
Karakteristik Surat-Surat Madaniyyah dan Ambisi Nicolai Sinai Merekonstruksi Inner-Qur’anic Chronology
Oleh: Mu’ammar Zayn Qadafy
Meneruskan keyakinan mereka tentang kemungkinan menyusun al-Qur’an secara kronologis tanpa bantuan materi-materi Asbāb al-Nuzūl yang dianggap bagian dari post-extra Qur’anic hagiography, Sinai dan kolega-koleganya beranjak lebih jauh dengan mengidentifikasi karakteristik dari apa yang dipercayai secara tradisional sebagai surat-surat Madaniyyah, lewat fitur-fitur kesusastraan (literary features) yang dikandungnya. Diterbitkannya buku Unlocking the Medinan Qur’an, yang merupakan kumpulan presentasi dalam konferensi dengan tajuk serupa pada 2017, menandai dimulainya ambisi besar Sang Professor Pembroke College untuk merumuskan apa yang ia gembar-gemborkan sebagai kronologi dari dalam al-Qur’an sendiri (inner-Qur’anic chronology).
Seberapa jauh Ḍawābiṭ al-Madanī telah berkembang?
Signifikansi usulan Sinai ini akan dapat diapresiasi, jika ia didudukkan sebagai sebuah pengembangan dari teorisasi Makkiyyah-Madaniyyah yang dicetuskan oleh para ulama’ Islam tradisional, meski tidak secara sistematis.
Dalam al-Itqān misalnya, al-Suyūṭī menginventarisasi beberapa poin berikut: (1) secara umum (fī al-akthar), surat Madaniyyah memuat yā ayyuhā al-ladhīna āmanū, (2) surat-surat Madaniyyah berisikan ketentuan-ketentuan mengenai perkara wajib (al-Farāʿidh) dan sunnah (al-Sunan) dan batasan-batasan hukum (ḥudūd), serta (3) surat-surat Madaniyyah memberikan gambaran tentang orang-orang munafiq, kecuali surat al-ʿAnkabūt.
Melengkapi ciri-ciri di atas, tiga hal yang baru-baru ini ditemukan oleh kolega-kolega Sinai dan dianggap sebagai sesuatu yang khas dalam surat-surat Madaniyyah, meliputi keberadaan: (1) pernyataan retoris a-lam tara (apakah kau tidak melihat?), (2) konjungsi temporal wa idh (dan ingatlah ketika), dan (3) bentuk respons yasʾalūnaka (mereka bertanya kepadamu).
Sampai di sini, kita mendapati keinginan para ulama’ muslim (yang diamplifikasi oleh sarjana Barat di era sekarang) untuk mensistematisasi kronologi pewahyuan, utamanya secara qiyāsī (dengan menggunakan penanda-penanda tertentu), dan bukan simāʿī (berdasarkan riwayat-riwayat). Usaha ini masih jauh dari selesai, karena penanda stilistika yang berhasil dirumuskan masih sedikit secara kuantitas, dan belum menyasar aspek-aspek prinsipil, berupa pola linguistik dan kesusastraan (linguistic and literary patterns), yang lebih general dan bisa diaplikasikan ke berbagai surat Madaniyyah, sebuah upaya yang lantas diinisiasi oleh Sinai, dalam artikelnya berjudul “towards a compositional grammar of the Medinan Suras”.
Beberapa Asumsi Dasar mengenai karakter kumpulan ayat (verse block/ germ. Gesätze)
Siapapun yang menerima tawaran-tawaran Sinai dalam artikel ini, harus terlebih dahulu memahami dan mengiyakan beberapa asumsi dasar yang Sinai tetapkan, di antaranya: (1) untuk tujuan pemahaman, sebuah surat al-Qur’an sebaiknya dipecah lagi ke dalam beberapa Gesätze; (2) perpindahan Gesätze, seringkali berarti perubahan topik, perubahan penutur ayat dan audiens yang disasar, perubahan kalimat pemungkas (apakah berkaitan dengan hal-hal eskatologis atau teologis), perubahan rima, dan perubahan alat pembuka seperti vokatif (adalah sebuah bentuk kata benda, kata ganti, atau kata sifat yang digunakan untuk memulai pembicaraan dengan seseorang); (3) penentuan Gesätze, sangat mungkin berbeda antara satu pembaca al-Qur’an dengan pembaca al-Qur’an lain.
Uniknya, al-Qur’an terkadang menggunakan formula kata tertentu, sebagai penanda permulaan sebuah Gesätze, atau malah penanda akhirannya. Contohnya adalah frasa lillāhi mā fī al-samāwāt wa al-ardh (milik Allah semua yang ada di langit-langit dan di bumi) yang berposisi sebagai awalan pada Gesätze Q. 2: 284 ke belakang dan Q. 4: 131 ke belakang, dan berlaku sebagai penutup pada Gesätze dengan akhiran Q. 3: 109, 129, dan Q. 4: 126. Keunikan ini adalah salah satu dari banyak hal yang mesti dikaji secara lebih serius, tandas Sinai.
Ciri Surat Madaniyyah (1): Paralelitas Anaforis Serial (Serial Anaphoric Parallelism/ SAP)
Serial Anaphoric Parallelism/ SAP adalah istilah baru yang diperkenalkan oleh Sinai untuk merujuk pada “sebuah ungkapan yang dipakai untuk membuka secara parallel beberapa kalimat yang menyertainya“. Ini adalah sesuatu yang khas dalam surat-surat Madaniyyah, sebut Sinai. Fenomena ini terjadi karena dalam surat-surat Madaniyyah, vokatif yang berfungsi sebagai awalan Gesätze, seringkali juga merupakan penyambung antar satu Gesätze dengan Gesätze setelahnya. Karenanya, akan biasa ditemui beberapa Gesätze dengan pembukaan yang serupa (dilambangkan dengan x), sehingga memenuhi rumus berikut:
x a b c x d e f x g h i x j k l . . .
Pola ini bisa ditemukan misalnya dalam Surat al-Baqarah, pada rangkaian ayat mulai ayat ke-40 hingga 127, yang memiliki SAP dengan pola wa-idh…. Pada ayat ke-40, 47, dan 122, al-Qur’an menggunakan vokatif yā banī isrāʾīl yang lantas diikuti dengan gugusan ayat yang diawali dengan wa-idh (ayat ke-49, 50, 51, 53, 54, 55, 58, 60, 61, 63, 67, 72, 83, 84, 93, 124, 125, 126, 127).
Contoh lain dari kemunculan SAP adalah frasa wa minhum (termasuk variasinya, wa min al-nās) pada surah al-Taubah, utamanya mulai ayat ke-38 hingga 129. Dalam rangkaian ayat ini, beberapa vokatif dipakai , seperti pada ayat ke 38 (yā ayyuhā al-ladhīna āmanū), 73 (yā ayyuhā al-nabī), 119 dan 123 (yā ayyuhā al-ladhīna āmanū). Di antara empat vokatif tersebut, tersebar ayat-ayat yang bisa diposisikan sebagai permulaan sebuah Gesätze yang diawali dengan frasa wa min…, seperti di ayat ke-49, 58, 61, 75 (wa minhum), 98, 99, 101(wa min al-Aʿrāb).
Catat bahwa di bagian akhir dari artikelnya, Sinai memanjakan pembaca dengan memberikan daftar SAP pada surat-surat Madaniyyah yang lain, seperti pada surat ke-3, 4, 5, 8, 9, 22, 33, 111, 49, 60, dan 66. Lampiran ini harus diakui telah menjadi kontribusi penting dalam upaya merekonstruksi arkeologi sastra al-Qur’an.
Sinai mengakui bahwa SAP juga bisa ditemukan di surat-surat Makkiyyah (seperti frasa a-raʾayta pada Q. 96:9-14, frasa idhā pada Q. 81: 1-3 dan Q- 82:1-4) dan frasa minhum pada Q. 10: 40-43), tetapi, lanjutnya, SAP di surat-surat Makkiyyah hanya merupakan satu variasi kesusastraan yang dipakai secara acak, sementara dalam surat-surat Madaniyyah, SAP adalah fitur yang sangat “meresap” (pervasif).
Sebagai lawan dari SAP, ada pula fitur sastrawi al-Qur’an yang lain, yang oleh Sinai disebut dengan SEP (Serial epiphoric parallelism) yaitu “sebuah ungkapan yang dipakai untuk menutup secara parallel beberapa kalimat yang menyertainya“. Contohnya adalah frasa wa law lā fadhlullāh ʿalaikum wa raḥmatuhu, pada Q. 24: 10, 14, 20, 21. SEP, menurut Sinai, bukanlah sesuatu yang khas dalam surat-surat Madaniyyah.
Selain SAP dan SEP, al-Qur’an juga tidak jarang memakai beberapa teknik retorika lain, seperti pengulangan kata kunci (keyword recurrence) dan struktur amplop /inclusio (yaitu ketika sebuah term diperkenalkan oleh al-Qur’an di awal Gesätze dan dimunculkan ulang di akhirnya). Pada yang pertama, kita bisa melihat bagaimana kata kunci hudan muncul berulang dalam Q. 2 pada ayat ke-2, 5, 16, 26, 38, 70, 97, tanpa memiliki fungsi selain untuk menegaskan posisi hudan sebagai kata kunci yang sentral secara tematik. Pada yang kedua, contoh paling gamblang adalah frasa Innallāha lā yagfiru ay yusyraka bihī wa yagfiru mā dūna żālika limay yasyā'(u) yang terdapat dalam Q. 4: 48 dan 116. Keduanya berada di awal dan akhiran gugusan ayat Q. 4: 44-126.
Kesemua fitur yang Sinai anasir, dengan SAP sebagai yang utama, membuatnya berkesimpulan bahwa modalitas repetisi sebagai instrumen sastrawi tampaknya merupakan ciri alamiah dari surat-surat Madaniyyah yang dioptimalkan untuk bisa diterima secara audio. Yang lebih penting lagi, Sinai percaya, bahwa mempertimbangkan SAP sebagai satu penciri Surat Madaniyyah akan memperkaya beberapa fitur yang sudah lebih dulu dikembangkan seperti struktur cincin dan struktur cermin (jika secara tematik sebuah surat dalam al-Qur’an memperlihatkan pola A-B-C-B-A atau A-B-C-C-B-A atau yang sejenis).
Ciri Surat Madaniyyah (2): Pengelompokan dan Pergantian Vokatif
Dengan mudah, seseorang akan menemukan banyaknya vocative dalam surat-surat Madaniyyah, mulai dari yā ayyuhā al-ladhīna āmanū, yā ayyuhā al-ladhīna kafarū, yā banī isrāʾīl, yā ahl al-kitāb, yā ayyuhā al-nās, yā ayyuhā al-nabī, yā ayyuhā al-rasūl dan yā nisāʾ al-nabī. Meski dipakai juga dalam surat Makkiyyah, jumlah vokatif dalam surat Madaniyyah jauh lebih banyak dan lebih berpola, menunjukkaan bahwa surat Madaniyyah sebagai satu kesatuan, adalah karya-karya yang padu wujudnya.
Dalam hal ini, Sinai mengamini riset Zahniser pada 1991 mengenai ragam vokatif beserta peruntukannya yang berbeda-beda satu sama lain. Misalnya dalam Surat Alu ʿImrān, gugusan ayat ke-64 hingga 99 dilengkapi dengan enam vokatif kepada Ahli kitab, sementara gugusan ayat ke-190-200 memakai tujuh vokatif yang secara eksklusif menyasar orang-orang beriman.
Sinai melanjutkan penasarannya dan menyebut bahwa pola serupa juga terdapat dalam Q. 4, 5, 8, dan 33, 49 dan 66. Meskipun dalam pola yang berbeda, masing-masing dari surat tersebut menunjukkan tingkat pemakaian yang tinggi terhadap vokatif, membuatnya layak dipertimbangkan sebagai satu penciri utama surat-surat Madaniyyah. Sikap kesarjanaan Sinai ini jelas melampaui dikotomi sederhana era pertengahan yang memisahkan antara vokatif yā ayyuhā al-ladhīna āmanū dan yā ayyuhā al-nās; yang pertama sebagai penanda ayat Madaniyyah, dan yang kedua ayat Makkiyyah.
Keterbatasan-Keterbatasan dan Arah Riset al-Qur’an
Sinai mengakui bahwa dua fitur sastra di atas (SAP dan pengelompokan vokatif) bisa jadi sangat nampak di surat-surat Madaniyyah yang panjang, tetapi tidak muncul sama sekali dalam surat-surat Madaniyyah yang pendek-pendek, seperti Q. 48, 57, 59, 63, dan 65). Butuh riset lanjutan untuk melihat fitur-fitur khas yang surat-surat pendek ini saling miliki.
Pun demikian, Sinai yakin, bahwa rekonstruksinya akan mampu menghapus kesan bahwa surat-surat Madaniyyah itu tidak teratur (disorder) dan berisi terlalu banyak pengulangan (redundant). Di saat yang sama, ini menunjukkan level audiens al-Qur’an di Madinah yang sepertinya sudah lebih “siap” berhadapan dengan retorika al-Qur’an dari pada audiens di Makkah. Di titik ini, Sinai setia dengan keyakinannya bahwa al-Qur’an di dalam dirinya sendiri, merekam proses.
Dengan segala keterbatasan dan tantangan teoretis yang ia hadapi, usaha Sinai untuk merekonstruksi sisi-sisi ke-Madaniyyah-an sebuah surat dari “rahim” al-Qur’an sendiri, dan bukan dari materi-materi di luar al-Qur’an patut diapresiasi, utamanya di saat banyak dari akademisi Muslim sendiri yang merasa bahwa perdebatan mengenai validitas dan reliabilitas historis dari materi-materi itu sudah selesai. Menjamurnya tafsir kontekstualis (dengan beragam variannya) yang terobsesi untuk mengungkap kesejarahan al-Qur’an via Asbāb al-Nuzūl adalah bukti konkrit dari dianggap selesainya perdebatan tersebut.
Secara pribadi, saya merindukan, akan adanya perhelatan ilmiah dari para penikmat studi al-Qur’an dan tafsir berupa seminar atau konferensi yang secara khusus menjadikan satu bagian dari al-Qur’an sebagai obyek kajian utamanya. Konferensi dengan tajuk utama surat Yā Sīn misalnya, akan memancing para akademisi untuk secara lebih jelas mengamati segala hal yang berkaitan dengan surat ini, baik apa yang ada di dalamnya (mā fīhā) dan apa yang ada di sekililingnya (mā ḥawlahā). Meski, agenda semacam itu akan menjadi forum elitis yang tidak sembarang orang bisa menikmatinya, dan barangkali akan menyalahi kecenderungan modern untuk membuat al-Qur’an “menjawab segala persoalan”.
How to cite this Article: Muammar Zayn Qadafy, “”Karakteristik Surat-Surat Madaniyyah dan Ambisi Nicolai Sinai Merekonstruksi Inner-Qur’anic Chronology”, studitafsir.com (blog), March 13, 2024 (+ URL dan tanggal akses)
Detil Artikel yang diringkas: Nicolai Sinai, “Towards a Compositional Grammar of the Medinan Suras”, in (ed.) Nicolai Sinai, Unlocking the Medinan Quran (Brill: Leiden, 2022).