Misi Penghapusan Ayat? David S. Powers dan Abrogasi dalam Surat al-Aḥzāb

Oleh: Muhammad Sapi’i

 

Jika ingin melihat revisonis di masa modern ini yang gethol melakukan kajian kritis dan mempertanyakan otentisitas al-Qur’an, ia adalah David Stephan Powers (Cornell). Karya-karyanya mendapat atensi positif dari pemujanya sekaligus kritik dari lawannya. Dalam sejumlah karyanya, Powers menggunakan pendekatan historical criticism dan literary criticism untuk melihat ulang sejarah Islam yang secara umum dianut umat Islam.

Muhammad is Not the Father of Any of Your Men: The Making of the Last Prophet(2009) adalah karyanya yang paling fenomenal dan mutakhir diantara karya revisionis lainnya. Karya setebal 357 halaman ini (termasuk kata pengantar, indeks dan daftar pustaka), menurut Reuven Firestone, banyak menarik pemerhati studi Qur’an, terutama karena judulnya yang merupakan sebuah frasa dari bagian ayat yang terdapat dalam surat al-Aḥzāb [33]:40: “mā kāna muḥammadun abā aḥadim mir rijālikum. Firestone mengungkapkan bahwa karya Powers ini akan membawa pembaca dalam perjalanan yang rumit ke dalam rimbunnya analisis tata bahasa dan sastra yang ringkas, melintasi bentangan teori studi agama, dan melalui labirin studi paleografi dan manuskrip (lihat review atas bukunya).

Sebagaimana dirangkum oleh Mu’ammar Zayn Qadafy, buku ini terbagi ke dalam 3 bagian: Bagian pertama memaparkan asumsi-asumsi Powers tentang hubungan antara Yahudi, Kristen dan Islam dan sejarah ringkas perilaku adopsi anak dalam budaya Near East hingga awal Islam. Bagian kedua dan ketiga merupakan bagian utama dalam buku ini mendiskusikan: (1) hubungan antara Nabi Muhammad dengan Zaid Ibn Hārithah sebagaimana digambarkan dalam sumber-sumber sejarah Muslim tradisional, yang menurut Powers adalah narasi buatan yang tidak bernilai historis; serta (2) kajian terhadap kata kalālah (keadaan seseorang yang tidak memiliki anak) pada manuskrip al-Qur’an yang menurut Powers sengaja disisipkan  pada akhir abad pertama Hijriyah  sebagai ganti dari kata yang sebenarnya (kallah yang berarti anak perempuan tiri).

Kedua Analisa ini dilakukan oleh Powers untuk membuktikan bahwa ada usaha sistematis dari umat Islam untuk menyegel pintu kenabian pasca Nabi Muhammad. Secara khusus, Powers meyakininya dilakukan di akhir abad pertama Hijriyah/ akhir abad ke-7 Masehi antara wafatnya Nabi pada 632 M dan meninggalnya Khalifah ‘Abd al-Malik pada 705 M (selengkapnya, lihat ulasan Qadafy berjudul “Benarkah Sosok Zayd Ibn Haritsah Fiktif? Kontroversi Karya Powers”). Dalam review buku ini, saya akan memotret bagian hipotesis dari Powers yang belum disentuh oleh Qadafy, yaitu tentang surat al-Aḥzāb yang menurutnya telah mengalami perubahan dan editorial besar-besaran dalam selang waktu antara pewahyuan dan kodeks ʿUthmān. Ia menilai awalnya surat ini terdiri dari 200 ayat, kemudian 127 ayat dihapus dan menyisakan 73 ayat. Sederhananya jika ada ayat yang dihapus dalam surat tersebut, berarti ada juga ayat yang ditambahkan.

Sebelum membahas seputar penghapusan ayat dalam surat al-Aḥzāb mari kita lihat beberapa hipotesis Powers yang kontroversial:

Hipotesis Powers

Pertama, ia menganggap bahwa larangan menikahi “menantu perempuanmu” dalam Q. 4:23 tidak konsisten dengan pernikahan Muhammad dan menantunya dalam Q. 33:37 (hal. 70). Berdasarkan kajian manuskrip, Powers menyimpulkan bahwa lafal asli dari ḥalā’ilu abnā’ikum ul-lażīna min aṣlābikum (-dan diharamkan bagimu- istri-istri anak laki-laki kalian yang berasal dari kalangan sendiri) dalam Q. 4:23 adalah kalāilukum (berarti menantu perempuan) (hal. 47). Powers membandingkan Q. 4:23 dengan Hukum Kekudusan dalam Alkitab Imamat 18:5-18 yang menurutnya secara struktural dan tematis berhubungan satu sama lain, karena pasal ini juga mencakup larangan antara lain pernikahan dengan ibu, saudara perempuan, bibi dari pihak ayah dan ibu, saudara perempuan ipar, menantu perempuan, dan dua saudara perempuan secara bersamaan. Satu-satunya pengecualian adalah larangan Qur’an terhadap pernikahan antara paman dan keponakan perempuannya dan larangannya terhadap pernikahan antara laki-laki dan anak perempuan tirinya (hal. 45).

Powers juga mempermasalahkan adanya varian Qirāʾah (meskipun tidak populer) yang menyebut adanya kalimat wa-huwa abun lahum (dia [Muhammad] adalah ayah mereka)” dalam Q. 33:6 tidak konsisten dengan pernyataan bahwa Muhammad tidak punya anak dalam Q. 33:40. Bagi Powers dalam kedua posisi tersebut, kerangka konsonan Qur’an tampaknya telah direvisi untuk mengakomodasi sebuah doktrin teologis yang penting: berakhirnya kenabian.

Powers membidik kehidupan Nabi Muhammad, Zayd (anak angkatnya) dan Zaynab (mantan istri Zayd). Menurut Walid Saleh (Toronto), dalam menganalisa kisah ketiga tokoh tersebut, Powers melakukan manuver yang paling khas dari seorang revisionis, dengan menyebut bahwa untuk memperkuat doktrin tentang “Muhammad adalah Nabi terakhir”, hubungan dengan anak angkatnya harus diputuskan, sehingga diciptakanlah episode pernikahan Nabi dengan Zaynab. Keberadaan Zayd jelas membahayakan teori tentang finalitas kenabian, karena seorang anak laki-laki dari Muhammad (meski anak angkat), akan mewarisi jubah kenabian. Inilah alasan Powers, mengapa Zayd harus ditolak, dan harus mati sebelum Muhammad wafat dan bukan setelahnya.

Powers melanjutkan: Perikop lima ayat yang dimulai dengan ayat 36 dan diakhiri dengan ayat 40 dari surat al-Aḥzāb telah ditambahkan ke dalam al-Qur’an pada generasi setelah wafatnya Nabi di tahun 632 M. Menurutnya surat al-Aḥzāb telah mengalami perubahan dan editorial besar-besaran dalam selang waktu antara pewahyuannya dan pembuatan kodeks ʿUthmān. Awalnya, surat ini terdiri dari 200 ayat, lalu 127 dari ayat-ayat ini dihapus hingga menyisakan 73 ayat saja. Jika 127 ayat dapat dihilangkan, maka 5 ayat dapat ditambahkan. Penambahan 5 ayat ini ke dalam teks al-Qur’an akan menjelaskan kontradiksi antara Q. 33:37 dan Q. 4:23 di satu sisi, dan antara Q. 33:40 dan Q. 33:6 di sisi lain (hal. 70-71).

Adakah Bagian Surat al-Aḥzāb yang dihapus?

Louay Fatoohi dari Durham dalam artikelnya Is the Muṣḥaf a Complete Record of the Quran? The Controversy of Abrogation mensarikan dari Faḍāʾil al-Qur’an karya Abū ʿUbayd al-Qāsim Ibn Sallām: menyatakan bahwa ketika berbicara tentang 200 ayat dalam Surat al-Aḥzāb maka hal tersebut sering dikaitkan dengan hadis ʿĀʾisha, yang dengan tegas menyatakan bahwa proses penyusunan wahyu al-Qur’an memiliki cacat: “Pada masa Nabi, surat al-Aḥzāb dibaca sebanyak 200 ayat. Namun ketika ʿUthmān menulis Muṣḥaf, dia tidak dapat mengumpulkan lebih dari apa yang ada saat ini” (Ibn Sallām, Faḍāʾil al-Qur’an, 320).

Hadis lain, juga berasal dari ʿĀʾisha, secara eksplisit menyatakan bahwa satu ayat yang tidak ada dalam Muṣḥaf masih menjadi bagian dari al-Qur’an pada saat wafatnya Nabi:

Dalam apa yang diturunkan al-Qur’an dahulu, terdapat sepuluh ayat tentang “persusuan” yang menetapkan larangan (perkawinan). Nabi meninggal dan ayat-ayat tersebut masih dibaca sebagai bagian dari al-Qur’an (Muslim, Ṣaḥīḥ, vol. 2, no. 1425, 1075). Menurut Fatoohi hadis-hadis seperti ini tidak mungkin diselaraskan dengan konsep naskh, karena mengandung kesan bahwa materi al-Qur’an telah hilang setelah Nabi, padahal naskh hanya dapat dilakukan selama masa hidupnya.

Hadis lain yang dianggap berasal dari ʿĀʾisha mencoba menjelaskan tidak adanya dua ayat dari Muṣḥaf membawa absurditas narasi ini ke tingkat yang baru: “Ayat rajam dan (ayat) menyusu orang dewasa sebanyak sepuluh kali diturunkan. Itu direkam pada selembar kertas di bawah tempat tidurku. Ketika Nabi meninggal dan kami sibuk dengan pemakamannya, seekor hewan peliharaan memasuki area tersebut dan memakan lembaran itu” (Ibn Māja, Al-Sunan, vol. 3, no. 1944, 125).

Cendekiawan Muslim telah mencatat sifat problematis dari hadis ini dan mencoba mengatasinya. Misalnya, ulama abad ketiga Ibnu Qutayba memasukkannya ke dalam bukunya yang terkenal tentang hadis kontroversial. Sarjana abad keempat al-Bāqillānī, mendedikasikan sebuah buku untuk menyangkal klaim-klaim yang dikaitkan dengan ʿĀʾisha, ʿUmar Ibn al-Khaṭṭāb, Ubayy Ibn Kaʿab, dan Abū Mūsā al-Ashʿarī. Ia berpendapat bahwa kata-kata yang salah dan benar telah dikaitkan dengan tokoh-tokoh terkemuka (Al-Bāqillānī, Al-Intiṣār, 422).

Bertentangan dengan narasi tersebut, banyak hadis lain yang menegaskan bahwa tidak ada wahyu al-Qur’an yang hilang setelah Nabi. Penerus ʿAbd al-ʿAzīz Ibn Rufayʿ dilaporkan mengatakan: “Shaddād Ibn Maʿqal dan saya mengunjungi Ibn ʿAbbās. Shaddād Ibn Maʿqal bertanya kepadanya, “Apakah Nabi meninggalkan sesuatu?” Beliau menjawab, “Dia tidak meninggalkan selain apa yang ada di antara kedua penutup (Muṣḥaf)”. Kami juga mengunjungi Muhammad Ibn al-Ḥanafiyya dan menanyakan hal yang sama kepadanya. Beliau menjawab, “Dia tidak meninggalkan selain apa yang ada di antara kedua penutup (Muṣḥaf)” (Al-Bukhārī, Al-Ṣaḥīḥ, vol. 3, no. 4829, 178).

Fatoohi memberi kesimpulan bahwa wahyu al-Qur’an terpelihara secara utuh dan Muṣḥaf merupakan catatan lengkap al-Qur’an. Narasi yang menyatakan sebaliknya adalah palsu dan diperkenalkan di berbagai masa setelah Nabi Muhammad. Narasi-narasi ini tidak mencatat sejarah, namun mencerminkan niat buruk penulisnya (hal. 13-14).

Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Israr Ahmad Khan dalam artikelnya Classification of Abrogation in the Qur’an: A Critical Analysis yang menyebut hadis ʿĀʾisha tentang hilangnya ratusan ayat dari “Surat al-Aḥzāb” sebagai hadis lemah, karena salah seorang rawi-nya, Ibn Lahi`ah, dipertanyakan kualitasnya oleh para kritikus (Ibn Abi Hatim, Al-Jarh wa al-Ta’dīl, 5:180-81, no. 8016).

Hadis di atas datang dari Ibn Abi Maryam yang bertemu Ibn Lahi`ah pada tahap terakhir kehidupannya. Para ulama meyakini bahwa apa yang dilaporkan Ibn Lahi`ah pada awal karir akademisnya dapat diterima sebagai sesuatu yang shahih; namun, hadis-hadis yang diriwayatkannya pada tahap akhir hidupnya mungkin tidak dapat dipercaya (Ibn Hajar, Tahżīb al-Tahżīb, 3:230).

Teks hadis tersebut juga mempunyai cacat serius. Disebutkan bahwaʿUthmān memperpendek panjang asli surat al-Aḥzāb yang berjumlah 200 ayat menjadi hanya 73 ayat. Namun, kita tahu bahwa ʿUthmān memiliki banyak salinan al-Qur’an yang dibuat dari salinan yang disiapkan pada masa pemerintahan Abu Bakar. Dengan demikian, jika memang ʿUthmān mereduksi jumlah ayat, harusnya ada hadis yang membandingkannya dengan kodifikasi era khalifah pendahulunya.

Epilog

Secara pribadi, saya melihat karya Powers ini sebagai salah satu masterpiece revisionis yang ingin melihat ulang sejarah Islam yang secara umum dianut umat Islam. Dari segi pendekatan yang digunakan, riset Powers patut diacungi jempol dan menjanjikan untuk diduplikasi pada kajian tertentu. Bahwa Powers tampak menafikan sumber-sumber tradisional Muslim, jelas, ini merepresentasikan kelompok revisionis yang meyakini bahwa sumber-sumber non-muslim lebih sempurna (infallible), sebuah asumsi yang masih harus diuji kembali secara lebih serius.

How to cite this Article: Muhammad Sapi’i, “Misi Penghapusan Ayat? David S. Powers dan Abrogasi dalam Surat al-Aḥzāb”, studitafsir.com (blog), Maret 31, 2024 (+ URL dan tanggal akses).

Detail buku yang direview: David Stephan Powers, Muḥammad Is Not the Father of Any of Your Men: The Making of the Last Prophet, Divinations (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2009).

Acknowledgement: Terima kasih kepada Dr. Phil. Mu’ammar Zayn Qadafy yang telah membersamai dan mendiskusikan buku-buku kritis tentang sejarah awal Islam (salah satunya buku David S. Powers) di kelas Kajian al-Qur’an Orientalis.

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 30

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Unknown