Karen Bauer dan Usulannya atas Retorika Emotif Surat al-Anfāl

Oleh: Mu’ammar Zayn Qadafy

Keterkaitan dan Ketidakterkaitan Visi Akademik Karen Bauer dengan “Mega Proyek” Nicolai Sinai

Ada beberapa hal yang secara paradigmatik “mengikat” pemikiran Karen Bauer dengan Nicolai Sinai, tokoh pendekar kronologi al-Qur’an dari Pembroke College yang telah kami ulas sebelumnya: pertama, pengakuan atas koherensi tematik surat-surat Madaniyyah di balik kesan atas acak dan tidak beraturan susunan ayat-ayatnya. Ini dikarenakan surat-surat ini memang sedang tidak sedang menceritakan kisah atau sejarah yang linear. Surat-surat ini, termasuk surat al-Anfāl, adalah sebuah kreasi yang unik, di mana tindakan, pikiran, dan perasaan orang-orang mukmin sendiri saat turunnya ayat tersebut dinegosiasikan melalui cerita, perintah, dan peringatan (hal. 481).

Lebih jauh, Bauer menawarkan, di akhir artikelnya, sebuah diagram yang menggambarkan bagaimana emosi al-Qur’an berjalan, sepanjang surat al-Anfāl, naik dan turun. Meski dinamis, garis-garis dalam diagram ini (lihat gambar di thumbnail) membentuk pola yang cukup teratur, karena bermula dari satu titik emosi, kemudian naik tensinya hingga mencapai klimaks, sebelum kemudian turun kembali dan berakhir. Diagram Bauer tersebut, meski subyektif dan baru berupa eksperimen yang masih butuh penyempurnaan-penyempurnaan, adalah sebuah tawaran yang segar tentang bagaimana membaca sebuah surat dalam al-Qur’an.

Kedua, sebagaimana Sinai, Bauer juga masih percaya pada keampuhan garis besar “kronologi” untuk melihat kesejarahan al-Qur’an. Hal ini nampak dalam keyakinannya bahwa Surat al-Anfāl mungkin diturunkan beberapa saat setelah terjadinya perang Badr, meskipun detil kisahnya tidak dijelaskan secara lengkap. Bauer juga mengamini bahwa awalan yasʾalūnaka di surat ini adalah khas retorika surat Madaniyyah. 

Catat bahwa beberapa surat Makkiyyah juga memiliki fitur ini, meski dengan model pemakaian berbeda. Dalam empat tempat di surat Makkiyyah di mana frasa ini muncul (Q. 17:85, 20:105, 7:187, 79:42), jawaban yang dikehendaki oleh ayat dimaksudkan untuk mengingatkan para penanya tentang kekuasaan dan kekuatan Allah SWT. Sementara di surat-surat Madaniyyah (lihat misalnya Q. 2: 215, 217, 219, 220, 222), frasa tersebut digunakan untuk menanyakan hukum sehari-hari.

Meski berangkat dari asumsi yang sama, Bauer dengan jelas membedakan dirinya dari model kesarjanaan yang Sinai kembangkan, utamanya dengan mengangkat isu megenai emosi al-Qur’an sebagai Pijakan. Artikel Bauer berjudul “Emotive Rhetoric, Plot, and Persuasion in a Jihād Sura”  dalam seri Unlocking the Medinan Qur’an ini adalah tindak lanjut dari apa yang telah ia inisiasi sebelumya dalam sebuah artikel berjudul “Emotion of the Qur’an: an Overview”. Di sana, ia mengusulkan apa yang disebut sebagai emosi al-Qur’an dan menempatkannya sebagai sesuatu yang integral dalam pesan-pesan eskatologis yang dikandungnya, serta mengidentifikasi kluster-kluster kata dalam al-Qur’an yang meresonansi jenis emosi tertentu dan bagaimana mereka mempengaruhi pembaca al-Qur’an untuk bereaksi, juga lewat jenis emosi tertentu.

Sederhananya, keberadaan emosi ini nampak jelas dari ratusan kata “emosional” yang tersebar dalam al-Qur’an, seperti ketakutan (khauf, khasyah, wiqāyah dengan beragam variasinya), kasih sayang (raḥmah), kebahagiaan dan kegembiraan (bushrā, faraḥ, surūr), cinta (ḥubb, mawaddah), kesakitan psikologis (bukan fisik) (ʾalam), kesenangan (ridhā), kesedihan (ḥuzn), kemarahan (ghadhab, sukhṭ), malu (wahn, mahn), kebencian (kurh), tangis (bukāʾ), dan tawa (dhiḥāk).

Perbedaan lain antara Bauer dan Sinai adalah pada cara mereka membagi-bagi struktur tema surat al-Anfāl. Jika Sinai, dengan menggunakan Serial Anaphoric Parallelism (SAP) (lihat penjelasan term ini dalam ulasan tentang pemikiran Sinai berikut) sebagai acuan, memisahkan antara gugusan ayat ke-5 hingga 14 dan ayat ke 15-29 sebagai dua bagian terpisah, Bauer menganggap kesemuanya sebagai sebuah kesatuan (hal. 487).

Keunikan Surat al-Anfāl

Bauer memasukkan Surat al-Anfāl sebagai salah satu bagian dari tipologi propetik dalam al-Qur’an. Istilah tipologi di sini tidak bermakna sebagai “pengelompokan” sebagaimana yang berlaku dalam bahasa Indonesia sehari-hari. Tipologi yang dimaksud adalah sebuah istilah yang dipakai untuk menjelaskan bagaimana kisah-kisah nabi dan umat terdahulu dihadirkan kepada Nabi Muhammad dan umat Islam di masa tertentu ketika mereka menghadapi situasi yang mirip.

Sebagai sebuah tipologi, Surat al-Anfāl tergolong unik, karena hanya sedikit kisah umat terdahulu yang disebut (ayat ke-52 hingga 54), tidak seperti di kebanyakan surat Madaniyyah lain. Sasaran ancaman (baca: tokoh antagonis) surat al-Anfāl juga bukanlah orang-orang kafir sebagaimana tipologi dalam surat Madaniyyah lain, melainkan umat Islam sendiri yang menolak berjihad, dan tidak memiliki sifat muslim sejati (al-muʾminūn ḥaqqan, ayat 4 dan 74).

Bagi Bauer, surat al-Anfāl paling tepat didudukkan sebagai surat yang secara prinsipil bernilai “menasihati”, karena memuat banyak nasihat (hal. 480). Sehingga, narasi peperangan (Badr) yang terdapat dalam surat ini sebaiknya dipahami sebagai piranti utama al-Qur’an untuk menasihati kaum mukmin tentang sebuah peristiwa yang baru saja mereka alami.

Isi Surat al-Anfāl

Bagian inti artikel Bauer berisi pembacaannya (baca: tafsirnya) atas isi surat al-Anfāl, melalui pembacaan ayat-ayatnya satu per satu (hal. 485-486), yang menghasilkan alur besar berikut:

  • Pembukaan: perselisihan di antara orang-orang mukmin tentang harta rampasan perang yang baru saja terjadi dan bahasan tentang siapa “mukmin sejati” (ayat ke-1-4)
  • beberapa orang menolak berjihad (5-8)
  • padahal mereka yang berperang, akan mendapat pertolongan Allah (9-14)
  • perintah kepada orang mukmin untuk tidak lari dari peperangan (15-29)
  • penjelasan tentang dosa-dosa para pembangkang (30-37)
  • puncak surat al-Anfāl (perintah berjihad) (39-41)
  • kenangan (memori) tentang perang (42-63)
  • penerapan tatanan sosial dan penurunan tensi surat (64-71)
  • kesimpulan (72-75)

Setelah menjelaskan struktur surat al-Anfāl yang ia pahami, Bauer membedah beberapa bagian dari surat ini yang ia anggap penting, khususnya di bagian pembukaan (ayat ke-1 hingga 5), pembedaan antara orang-orang mukmin (5-29), dan penutup (72-75). Bauer memilih gugusan ayat ini untuk dibaca secara lebih mendalam, selain untuk efisiensi, karena mereka dianggap paling bisa mewakili perkembangan alur emosional yang sedari awal ia canangkan.

Bagian pembacaan lebih dekat (close reading) terhadap tiga gugusan ayat ini memerlukan sembilan belas halaman dan merentang cakupannya mulai dari pembahasan tentang fitur kesusastraan hingga isi yang dikandung. Sebagai seorang yang terbiasa membaca materi-materi serupa dalam kitab-kitab tafsir klasik dan pertengahan, jarang ada penjelasan Bauer, dalam keseluruhan sembilan belas halaman tersebut, yang benar-benar menarik perhatian saya, kecuali bagian dia menjelaskan munculnya kata kunci-kata kunci emosional dalam surat al-Anfāl.

Misalnya adalah kata “takut” dan “tenang” yang silih berganti muncul dalam surat al-Anfāl. Dalam surat ini, disebutkan bahwa ketakutan seseorang kepada Tuhan adalah bukti kesalehan dan ketundukannya atas kekuasaann-Nya, yang kemudian membuat orang tersebut dianugerahi ketenangan. Sementara bagi mereka yang tidak takut kepada-Nya, maka kemarahan Tuhan adalah imbalan yang nyata. Pertolongan Tuhan atas orang-orang beriman, dengan demikian bersifat material dan emosional, tandas Bauer.

Berdasarkan diagram tensi emosional surat al-Anfāl yang disusun, Bauer ingin berargumen bahwa surat al-Anfāl merekam pergeseran narasi yang halus, dari pemakaian kata kerja dalam bentuk lampau (past tense) ke bentuk sekarang (present tense), dari ucapan orang ketiga ke ucapan langsung, lalu perintah, lalu perintah yang keras. Kesemua ini memiliki tujuan retoris, sekaligus mencerminkan tingkat ketegangan yang berbeda bagi para pendengar al-Qur’an, yang pada gilirannya berkorelasi dengan tingkat tindakan yang harus mereka lakukan.

Catatan Akhir: Kritik atas Orientalisme dan Tantangan Untuk Umat Islam

Saya musti mengatakan, kalau saya tidak terlalu terkesan dengan artikel Bauer kali ini, karena beberapa alasan: Pertama, terlepas dari usulannya yang fresh (bahwa emosi al-Qur’an bisa dibaca melalui penelusuran makna yang dikandungnya, ayat per-ayat), pemilihan ayat untuk dibaca secara lebih dekat, bagi saya nampak arbitrer dan terkesan hanya berdasarkan wacana yang ia ingin garis-bawahi, dan mungkin sudah kuasai.

Kedua, di atas saya sudah menyebut bagaimana Bauer mendemonstrasikan cara dia membaca beberapa bagian dari surat al-Anfāl yang sebenarnya mirip, secara metodologis, dengan apa yang para ulama Muslim klasik lakukan, meski dengan arah diskusi yang berbeda. Di bagian ini saya juga melihat arogansi dan egoisme dari Bauer yang tidak sedikitpun “menengok” khazanah Islam klasik, meski hanya untuk dijadikan batu pijakan.

Arogansi ini sebenarnya sudah diingatkan oleh Sinai dalam artikelnya yang menjadi pembuka dari seri Unlocking the Medinan Qur’an, ketika mengatakan:

while the present study has proceeded almost entirely without recourse to medieval Islamic scholarship, it appears very probable that the latter has significant resources to offer to modern literary scholars engaged in such a pursuit; it should accordingly be carefully mined in order to avoid time-consuming reinventions of the wheel” (hal. 43).

Meskipun penelitian ini telah dilakukan hampir seluruhnya tanpa bantuan dari kesarjanaan Islam abad pertengahan, tampaknya sangat mungkin bahwa kesarjanaan Islam abad pertengahan memiliki sumber-sumber yang signifikan untuk ditawarkan kepada para sarjana sastra modern yang terlibat dalam penelitian semacam ini; oleh karena itu, sumber-sumber tersebut harus ditambang dengan hati-hati untuk menghindari pengulangan yang menghabiskan banyak waktu.

Meskipun jumlah dan nama pasti dari kitab apa saja yang sebenarnya dimaksud oleh Sinai masih kabur, penyelidikan tentang aspek kesusastraan dalam al-Qur’an bisa dimulai dari beberapa kitab dengan genre majāz al-Qurʾān, kuliyyāt al-Qurʾān hingga al-wujūh wa al-nadhāʾir, seperti misalnya taḥṣīl al-naẓāʾir al-Qurʾān karya al-Ḥakīm al-Turmudhī (w. 360 H), sebuah kitab yang menjelaskan makna-makna yang berbeda dalam kalimat-kalinat yang mungkin sama dan beririsan (secara semantik) dalam al-Qur’an.

Pembaca yang lebih advanced, bisa juga mengkaji karya Abū Hilāl al-ʿAskarī (w. 400 H/1010 M) berjudul al-Furūq al-Lughawiyyah, yang kekayaan utamanya adalah daftar sinonim, antonim bahkan hiponim dalam Bahasa Arab yang juga bisa ditemukan dalam al-Qur’an. Dari khazanah kitab tafsir, al-tashīl fī ʿulūm al-tanzīl karya Ibn Juzayy al-Kalbī al-Gharnāṭī (w. 1357 M) juga merupakan opsi yang ideal, mengingat sang pengarang menuliskan satu bahasa tersendiri di muqaddimah-nya tentang kekhasan beberapa kosa kata dalam al-Qur’an.

Saya tidak tahu kondisi pastinya, tetapi sangat disayangkan, jika ilmu-ilmu kesusastraaan Arab (dan al-Qur’an) klasik ini luput dari kurikulum perkuliahan jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Tulisan-tulisan para orientalis terkini, termasuk Bauer, seharusnya bisa membuka mata kita bahwa penguasaan atas cabang ilmu yang ada dalam ʿUlūm al-Qurʾān standar saja tidaklah cukup.

How to cite this Article: Muammar Zayn Qadafy, “”Karen Bauer dan Usulannya atas Retorika Emotif Surat al-Anfāl”, studitafsir.com (blog), March 19, 2024 (+ URL dan tanggal akses)

Detil Artikel yang direview: Karen Bauer, “Emotive Rhetoric, Plot, and Persuasion in a Jihād Sura (Q. 8)” in (ed.) Nicolai Sinai, Unlocking the Medinan Quran (Brill: Leiden, 2022).

Acknowledgement: Terima kasih kepada Ustadz Dr. Abdul Jalil atas diskusi ringan seputar daftar kitab klasik penting dalam kesusastraan al-Qur’an.

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 30

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Unknown