Rekonstruksi Cerita Penciptaan Adam dan Hawa: Titik Temu Feminisme Yahudi dan Islam

Oleh: Abd. Muhaimin

 

Eaton pernah menulis dalam sebuah artikel ringan berjudul “Religion and Feminism? A way to look at their relationship from an intersectional and postcolonial view,” yang terbit secara daring pada 16 Maret 2021 di laman LSE International History. Di paragraf awal ia menyebutkan bahwa agama sering kali tampak seperti peninggalan masa lalu, terutama jika dilihat dari sudut pandang feminis sekuler Eropa.

Feminisme yang memandang diri mereka sekuler sering kali mengkritik agama karena agama menentukan identitas gender yang biner dan tidak dapat diubah. Pandangan ini mengabaikan fakta bahwa ada agama yang memperjuangkan hak-hak perempuan, sehingga ajaran-ajaran agama justru mampu mendukung sebuah jenis feminisme tertentu, bukan menentangnya.

Kelompok feminis yang tidak menentang agama, dan bahkan membela, memilih untuk melakukan beberapa penafsiran ulang terhadap ayat-ayat yang disinyalir mengandung bias gender. Reinterpretasi semacam itu sudah biasa dilakukan, baik oleh kalangan muslim, Kristen, maupun Yahudi terhadap teks kitab suci mereka. Menarik kemudian untuk membaca hasil penelusuran Ruth Roded terhadap bagaimana feminis muslim dan feminis Yahudi bersinggungan dalam wacana gender yang mereka usung.

Roded ingin melihat bagaimana mereka berusaha menafsirkan kembali Alkitab Ibrani dan Al-Qur’an, dengan tujuan menggali akar-akar patriarkhal dalam penafsiran teks suci di masa lampau, dan menawarkan pembebasan dari bias tersebut. Pengambilan dua agama ini oleh Roded didasarkan kepada persamaan sosiologis di antara Yudaisme dan Islam (Hal. 57).

Secara metodis, Roded memulai artikelnya dengan melihat pembacaan kitab suci para feminis Yahudi dan Islam dalam konteks historis dan eksegetis masing-masing. Menurutnya, cikal-bakal gerakan feminisme dalam dua agama tersebut mulai muncul pada tahun 1970-an di Amerika Serikat sebagai kontra-narasi atas feminisme sekuler yang anti-agama, yang telah muncul lebih dahulu pada satu dekade sebelumnya, sekitar tahun 1960-an. Sejak itulah, feminisme agama menyebar ke seluruh dunia Yahudi dan Muslim (Hal. 58).

Feminisme agama kemudian berkembang dari yang liberal, sekuler, hingga radikal di timur tengah. Baru pada pertengahan abad ke-20, segelintir perempuan Yahudi dan Muslim mulai berani secara terang-terangan menyampaikan pandangan feminis mereka. Di antara dua nama yang layak disorot lebih dalam adalah Israel Nechama Leibowitz (1905–1997) dan Aisha Abd al-Rahman (1913–1998), masing-masing mewakili kelompok Yahudi dan Muslim.

Lalu, Roded membedakan definisi “Feminisme Islam” dan “feminisme muslim”. Feminisme Islam didefinisikan sebagai wacana dan praktik feminis yang diartikulasikan dalam paradigma Islam. Sedang feminisme muslim adalah perempuan yang memperjuangkan wacana feminis dalam agama Islam. Sebagaimana feminisme Islam yang merupakan upaya untuk mendamaikan keyakinan kepada Allah dan Nabi-Nya dengan feminisme, feminisme Yahudi juga merupakan sebuah upaya untuk menggabungkan kepercayaan pada Tuhan Israel, “Tuhan Abraham, Ishak dan Yakub” dengan feminisme (hal. 59).

Sejarah Penciptaan Manusia

Pada bagian kedua ini, Roded mengemukakan bahwa perbedaan kisah penciptaan manusia dalam teks-teks Alkitab Ibrani dan Al-Qur’an, menjadi tantangan tersendiri bagi umat Yahudi dan Islam. Dalam Alkitab Ibrani ada dua versi penciptaan manusia: Pertama, mengacu pada penciptaan laki-laki dan perempuan secara bersamaan (Kej. 1:26–27); dan Kedua menggambarkan penciptaan Adam yang diikuti dengan penciptaan wanita setelahnya, biasanya diterjemahkan sebagai tulang rusuk (Kej. 2:7–22). Sedang dalam teks Al-Qur’an, penciptaan wanita pertama disebut sezaman penciptaan pria pertama, seperti dalam beberapa ayat: QS An-Nisa’ [4]:1, QS Al-A’raf [7]:189, QS Fatir [35]:11, QS Al-Zumar [39]:6, dan QS Al-Hujurat [49]:13.

Terlepas dari perbedaan mendasar antara dua teks fundamental, para penafsir patriarki Yahudi dan Muslim memahami penciptaan dengan cara yang sama, yaitu bahwa Hawa diciptakan sebagai makhluk kedua setelah Adam. Narasi semacam itu, menurut Roded dan sebagian besar penafsir feminis, tidak bisa dibenarkan. Apalagi dalam Islam, Adam adalah Nabi: sebuah kehormatan yang tidak diberikan kepada Hawa, bahkan tidak juga kepada sebagian besar wanita.

Pada tahu 1973, muncul seorang sarjana Bibel bernama Phyllis Trible yang meskipun bukan orang Yahudi, tapi sangat akrab dengan sumber-sumber Yahudi dan sisa para rabi terdahulu. Ia berdiskusi mengenai midrash yang terkenal dalam Kejadian raba [8:1] tentang penciptaan manusia pertama yang berkelamin dua. Menurutnya, kata adam bersifat ambigu dalam teks Alkitab terkait pembedaan perempuan dan laki-laki. Menurutnya, manusia pertama (Adam) adalah satu makhluk yang menggabungkan dua jenis kelamin.

Di waktu yang sama, seorang feminis Yahudi, Judith Plaskow melakukan reinterpretasi terhadap cerita feminis berdasar Midrashim tentang istri pertama Adam. Dalam narasi konvensional, istri pertama, yang disebut Lilith, disebut telah memberontak dan menuntuk kesetaraan kepada Adam. Menurut Plaskow, Adam dan Lilith memang setara, namun suatu ketika Adam pernah memerintahkan Lilith untuk menunggu, tapi Lilith kemudian pergi. Adam pun melapor kepada Tuhan, lalu diciptakanlah Hawa dari tulang rusuk Adam. Proses penciptaan Hawa, bagi Plaskow, tergolong patriarkal; sedang pelabelan Lilith sebagai makhluk jahat, mencerminkan Sejarah penolakan wanita untuk menyerah pada otoritas laki-laki (hal. 60).

Dari kalangan muslim, muncul Riffat Hassan yang menjadi pelopor penafsiran feminis Al-Qur’an. Dalam artikelnya, Made from Adam’s Rib – The Issue of Woman’s Creation, ia ingin menegaskan bahwa narasi sebagaimana di judul tidak pernah ada dalam Al-Qur’an. Lebih lanjut, Hassan menyatakan bahwa istilah Adam bukanlah sebuah nama, melainkan sebuah kata benda kolektif (netral) atau sinonim dari kata al-insan atau bashar. Apalagi Al-Qur’an tidak menyebutkan Hawa, tetapi menyebut Adam dan zawj-nya. Zawj (rumpun bahasa Ibrani Zug) adalah kata benda maskulin yang digunakan dalam Al-Qur’an untuk merujuk tidak hanya pada manusia, tetapi kepada semua makhluk, termasuk hewan, tumbuhan, bahkan buah-buahan. Pemikiran Hassan kemudian dilanjutkan dan disempurnakan oleh Muslim Afrika-Amerika mualaf Amina Wadud-Muhsin dalam karyanya yang yang berjudul Qur’an and Woman (1992) yang kental pendekatan filologisnya (hal. 61).

Reinterpretasi Makna Yimshol dan Qawwāmūn

Pada bagian ketiga, Roded mengurai dua kata yang menjadi perhatian feminis Yahudi dan muslim, yaitu Yimshol (Genesis [3: 16) dan Qawwāmūn (QS An-Nisa’ [4]: 34). Dalam tradisi Yahudi, kata Yimshol menyiratkan makna supremasi dan dominasi. Seorang tokoh sarjana Yahudi yang tinggal di Timur Tengah yang Islam dan berbahasa Arab, Saʻdiya b. Yosef (biasa dikenal dengan Saʿīd al-Fayyūmī, memaknai kata yimshol sebagai mutasalliṭ (dari akar kata yang sama dengan sulṭān), yaitu mengalahkan, menundukkan, memerintah atas atau mempunyai penguasaan atau wewenang (hal. 62). Sedangkan arti istilah Qawwāmūn dalam Al-Qur’an, jauh dari jelas dan variatif.

Dalam hal ini, frasa al-Rijāl qawwāmuna ʿalā al-nisāʾ menggambarkan bahwa laki-laki harus memperlakukan perempuan secara adil. Kata qawwām juga bisa merujuk pada seseorang yang biasa bangun di malam hari untuk berdoa. Tampaknya ada ambivalensi yang melekat dalam istilah tersebut di mana laki-laki harus bertanggung jawab terhadap perempuan secara sosial, namun mereka juga harus memperlakukan mereka dengan adil. Yang membingungkan kemudian dan memunculkan interpretasi yang variatif adalah pembenaran arti Qawwām sebagai “laki-laki diciptakan lebih unggul dari Perempuan.” (hal. 63).

Roded kemudian mengajukan beberapa komentar penafsir muslim terkait kata yang di atas. Dari mufassir klasik ia melihat Muḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabarī (Persia, 838—Baghdad, 923) tampaknya juga mendukung hak-hak Perempuan dalam penafsirannya. Kemudian Roded juga mengutip pernyataan dari Karen Bauer yang meyakini bahwa fakta laki-laki punya kendali di rumah bukanlah gejala pola hubungan suami-istri yang misoginis (hal. 63).

Ia kemudian memunculkan nama Syekh Muḥammad ʿAbduh (1849–1905) dan muridnya Rashīd Ridhā (1865–1935), yang menafsirkan qawwāmūn bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan sebagai kepala keluarga, namun mereka harus memperlakukan perempuan dengan baik; dengan kepala mereka, bukan tangan mereka. Komentar Sayyid Quṭb (1951–1965) juga tak lupa Roded sematkan.

Setelah mengajukan beberapa nama yang penafsirannya mengindikasikan nilai-nilai feminis, Roded kemudian mendaftar beberapa nama feminis Muslim dan Yahudi dari kalangan wanita. Pertama, Aziza al-Hibri pada 1982 yang mengartikan kembali kata Qawwāmūn sebagai “moral bimbingan dan perhatian” daripada “pelindung” atau “pemelihara”. Kedua, Amina Wadud yang memperluas konsep hubungan keluarga (suami-istri) kepada konteks masyarakat luas. Ketiga, Rachel Alder yang meyakini bahwa kekuasaan (termasuk kepada wanita) diberikan sebagai berkah positif jika digunakan dengan benar, namun jika disalahgunakan, hal itu dapat menyebabkan dosa. Keempat, Hayuta Deutsch. Baginya, pemberontakan dianggap penting bagi kreativitas, dan hal itu menciptakan kemandirian. Melalui perjalanan yang panjang dan proses yang sulit, manusia akan terbebas dari hukuman Eden, sebagaimana perempuan membebaskan diri dari kekuasaan laki-laki. Dan Terakhir, Dana Pulver yang membahas tentang kata Yimshol.

Di bagian akhir, Roded kemudian mengevaluasi metode, sumber, dan kesamaan pembahasan antara Yahudi dan Islam. Feminis agama Yahudi menggunakan istilah-istilah yang sudah lama ada seperti midrash (penafsiran homiletik) dan feminis Islam menggunakan ijtihād (mengambil keputusan dengan usaha pribadi) untuk menekankan bahwa mereka sama-sama meneruskan tradisi eksegetis dalam agama masing-masing (hal. 70).

Terkait sumber antara feminis agama Islam dan Yahudi, nampak bahwa penafsir di masing-masing agama juga sama-sama menggunakan sumber-sumber sekunder. Dan karena itulah, menurut Roded, membuat mereka rentan terhadap kritik dari beberapa kalangan agama. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Riskina Salsabila dalam, Friksi Pemikiran Kesetaraan Gender (Feminisme): Pro dan Kontra, kalangan kontra feminis sering kali menyangkal bahwa dalam catatan sejarah, agama Islam sudah memuliakan perempuan dari sejak diturunkannya ke dunia, sehingga munculnya gerakan feminisme dianggap hanya akan mengikis sifat kodrati serta potensi nauriah yang sudah dimiliki perempuan. Tidak ada hak pengistimewaan dan pengutamaan bagi salah satu dari keduanya. Oleh karena itu, kesetaraan yang menginginkan perempuan sama dengan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan adalah pemahaman yang keliru (hal. 47).

Namun, meskipun banyak yang memandang sinis feminisme sejak awal kemunculannya, hingga detik ini sudah banyak narasi-narasi yang mendukung tentang wacana ini. Penghargaan terhadap hak-hak Perempuan menjadi perhatian seluruh Masyarakat global. Munculnya tokoh-tokoh laki-laki feminis yang mendukung hak perempuan, semisal Faqihuddin Abdul Qadir atau KH. Husein Muhammad, membawa angin segar terhadap wacana feminisme, terkhusus di Indonesia. Penelitian-penelitan seperti yang dilakukan Roded ini, juga ikut andil menjadi bagian dari pencarian titik jelas absurditas Gerakan feminis, terutama hubungannya dengan agama-agama.

How to cite this Article: Abd. Muhaimin, “Rekonstruksi Cerita Penciptaan Adam dan Hawa: Titik Temu Feminisme Yahudi dan Islam”, studitafsir.com (blog), March 13, 2023 (+ URL dan tanggal akses)

Detil Artikel yang diringkas:Ruth Roded, “Jewish and Islamic Religious Feminist Exegesis of the Sacred Books: Adam, Woman and Gender”. Download artikel di sini.

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 20

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Unknown