dalam konteks “polivalensi-monovalensi”. Polivalensi adalah kecenderungan menyajikan makna beragam tanpa cenderung kepada salah satunya. Sedangkan monovalensi adalah kecenderungan penyajian makna tunggal dalam penafsiran.

Telaah kajian ini, oleh Coppens, difokuskan pada penafsiran surah an-Najm. Di sini ia memenggunakan pedekatan sejarah, khususnya longue durée dalam karya empat puluh tujuh mufassir, sebagai sampel tafsīr yang lebih luas dari tradisi Sunni dalam bahasa Arab (sample ini jauh lebin luas dibandingkan dengan kajian Calder dan Bauer).

Menurut Copoens, intensitas polivalensi pada karya-karya tafsīr belakangan dalam kajian Calder dan Bauer menjadi dasar atas hadirnya pertanyaan penting berikut: “benarkah modernitas mengakhiri polivalensi?”; atau jika dilihat dengan sampel yang berbeda, “apakah penurunan polivalensi ini dapat ditempatkan pada garis patahan munculnya dugaan ‘modernitas Islam’ sejak abad kesembilan belas dan seterusnya?

Apakah Nabi Melihat Allah ataukah Melihat Jibril? Pembacaan Longue Durée terhadap Tafsīrtafsīr Sunni

Sebagai konsekuensi metodologis atas pembacaan longue durée, Coppens mengurutkan karya-karya pramodern berdasarkan tanggal kematian pengarangnya; sedangkan karya-karya modern didasarkan pada tanggal penerbitan atau tanggal hidup, dan tidak diurutkan lebih lanjut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan karakteristik (penjelasan mengenai urgensi pendekatan ini dalam analisis Coppens dapat dilihat di sini).

Dalam konteks diskursus “apakah Nabi Saw melihat Allah ataukah melihat Jibril” ia mengaplikasikan pembacaan longue durée-nya pada Q.s 53:11 didasarkan pada refrensi tafsīrtafsīr Sunni. Di sana ia menemukan tiga makna utama: Nabi melihat Allah secara dhohir (langsung); melihat Allah secara bathin (dengan hati); dan ketiga Nabi melihat Jibril.

Berpijak pada isu ini, Coppens melihat ‘apakah gagasan bahwa Muhammad melihat Tuhan menjadi kurang populer di suatu era dalam sejarah tafsīr, dan lebih memilih gagasan bahwa ia melihat Jibril?’ tema ini menurutnya menjadi penting sebagai bagian dari kontroversi dalam sejarah teologi Islam, dan berfungsi sebagai penanda identitas utama bagi mazhab Sunni dan Mu’tazilah.

Meski demikian, secara umum, dapat dikatakan bahwa semua aliran teologi Sunni sepakat tentang kemungkinan melihat Tuhan di dunia dan akhirat. Mereka juga sepakat tentang kejadian aktualnya di akhirat. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang apakah Tuhan benar-benar telah dilihat selama berada di dunia?

Dalam pembacaan longue durée-nya, Coppens memulai dari al-Ṭabarī dan al-Māturīdī dengan melewatkan periode formatif, ini dikarenakan tingginya kerumitan dalam merekonstruksi sumber-sumber awal yang dapat diandalkan secara historis. Setelah itu ia melanjutkan dengan tafsīrtafsīr Sunni pada era pasca al-Ṭabarī hingga berakhir pada tiga karya al-Zuhaylī.

Dalam pembacaannya tersebut, Coppens melihat perubahan kecenderungan monovalen pada abad ke-19 dan seterusnya yang mungkin mendukung tesis Bauer dan Ahmed. Tepatnya, perubahan ini terlihat semenjak era al-Ālūsī (w. 1270/1854) dan seterusnya. Pilihan makna Jibril menjadi pilihan favorit mufassir di abad ke-19 dan menjadi satu-satunya pilihan di abad ke-20. Pertanyaan selanjutnya, mengapa penurunan polivalensi ini terjadi?

Terdapat beberapa sub tema yang Coppens kemukakan guna menjawab pertanyaan tersebut. masing-masing tema ini menggambarakan beberapa fase berupa alur-alur kompleks yang saling berkesinambungan dalam membentuk pergeseran polivalen-monovalen, diantaranya:

Fase Pertama: Atomistic Polyvalence: From al-Ṭabarī to Nishapur and Commentaries from the Middle Period.

Atomisasi dalam konteks kajian Coppens adalah mengisolasi penjelasan Q.s 53:11 atau Q.s 53:13 dari penjelasan ayat-ayat di sekitarnya. Yang mana tidak dapatkan satupun ayat-ayat dalam keseluruhan surah an-Najm menjelaskan tafsiran tersebut. Coppens mengklaim bahwa hal ini merupakan ciri khas tafsīr pra modern. Adapun contoh pertama mengenai “polivalensi atomistik” yang disajikan Coppens adalah Mazhab “tafsīr Nishapuri” yang terbentuk pada periode di mana Nishapur menjadi tempat persaingan antara faksi-faksi Hanafī-Muʿtazilah dan faksi-faksi Shāfi’ī-Ashʿarī dan sekte Karrāmī, dimana para pemain politik melindungi komunitas-komunitas keilmuan yang berbeda.

Mengingat peran yang dimainkan oleh kontroversi ruʾya dalam perdebatan antara Muʿtazilah dan Asyʿariyah, maka penting untuk melihat bagaimana hal ini tercermin dalam tafsīrtafsīr pada era ketegangan agama dan politik yang jelas antara kedua kelompok ini.

Ada beberapa tafsīr yang disajikan Coppens pada periode ini, di antaranya adalah karya al-Tha’labī yang menyebutkan semua opsi pemaknaan secara adil, namun mengatomisasi penjelasan Q.s 53:13 sebagai opsi Jibril untuk menghindari penggambaran Tuhan dalam dimensi ruang dan waktu.

Demikian halnya (juga) dengan Al-Wāhidī (w. 468/1067). Dalam ketiga tafsīrnya (al-Wajīz , al-Wasīt, ̣dan al-Basīt), ia melakukan atomisasi yang sama dengan al-Tha’labī. Pada era pertengahan, pembacaan atomistik tersebut terus berlanjut hingga satu abad kemudian dalam tafsīr al-Baghawī (wafat 516/1122), Ma’ālim al-Tanzīl, yang ditulis seabad kemudian (tafsir ini juga diklaim sebagai ringkasan dari tafsīr al-Tha’labī). Dalam hal ini Al-Baghawī tampak (masih) ragu-ragu mengenai Q.S. 53:11, sementara jelas baginya bahwa Q.S. 53:13 merujuk kepada Jibril.

Pada perkembangan selanjutnya, tingkat polivalensi yang tinggi—dengan upaya mengkombinasikan dengan pendekatan atomistik terhadap ayat-ayat tertentu—juga muncul kembali dalam tafsīrtafsīr yang lebih besar pada abad-abad berikutnya, seperti terlihat pada tafsir al-Rāzī (w. 606/1209) atau lebih dikenal dengan Mafātīh al-Ghayb, dan tafsīr al-Qurṭubī (w. 671/1273), Jāmi’ul ‘Ulūm al-Quran.

Fase kedua: The First Wave of Preference for Gabriel: The Rise of Summarising madrasa-Works

Dalam tradisi madrasah pramodern, selama berabad-abad, tiga tafsīr Al-Qur’an membentuk inti kurikulum tafsīr: al-Kashshāf  karya al-Zamakhsharī; anwār al-tanzīl karya al-Bayḍāwī, dan Irshād al-ʿAql al-Salīm karya Abū al-Su’uḍ. Teks utama lainnya yang masih sangat berpengaruh pada abad ke-20, adalah Tafsīr al-Jalālayn, karya al-Maḥallī dan al-Suyūtī.

Meskipun masih bersifat umum,—untuk tidak mencatat preferensi penafsiran—pada akhir abad ke-13 atau awal abad ke-14, terlihat bahwa sedikit sekali dominasi opsi pemaknaan Jibril yang muncul. Salah satu contoh paling jelas termuat dalam Tafsīr al-Jalālayn yang hanya menyebutkan pilihan bahwa Muhammad melihat Jibril.

Pemilihan makna tunggal al-Suyūtī tersebut merupakan bentuk monovalensi untuk tujuan madrasa. Hal ini menunjukkan dua kecenderungan yang berbeda dalam dua penafsiran al-Suyūtī: al-Durr al-Manthūr ditulis secara panjang lebar dan lebih atomistic; sedangkan Tafsīr al-Jalālayn ditulis dengan ringkas dan holistik. Ini menunjukkan bahwa Semakin pendek dan monovalen sebuah tafsīr, semakin besar kecenderungan untuk menafsirkan ayat-ayat, bukan berdasarkan ayat per ayat, melainkan sebagai bagian dari narasi tematik yang lebih besar dalam sebuah surah.

Gelombang pertama dari sedikit penurunan polivalensi ini bukan dalam arti hanya menyajikan satu pilihan, tetapi lebih dalam arti memilih pendapat yang terkuat dari beberapa pilihan yang disebutkan. Oleh karenanya, pola semacam ini dapat dipahami sebagai sebentuk upaya “peringkasan”  dengan tujuan pengajaran, daripada hanya sekedar berfokus pada agenda teologis tertentu.

Fase Ketiga: The Preserving Force of the Late Premodern Glossary Tradition

Dalam pembahasan ini, Coppens mengemukakan fakta berkebalikan dalam peran tradisi pen-syarah-an sebagai pelestari polivalensi yang justru berbanding terbalik dengan teks-teks inti—tafsīr utama yang di-syarah—yang cenderung monovalen. Hal ini juga mengkonfirmasi bahwa teks-teks syarah merupakan bentuk kreatifitas pen-syarah (baca: penafsir, dan bukan sekedar pengulangan-pengulangan dari teks inti. Statemen Coppens ini dibuktikan (salah satunya) dengan syarah al-Ṣāwī (w. 1241/1825) terhadap Jalālayn yang cenderung memilih opsi Tuhan sebagai pilihan pemaknaan. Hal ini tentu ‘menyimpang’ dari pilihan monovalen al-Suyūtī untuk Jibril.

Dalam sub bahasan ini, Coppens juga mempertanyakan dimana posisi Ibnu Kaṡīr dalam tradisi syarah? Mengingat, Ibnu Kaṡīr memiliki tempat yang penting dalam studi Norman Calder. Lebih lanjut , Coppen (juga) mengaklaim bahwa Ibnu Katṡīr tidak memiliki peran penting dalam tradisi syarah pada ayat dalam pembahasan ini.

Namun, Coppens mengakui bahwa Ibnu Kaṡīr merupakan mufassir yang paling komprehensif dalam mengoleksi daftar riwayat dari generasi awal, bahkan lebih komprehensif dari al-Ṭabarī. Meski demikian, komperehensifitas ini disertai dengan preferensi pibadi Ibnu Kaṡīr kepada opsi penglihatan Tuhan dengan hati (ia mengomentari opsi pilihan lain secara skeptis). Dengan demikian, jelas bahwa Ibn Kathīr—dalam menjelaskan makna ayat ini—hanya menggunakan satu struktur ideologis: ilmu hadis.

Fase Keempat: Changing Patterns through the Rise of the Author? The Nineteenth Century

Abad kesembilan belas menjadi saksi perubahan pola yang jelas mengenai posisi seorang penafsir. Semua tafsīr yang di telaah Coppens dari abad ini mengambil posisi yang jelas dan eksplisit terhadap salah satu dari tiga opsi makna yang tersedia. Salah satu contoh adala al-Ālūsī (w. 1270/1854) yang dianggap sebagai mufassir yang paling komprehensif dari abad ini menyebutkan opsi Jibril sebagai satu-satunya pemaknaan dari Q.s. 53:11.

Dalam penafsirannya, ia merujuk, antara lain, kepada al-Tha’labī dan al-Ṭībī dari tradisi tafsīr sebelumnya. Ia tidak melakukan hal ini dalam konteks pembacaan atomistik terhadap Q.S. 53:11, tetapi jelas-jelas menggunakan pembacaan terpadu terhadap delapan belas ayat pertama surah tersebut. meski demikian Al-Ālūsī juga menyertakan pendapat akan adanya kemungkinan rekonsiliasi antar hadis-hadis yang bertentangan antara riwayat ʿĀisyah dan Ibn ʿAbbās melalui riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Muhammad melihat cahaya Allah: hal ini, menurutnya, dapat menjelaskan kesalahpahaman mereka mengenai apakah itu benar merupakan penglihatan dari Allah atau bukan.

Fase Kelima: The End of Ambiguitätstoleranz: The Twentieth Century

Pada abad ke-20, sesuatu yang lebih gamblang terjadi: hampir semua penafsir tidak hanya lebih memilih opsi Jibril, tetapi bahkan sampai pada tahap hanya menyebutkan opsi penafsiran ini. Pilihan bahwa Muhammad melihat Allah benar-benar menghilang, dan bahkan perbedaan pendapat tentang masalah ini hampir tidak disebutkan lagi. Secara retoris Coppens kemudian mempertanyakan:

Sekilas, tampaknya Thomas Bauer benar dalam pengamatannya bahwa kebangkitan modernitas mengarah pada penurunan toleransi terhadap ambiguitas, meskipun ia membatasi dirinya pada sampel yang sangat terbatas. Sesuatu jelas telah terjadi di awal abad ke-20, tetapi apa sebenarnya? Apakah ini memang kebangkitan pola pikir Cartesian, seperti yang diklaim Bauer, atau pemahaman epistemologi yang lebih egaliter seperti yang diklaim Ahmed? Atau haruskah alasannya dicari pada hal lain?

Ia kemudian mencoba menjelaskan alasan hilangnya polivalensi dari sejarah penafsiran di era modern dengan bersandar pada klasifikasi Johanna Pink, yaitu; tafsīr pengkhotbah (Predigerkommentare), tafsīr ilmiah (Gelehrtenkommentare), dan tafsīr hibrida (Hybride Format).

Salah satu penafsiran yang dikelompokkan sebagai tafsīr pengkhotbah (Predigerkommentare), oleh Coppens diantaranya: Muhammad b. Ṣ ālih al-ʿUthaimīn (1929-2001), seorang Ulama Salafī terkemuka dan mufti negara Saudi, yang bagi Coppens, merupakan contoh nyata dari egalitarianisme epistemologis di era modern sebagaimana yang dikemukakan Ahmed. Sebagai seorang mufti dan penceramah, al-ʿUthaimīn jelas memilih opsi makna yang paling “aman”: pembahasan yang tidak terlalu rumit dengan merujuk pada peristiwa mi’raj dan penglihatan terhadap Jibril.

Menurunnya polivalensi dalam tafsīr penceramah ini bisa jadi (juga) disebabkan oleh penyesuaian audiens yang beragam. Namun ternyata, Coppens juga menemukan penurunan tersebut pada tafsīr ‘ilmiah’ yang ditujukan untuk sesama Ulama, atau setidaknya untuk pembaca yang terpelajar.

Sebagai contoh, Al-Tafsīr al-Wasīt ̣ yang terdiri dari sepuluh jilid dan hampir mencapai 6.000 halaman, hanya menyebutkan Jibril, tanpa mengakui pendapat-pendapat lain yang sudah ada dalam sejarah penafsiran ayat tersebut. setidaknya terdapat dua hal yang membuat monovalensi dari Al-Tafsīr al-Wasīt ̣ cukup mengejutkan. pertama, tafsīr ini merupakan karya bersama sekelompok Ulama al-Azhar, dimana tradisi syarah yang cukup polivalen masih diajarkan di institusi tersebut, kedua, luasnya karya ini akan memberikan ruang yang cukup untuk diskusi ilmiah yang mendalam tentang perbedaan pendapat.

Demikian juga dalam klasifikasi Tafsīr hibrida dari Saʿīḍ Hawwā (1935-1989). Ini merupakan satu-satunya karya dalam studi Coppens yang masih menyebutkan perbedaan pendapat tentang masalah melihat Allah, yakni dalam konteks kaitannya dengan Q.s. 53:13, bukan Q.s. 53:11. Ia menganggap penglihatan Rosulullah terhadap Tuhan tidak berkaitan dengan penafsiran ayat dalam surah ini, sehingga satu-satunya preferensi yang muncul adalah opsi Jibril.

Anggapan ini mungkin merupakan upaya yang paling konsisten untuk mendamaikan pendapat-pendapat yang saling bertentangan di antara para Sahabat. Terlepas dari posisi minoritas Saʿīḍ Hawwā di era modern, tafsīr Hawwā memang bersifat hibrida: di satu sisi ia melengkapi kepedulian ilmiahnya dengan keprihatinannya sebagai penceramah populer dan aktivis Islam dengan latar belakang Sufi untuk sisi lainnya.

Faktor Utama Penurunan Polivalensi (Kesimpulan)

Di akhir sub bahasan, Coppens mencoba merakit kemungkinan-kemungkinan pudarnya popularitas opsi penglihatan terhadap tuhan yang disandarkan kepada hadis-hadis Ibn ʿAbbās dan digantikan dengan opsi Jibril yang disandarkan kepada hadis-hadis ʿĀisyah (hal ini berbanding terbalik dengan era pra modern).

Coppens memulai penelusuran faktor pergeseran polivalensi pra modern ke monovalensi modern dengan ‘kemungkinan’ bangkitnya paradigma hermenutika Ibn Taymiyyah, yang berpendapat bahwa penglihatan Muhammad tentang Tuhan yang digambarkan dalam sebagian besar riwayat Ibn ʿAbbās memang benar terjadi, riwayat-riwayat ini sahih, namun tidak dalam konteks isrāʾ (‘Perjalanan Malam’) dan miʿrāj (‘Kenaikan’), yang menurut Ibn Taymiyyah adalah konteks surah al-Najm.

Riwayat-riwayat tersebut harus dipisahkan dari tafsir ayat-ayat ini. Dengan demikian, pertentangan hadis-hadis yang dikaitkan dengan Ibn ʿAbbās dan ʿĀisyah dapat diselesaikan, sehingga kredibilitas kedua otoritas tersebut tetap utuh.

Namun, hermenutika Ibn Taymiyyah ini diperkenalkan kembali oleh al- al-Qāsimī yang tafsīrnya baru dicetak pertama kali pada tahun 1950-an. Dengan segala keraguannya terhadap pengaruh al-Qāsimī dalam kecenderungan opsi Jibril di era modern, Coppens kemudian mengajukan ‘kemungkinan’ faktor lain, yaitu berkaitan dengan penjelasan bahwa hilangnya polivalensi adalah hasil dari pembacaan yang lebih integratif terhadap keseluruhan ayat dalam surah, sebuah fenomena yang telah disaksikan dalam karya-karya tafsīr modern.

Kesimpulan ini bagi Coppens hanya terbatas kepada isu penglihatan Muhammad dalam Qs. an-Najm. Menurutnya, masih tersisa kemungkinan kesimpulan lain jika kajian semacam ini diterapkan kepada tema yang berbeda.

Namun, penulis tidak hanya melihat kemungkinan pada tema yang berbeda, tapi juga pada metodologi yang ‘agak’ berbeda. bagaimana jika pembacaan longue durée diintegrasikan dengan genealogical traditions? Dalam artian, list panjang korpus tafsir yang akan menjadi sample kajian tidak hanya berdasarkan era yang berbeda, namun merupakan karya-karya yang memiliki keterkaitan genealogis antar tafsīr.

Jika terwujud, kajian ini dimungkinkan dapat menggambarkan pola transmisi dan transformasi yang membentuk evolusi dan dinamika pemaknaan dalam sejarah tafsīr. Walaupun pengkaji mungkin akan mengalami kesulitan ketika terdapat suatu korpus teks yang hilang atau tidak pernah dipublikasikan—namun rancangan kajian semacam ini bukan berarti tidak mungkin dilakukan. [ ]

 

How to cite this Article: Sherly Dwi Agustin“Pergeseran Polivalensi-Monovalensi dalam Sejarah Tafsīr: Review Artikel Pieter Coppens.”, studitafsir.com (blog), Juni 24, 2023 (+ URL dan tanggal akses)

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 80

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Unknown