Turki (Bukan Indonesia) adalah Masa Depan Studi Islam?: Oleh-Oleh dari Berlin (Part 2)

Oleh: Mu’ammar Zayn Qadafy

Ada satu hal yang menggangu saya secara emosional selama pelaksanaan konferensi ini, yaitu adanya kesepakatan tidak tertulis dari para akademisi yang hadir, bahwa masa depan studi Islam ada di Turki, wa bi al-khusus, Istanbul. Saya sebut “tidak tertulis” karena memang ungkapan ini beberapa kali muncul sebagai “guyonan” di sela-sela presentasi dan coffe-break.

Dari Kairo ke Istanbul

Semua dimulai dari presentasi Walid Saleh yang berjudul “A History of Tafsir and Cairo as A Cultural Islamic Capital”. Seperti yang biasa dia lakukan, Saleh selalu membidik satu atau dua kitab tafsir yang kemudian akan dia kaitkan narasinya dengan historiografi tafsir yang lebih umum. Itu, menurut saya, contoh yang baik, bagaimana perjalanan akademik seorang Walid Saleh terus berevolusi lewat kajian yang sepertinya terstruktur tentang al-Thaʿlabī, lalu al-Wāḥidī, lalu al-Maturidī, lalu al-Biqāʿī, lalu al-Zamakhsharī, lalu al-Baydhāwī. Dia menulis untuk masing-masing dari tokoh ini, minimal satu artikel.

Sekarang, perhatian Saleh sedang tertuju kepada Abū Ḥayyān al-Gharnāṭī (w. 745/1344), seorang mufassir dari Granada yang lantas mengembara ke Kairo, dan menulis tafsir berjudul al-Baḥr al-Muḥīṭ. Tafsir ini, klaim Saleh, memulai renaissance untuk kajian tafsir di dunia Islam karena paling tidak tiga alasan: (1) Abū Ḥayyān secara terang-terangan menolak ide Ibn Taymiyyah tentang tafsir yang harus di bawah naungan materi hadith, dan ia juga menolak (2) tunduk pada tradisi penulisan ḥāshiyah atas tafsir al-Zamakshahrī yang digemari banyak teolog di masanya, dan (3) dalam menulis tafsirnya, Abū Ḥayyān merevitalisasi peran ilmu-ilmu bahasa Arab, sebuah bidang kajian yang ia sangat kuasai.

Singkat cerita, legasi dari Kairo yang diinisiasi (jika boleh disebut demikian) oleh Abū Ḥayyān akan berlanjut pada al-Biqāʿī (w. 885/1480), lalu al-Suyūṭī (w. 911/1505), lalu Zakariyya al-Anṣārī (w. 926/1520). Kairo menjadi pusat peradaban Islam, sampai kemudian pendulum mengarah ke Istanbul dengan berdirinya kekaisaran Uthmānī di sana. Lalu diboyonglah beragam ilmu-ilmu tradisional Islam ke Istanbul, tidak terkecuali yang berkenaan dengan ilmu tafsir.

Dalam konferensi ini, paling tidak ada 4 makalah yang menyasar topik ini: (1) kajian Sezma Ozkan tentang bagaimana para mufassir Ottoman memiliki cara pandang yang lebih permisif atas pemikiran sufi-panteistik Ibn ʿArabī (1165-1240), (2) kajian Eliza Tasbihi tentang konsep takmilah dalam al-Mathnawī, kumpulan puisi karya al-Rūmī (1207-1273), (3) kajian Sumeyra hatice Sandikci tentang Ḥāshiyah atas Anwār al-Tanzīl yang ditulis Ismāʾīl al-Qūnawī, seorang ulama besar dari Konya (1207–1274), (4) dan kajian Kameliya Atanasova mengenai tafsir Rūḥ al-Bayān karya Ismail Hakki Bursevi (1653-1715) yang banyak merujuk pada puisi-puisi yang lahir dari para pujangga Ottoman.

Sekarang

Dengan kekayaan sejarah yang dimiliki Turki, tidak mengherankan jika pemerintah Republik Turki yang sekarang punya ambisi besar untuk membuat Turki meraih kejayaan yang dulu pernah mereka dapatkan. Dalam konteks ini, kita harus memandang banyaknya sarjana-sarjana muda dari Turki yang belajar ke Eropa dan Amerika Utara, dan beberapa mereka bahkan mendapatkan posisi tetap sebagai dosen dan akademisi. di Jerman sendiri, beberapa ZIT (Zentrum fur Islamische Theologie) digawangi oleh sarjana-sarjana keturunan Turki.

Tentu hal yang sebenarnya terjadi tidak sesederhana itu. Selain faktor sejarah, ada unsur politik dan keterlibatan negara di dalam gerakan intelektual ini. Ada faktor ekonomi tentang bagaimana pemerintah Turki sekarang berusaha bangkit dari petaka ekonomi dengan menarik sebanyak mungkin peluang masuknya inventasi ke Turki, di antaranya lewat lembaga riset dan pendidikan. Ada faktor-faktor lain yang saya juga tidak paham secara detil. Tetapi, bahwa perkembangan studi Islam di Turki sedang menanjak (pelan-pelan atau dengan cepat, tergantung perspektif yang kita pakai) adalah fakta yang semua orang akan setuju.

Where are we?

Saya tidak sedang bersikap apatis dengan kesarjanaan kita, khususnya pecinta kajian al-Qur’an dan Tafsir di Indonesia. Saya juga tidak akan senang menyebut kesarjanaan kita sebagai “terbelakang”, “tertinggal”, atau “tidak maju”. Dalam beberapa waktu terakhir, kita melihat gelombang anak muda kita yang brilian, yang sejak dini sudah membiasakan diri dengan membaca artikel-artikel “berat”, yang dulu saya sendiri tidak lakukan ketika saya di usia mereka.

Di saat yang sama, kita punya satu kondisi yang seharusnya bisa dikonversi menjadi kekuatan besar. Yang saya maksud adalah bonus demografi di mana jumlah mahasiswa Ilmu al-Qur’an dan Tafsir dan mungkin Ilmu hadith terus bertambah setiap tahunnya. Ini adalah privilage. Izinkan saya memberikann ilustrasi yang mungkin sangat personal. Saya memberitahu Pieter Coppens tentang dua artikelnya yang di-review oleh mahasiswa kita di website studitafsir. Pieter terkejut, utamanya karena apa yang ia tulis ternyata dibaca secara serius oleh mahasiswa-mahasiswa kita, di saat (ini bagian yang paling saya suka) Pieter mengira, hanya Johanna Pink dan editor jurnal saja yang membaca artikelnya hingga tuntas. Dia kesepian, dan merasa berjuang sendirian di institusinya.

Respon Pieter mungkin hiperbolis. Tetapi saya meyakini bahwa dia, dan banyak akademisi yang sering kita bahas karya mereka di kelas, sepertinya merasakan hal yang sama, dan mereka benar-benar iri dengan besarnya animo mahasiswa kita untuk bertahan dalam tradisi studi Qur’an dan tafsir yang melelahkan.

Well, bukan waktunya meratapi kondisi Turki yang di atas angin. Itu di luar kontrol kita. Bagaimanapun, kita adalah saudara termuda di antara kutub peradaban Islam di dunia, mulai Timur Tengah, Andalusia, India-pakistan, dan Turki.

Saya pikir ada dua pilihan yang bisa kita, akademisi di Indonesia, pilih. Pertama, menutup telinga dari bisingnya kajian akademik di luar, dan fokus saja pada apa yang bisa kita lakukan, dalam model keserjanaan dan dalam Lingua franca yang kita kuasai. Tidak perlu risau dengan bagaimana tertariknya para akademisi di luar negeri untuk “menyapa” Indonesia dengan segala keunikannya, dan mari kita berbicara sendiri, merayakan kekayaan sejarah intelektual kita sendiri. Kedua, membuka diri, mengundang dan bergabung dengan simpul-simpul kesarjanaan yang sedang berkembang, baik di Eropa, Amerika, Timur Tengah, India, atau Turki. Praktiknya bisa sangat cair dan bermacam-macam, sesuai kapasitas masing-masing.

Anyway, di akhir presentasinya, Walid Saleh mengulas perkembangan penerbitan buku-buku Islam dari beberapa penerbit besar di Kairo yang kelihatannya tidak mau kalah dengan penerbit-penerbit lain dari Damaskus, Beirut dan beberapa kota di Maroko. Saleh membuat jokes yang menarik, ketika menanyakan, “jadi kemana pendulum sejarah akan bergerak? apakah Kairo atau Istanbul?”. Pertanyaan ini disambut gelak tawa dan tepuk tangan dari para peserta konferensi. Saya mendengar Gharaibeh menimpali jokes itu dengan mengatakan, “ke Berlin”, dan saya mendengar di telinga saya sendiri sebuah suara yang sangat samar, “ke Yogyakarta”.

How to cite this Article: Mu’ammar Zayn Qadafy “Turki (Bukan Indonesia) adalah Masa Depan Studi Islam?: Oleh-Oleh dari Berlin (Part 2)”, studitafsir.com (blog), Juli 29, 2023 (+ URL dan tanggal akses)

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 30

4 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Unknown