Al-Qur’an di Eropa: Menantang Persepsi Lama Hubungan Islam-Barat (Catatan H-11 Konferensi “A Word Across Languages” European Qur’an-UIN)

Oleh: Abd. Muhaimin

 

Saya ingin memulai tulisan ini dengan sebuah pertanyaan yang saya ajukan ke diri saya sendiri: Mengapa saya selama ini melihat Islam dan Barat seperti dua entitas yang dipisahkan oleh satu tembok raksasa? Seakan keduanya tidak bisa menyatu?.

Di antara kekayaan literatur tentang Islam dan Barat, buku yang ditulis oleh Norman Daniel dan Edward Said menjadi dua karya paling berpengaruh dalam subjek ini. Daniel dalam bukunya itu, Islam and the West: The Making of an Image (1960), melihat adanya penyimpangan-penyimpangan sikap Eropa terhadap Islam. Seperti Daniel, Said lebih “arogan” lagi, dengan memberi citra negatif terhadap istilah orientalisme (1978) dalam buku yang ditulisnya pada rentang 18 tahun setelah buku Daniel diterbitkan.

Dua karya besar di atas bukanlah tak luput dari kritik. Dietrich Jung misalnya, menyatakan bahwa keberhasilan buku Orientalism Said hanyalah sebuah keberuntungan karena faktor politik dan sosial yang kebetulan memihaknya. Jung menyoroti ketepatan penggunaan teori “post-strukturalisme” oleh Said, khususnya teori wacana Michel Foucault, dan “titik buta” Said dalam pengabaian sebuah fenomena lain yang disebut dengan, mengutip istilah Sadik al-Azm, “orientalisme terbalik”.

Roberto Tottoli tahu betul kontroversi karya Said di atas, meski ia tidak lagi tertarik untuk meneliti bagaimana sikap masyarakat Eropa terhadap umat Islam, melainkan terhadap teks Al-Qur’an, terutama naskah-naskah terjemahannya. Tulisan ini secara singkat akan me-reviu artikel Tottoli mengenai lintang sejarah peran Al-Qur’an di Eropa, dan secara umum memberi gambaran mengenai proyek The European Qur’an (EuQu) yang ia gawangi

Islam dan di Barat (Eropa)

Roberto Tottoli dalam artikelnya yang bertajuk, The Qur’an in Europe, A European Qur’an: A History of Reading, Translation, Polemical Confrontation and Scholarly Appreciation, menggaris-bawahi bagaimana hubungan antara Eropa dengan dunia muslim bersifat naik-turun sesuai dengan pengaruh percaturan agama dan politik di mana keinginan untuk mengenal other (yang lain) menjadi sangat penting dan menarik. Ketertarikan tersebut ditandai, setidaknya sejak abad ke-8, dengan ekspansi Islam ke Eropa, terutama di Mediterania, hingga abad ke-18 ketika mundurnya kekaisaran Ottoman (Utsmaniyah), kerajaan besar Islam, yang membuka jalan ekspansi kolonial Eropa.

Meski Tottoli tak berbicara banyak mengenai konfrontasi antara Islam dan Eropa, ia tetap mengakui bagaimana karya Daniel dan Said telah membentuk wajah orientalisme yang menakutkan di kalangan umat Islam. Di tulisannya yang lain yang berjudul Islam in the West: histories and contemporary issues of the Western Umma, Tottoli mempersoalkan pembenturan antara “Islam” dan “Barat”, karena keduanya adalah dua konsep yang berbeda; yang pertama merujuk pada agama dan komunitas religius, sedangkan yang kedua adalah entitas geografis. Ini menjadi masalah rumit karena, meskipun menurut persepsi saat ini kedua istilah tersebut sudah populer adanya, konsep-konsep itu sendiri tidak selalu sama sepanjang sejarah. Garis batas antar dua dunia itu buram, dan cukup sulit menentukannya. Pertama, gagasan tentang Eropa, tidak sesuai dengan persepsi Barat saat ini. Batas-batas menjadi terdistorsi oleh persepsi kontemporer tentang laut (laut tengah) sebagai pembagian yang jauh lebih definitif daripada daratan. Lalu kedua, kehadiran Muslim di Eropa Timur adalah anomali bagi pengaitan Eropa dengan sekularisme.

Melihat Al-Qur’an dalam Sejarah Eropa

Tottoli menyatakan bahwa Al-Qur’an telah menempuh banyak peristiwa dalam usahanya untuk eksis di Eropa. Salah satunya lewat terjemahan yang mulai terjadi pada abad ke-12 dan mencapai klimaksnya pada abad ke-15.

Di abad ke-12 hingga 14, muncul terjemahan latin Al-Qur’an pertama yang dimotori oleh dua tokoh penting, yaitu Petrus (w. 1156), kepala biara Cluny, di Bizantium; dan Robert dari Ketton (1136-1157) di semenanjung Iberia. Dua terjemahan mereka sepenuhnya bermuatan anti-Islam. seperti halnya terjemahan Markus dari Toledo (w. 1216) pada beberapa dekade setelahnya, yang meskipun pendekatannya berbeda, tujuannya sama dengan Petrus dan Ketton.

Seorang Dominikan Ramon Marti (w. 1284) megutip singkat Al-Qur’an dalam dua karyanya, Capistum Judoerum (1267) dan Pugio Fidei (1278). Dua karya ini sejatinya ditujukan untuk polemik anti-Yahudi. Untuk yang anti-Muslim ia tulis khusus di De Seta Machometi (sebelum 1257) dan Explanatio symboli Apostolorum (1257). William dari Tripoli juga menulis hal ihwal Al-Qur’an, kanonisasi, tafsir, dan ulumul Qur’an, dalam karyanya Notitia de Machometo dan De Statu Sarracenorum. Riccoldo da Montecroce (w. 1320). Karya utamanya tentang Al-Qur’an, Contra legem Sarracenorum, juga merupakan sebuah pembahasan yang cukup komprehensif yang ditujukan kepada para missionaris.

Selanjutnya, pada abad ke-15 (masa kejatuhan Yerussalem, kepausan Enea Silvio Piccolomeni, dan ekspansi Utsmaniyah) perhatian atas al-Qur’an semakin meningkat. Juan de Segovia (w. 1458) menerjemahkan Al-Qur’an dengan pendekatan langsung dan didukung oleh seorang muslim Andalus, Sa Gidelli (w. 1450). Sayangnya, manuskrip tersebut hilang. Terjemahan Juan mengkritik terjemahan Robert dari Ketton. Dan tepat pada masa revolusi percetakan, sebagaimana Juan, Guglielmo Raimondo Moncada (1489) dan Egidio da Viterbo (1532) juga menjadi nama yang banyak disorot dalam hal ini.

Memasuki abad ke-17, minat mempelajari bahasa arab oleh para orientalis kian meningkat. Mereka yang awalnya fokus ke daerah Spanyol, mulai beralih ke kesultanan Utsmaniyah. Sejak abad ke-18, bahasa Inggris dan perancis juga menjadi bahasa terjemahan Al-Qur’an yang paling dominan. Hal ini disebabkan oleh kepentingan kolonial, selain juga tak mengabaikan tujuan akademisnya.

Lalu dari mana mereka mendapat manuskrip Al-Qur’an maupun literatur-literatur Islam berbahasa Arab? Peperangan di mediterania dan perbatasan Utsmaniyah, perampasan oleh otoritas seperti kasus Moriscos, pembajakan laut seperti yang menimpa kapal penguasa Maroko, Mulan Zaydan, menjadi sederet tragedi penting dalam persebaran teks-teks penting Islam di Eropa.

Sekilas Tentang Proyek EuQu

Ketertarikan Eropa terhadap Al-Qur’an, bahasa Arab, dan disiplin ilmu yang berhubungan dengan “timur” mencerminkan berbagai tujuan yang begitu kompleks, tidak sesederhana mengenai usaha untuk mengenal other atau “yang lain”. Pada beberapa tahun belakangan, ketertarikan terhadap Islam berlanjut dengan berbagai proyek-proyek yang sangat signifikan. Penjelasan beberapa proyek tersebut bisa dibaca pada artikel yang ditulis oleh Mu’ammar Zayn Qadafy.

Adapun Proyek EuQu (Al-Qur’an Eropa) di mana Tottoli sendiri menjadi bagian peneliti ahli di dalamnya, mempunyai gagasan awal untuk meningkatkan pengetahuan tentang peran Al-Qur’an dalam pembentukan budaya, politik, agama, keilmuan, di berbagai wilayah dan waktu (antara abad ke-12 dan 18).

Proyek ini terpetakan menjadi empat tim di empat wilayah yang berbeda pula. Pertama, tim Madrid yang dikepalai oleh Mercedes Garcia-Arenal. Topik spesifiknya adalah Islam di Iberia dan lebih luas lagi di wilayah perbatasan antara wilayah Islam dan Kristen Eropa. Hasil pertamanya adalah volume The Iberian Qur’an, yang diedit oleh Mercedes Garcia-Arenal dan Gerard Wiegers yang memperdalam pengetahuan kita tentang topik-topik tersebut. Kedua, tim Nantes yang dikepalai oleh John Tolan. Fokus utamanya adalah periode abad pertengahan dan awal modern. Buku pertama dari seri The European Qur’an yang didedikasikan untuk Al-Qur’an Latin merupakan hasil kolaborasi Nantes dan tim UAB Islamolatina.

Ketiga, tim Kopenhagen yang dikepalai Jan Loop. Tim ini bekerja pada Sejarah studi terjemahan Al-Qur’an modern awal dengan fokus pada kelompok Protestan di Eropa Utara. Bersama dengan Asaph Ben-Tov, Jan Loop menulis buku tentang Al-Qur’an di Jerman yang berjudul, Uses of the Qur’an in early modern Germany. Dan Keempat, tim Naples (Napoli) yang dikepalai oleh Roberto Tottoli dengan fokus kepada sumber-sumber berbahasa Arab dan Al-Qur’an berbahasa Arab sebagai sumber bagi para ulama yang menerjemahkan, menyunting, mencetak, mengutip dan menggunakan Al-Qur’an.

Hence,

EuQu dapat memberi pencerahan tentang dikotomi Islam dan Barat. Tottoli yakin, pengungkapan atas usaha penyalinan, peredaran, penerjemahan, dan penyempurnaan Al-Qur’an di Eropa, baik oleh orang Muslim maupun non-Muslim sangat berkontribusi dalam pembentukan kebudayaan Eropa -khususnya pada era awal modern. Mengutip Gulnaz Sibgatullina dan Gerard Wiegers, mempelajari Al-Qur’an Eropa berarti menantang gagasan tentang jurang tajam antara budaya Kristen dan Islam, lalu menyoroti sifat yang kompleks dan saling terkait dari sejarah mereka.

Ambisi EuQu di atas akan di bawa dalam konferensi bertajuk A Word Across Languages: How the Text of the Qur’an Shaped Civilization in World History? yang bakal dilaksanakan pada pekan pertama bulan Juli. Harapannya, hubungan yang tidak sederhana antara al-Qur’an dan kebudayaan masyarakat (tidak terbatas pada Eropa) bisa terpetakan dengan lebih sistematis dan apa adanya.

How to cite this Article: Abd. Muhaimin, “Al-Qur’an di Eropa: Menantang Persepsi Lama Hubungan Islam-Barat (Catatan H-11 Konferensi “A Word Across Languages” European Qur’an-UIN)”, studitafsir.com (blog), Juni 21, 2024 (+ URL dan tanggal akses).

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 30

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Unknown