Ummah Wasaṭ dalam Kitab-Kitab Tafsir Era Pertengahan: Refleksi Moderasi Beragama

Oleh: Mu’ammar Zayn Qadafy

 

Terbuai dengan Salah Satu Makna Ummah Wasaṭ dalam Tafsir Q. 2: 143

Tulisan ini tidak sedang menyoal diusungnya jargon Islam wasaṭīyah sebagai model keberislaman umat Islam di Indonesia yang digadang-gadang mampu menjadi alternatif di tengah banyak kebuntuan pola keberislaman. Misalnya, Islam moderat dianggap sebagai jawaban atas pertentangan dua nalar keagamaan yang sama-sama kuatnya: tekstualis dan kontekstualis. Islam wasaṭīyah, dengan demikian, dipercaya mampu membendung arus pemikiran ekstrimis-takfīrī di satu sisi, dan liberal di sisi lain.   Pemaknaan Islam wasaṭīyah semacam ini sah-sah saja dan masih sangat relevan untuk terus digaungkan diskusinya , utamanya agar konsepsi Islam wasaṭīyah yang abstrak bisa diejawantahkan dalam program-program riil berkelanjutan.

Pada bulan agustus 2015, Islam wasaṭīyah menjadi tema Musyawarah Nasional MUI (Majlis Ulama Indonesia) di Surabaya. Dalam sambutannya, Wakil Ketua MUI kala itu, Ma’ruf Amin menegaskan karakter Islam Indonesia yang santun, toleran, damai, tidak memaksa dan menghargai perbedaan. Sifat-sifat ini di kemudian hari dipakai oleh -hampir- semua orang untuk mengidentifikasi makna kontestual dari implementasi Islam wasaṭīyah di Indonesia. Lalu dirumuskanlah nilai-nilai yang dianggap integral dengan grand design Islam wasaṭīyah, meliputi tawassuṭ (berada di jalan tengah), iʿtidāl (proporsional), tasāmuḥ (toleransi), syūrā (musyawarah), iṣlāḥ (mengutamakan kebaikan bersama), qudwah (keteladanan) dan muwāṭanah (bernegara yang baik). Lebih jauh, Islam wasaṭīyah sering dikaitkan dengan kehendak Tuhan untuk menjadikan agama Islam sebagai rahmat untuk semesta (rahmah li al-‘alamin).

Untuk menyebarluaskan gagasan di atas, para pengusung Islam wasaṭīyah sebagai ‘moderasi Islam‘ merasa mendapatkan justifikasi penuh dari al-Quran. Istilah ummah wasaṭ yang adalah Havax Legomenon karena hanya muncul sekali saja dalam al-Qur’an (yaitu dalam Q. 2: 143) selalu dijadikan basis argumentasi. Memang, di antara term-term al-Qur’an yang berasal dari akar kata wa-sa-ṭa, istilah ummah wasaṭ dalam ayat tersebut adalah yang paling eksplisit dalam menautkan wasaṭīyah sebagai sifat dengan eksistensi komunitas Muslim. Tak mengherankan karenanya jika ayat ini sering dijadikan pintu masuk oleh para sarjana Muslim untuk mengungkap pemahaman para mufassir mengenai makna wasaṭ secara umum, dan Islam wasaṭīyah secara khusus.

Semangat para akademisi untuk mengaitkan konsep ideal Islam wasaṭīyah dengan khazanah literatur tafsir patut diapresiasi. Yang jadi masalah adalah, banyak dari mereka yang -baik secara sadar atau tidak- memaksakan makna ‘Islam moderat‘ untuk menjadi satu-satunya makna ummah wasaṭ meskipun kitab-kitab tafsir yang tersedia menyuguhkan variasi makna lain. Sikap latah dan tergesa-gesa ini semakin nampak jelas dalam riset-riset yang sedari awal ditujukan untuk menggaris-bawahi prinsip moderasi beragama dalam pemikiran ulama kontemporer dari mancanegara seperti Yūsuf al-Qaradhawī, Mushṭafā al-Marāghī (1881-1945), dan Wahbah Zuhailī (1935-2015), dan dari Indonesia seperti Quraish Shihab, dan Buya HAMKA (1908-1981). Bahkan kajian tentang pemikiran visioner seorang Nurcholis Madjid (1939-2005) tentang konsepsi Islam wasaṭīyah berujung pada penegasan makna Islam wasaṭīyah yang parsial tadi, meskipun dimulai dari keluasan sekaligus kedalaman wawasan Madjid tentang topik tersebut.

Fenomena ini, menurut saya, bermula dari banyaknya peneliti yang terlalu fokus hanya pada satu tafsir saja dari kata ummah wasaṭ dalam Q. 2: 143, menjadikan makna itu penentu signifikansi final dari ayat tersebut, dan dengan sendirinya mengenyampingkan variasi makna lain. Pada akhirnya, secanggih apapun riset yang digagas, konklusi akhirnya tetaplah bermuara pada penegasan bahwa Islam di Indonesia, dengan NU dan Muhammadiyah sebagai dua komunitas Muslim terbesarnya, adalah Islam yang inklusif, humanis dan toleran. Ketiga kata kunci ini bahkan diulang-ulang sedemikian rupa dan seakan menjadi narasi standar bagi siapapun yang ingin menjelaskan substansi Islam wasaṭīyah.

Konsekwensinya, implementasi dari grand-design Islam wasaṭīyah sebagai moderasi Islam ini akan melulu seputar pengarusutamaan jalan tengah (middle path) dalam praktik-praktik sosial-keagamaan. Misalnya pasca dirumuskannya Islam wasaṭīyah sebagai jargon Munas IX MUI di Surabaya, lahirlah program-program semisal rekontruksi kajian fiqh dari yang semula menonjolkan perbedaan (fiqh al-ikhtilāf) menjadi mencari persamaan (fiqh al-ittiḥād) serta pelaksanaan dakwah yang menanamkan akhlak terpuji dan mengedukasi umat Islam agar tidak mudah terjebak dalam konflik. Kedua program kerja ini sangat terikat dengan pemahaman para pengurus MUI bahwa Islam wasaṭīyah yang dicita-citakan bersifat tengah-tengah dan tidak memihak satu dari dua atau lebih kecenderungan keagamaan tertentu.

Problem Konseptual Terminologi ‘Islam Moderat‘

Sebagaimana telah diulas, ada kecenderungan sporadik dari para akademisi dan sarjana di Indonesia untuk menerjemahkan Islam wasaṭīyah sebagai Islam moderat yang memilih jalan tengah dalam hal beragama, bermasyarakat dan bernegara. Dalam skala tertentu, sikap ini adalah pilihan yang tepat karena bagaimanapun juga jalan tengah terlihat adil, tidak bias dan mengakomodir beragam kepentingan yang ada. Hanya saja, tidak bisa diingkari, bahwa ‘jalan tengah‘ bisa juga berkonotasi negatif karena memuat unsur eklektisme, sifat kurang greget, minggrang-minggring dan tidak berpendirian. Jalan tengah juga sering terejawantah dalam posisi cari aman dan cenderung diam untuk menghindari pertikaian. Sebagaimana dikutip oleh Azyumardi Azra, Buya Syafi’i Maarif pernah menyoroti fenomena ini dalam satu ujarannya yang terkenal: “Muslim radikal sesungguhnya minoritas di tengah lautan umat Islam moderat. Sayang, mereka yang moderat lebih senang berdiam diri dari pada men-counter mereka yang radikal“.

Sisi ini yang dielaborasi secara apik oleh beberapa sarjana Muslim Indonesia. Masdar Hilmy misalnya menyoroti moderasi teologis NU yang membuat pengikutnya enggan menghampiri al-Qur’an dan Hadith tanpa penguasaan atas kitab-kitab atau pernyataan-pernyataan para ulama yang menjelaskan kedua sumber agama tersebut. Di satu sisi, pilihan beragama NU ini berhasil memberikan ruang eksperimen dan artikulasi berpikir yang bisa saja melahirkan pemikiran yang progresif meski liberal. Namun di sisi lain, metodologi ini cenderung melanggengkan ortodoksi keagamaan yang adalah sumber ke-jumud-an. Uniknya, tandas Hilmy, ke-jumud-an berpikir ini juga menghantui golongan muda Muhammadiyah saat ini. Jargon Kembali pada Qur’an dan Hadith yang menjadi trademark Muhammadiyah sejak awal berdirinya bisa menjadi titik tolak untuk menggaungkan perubahan dan pembaharuan (tajdīd), hanya jika dia berada di tangan yang tepat. Sialnya di tangan orang-orang yang tidak kompeten, pendasaran yang terlalu berlebihan terhadap slogan ini justru membunuh semangat dan visi pembaruan itu sendiri.

Problem kedua berkaitan dengan pen-sifat-an Islam Indonesia sebagai Islam moderat yang seakan-akan membatasi keunggulan umat Muslim Indonesia hanya pada karakternya yang lebih suka menjadi penengah dan menjauhi segala jenis perseturuan. Indonesia, sebagai negara dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia selalu di-gembar-gembor-kan sebagai perwujudan ummah wasaṭ yang berwadah teduh seakan mengikuti irama negeri kepulauan yang indah dan menentramkan, damai, toleran dan nir kekerasan. Propaganda ini terbukti sukses menarik perhatian dunia untuk menjadikan Indonesia penengah dalam penyelesaian konflik di negara tertentu, utamanya yang salah satu akar masalahnya adalah benturan kebudayaan dan pemahaman keagamaan. Indonesia diakui perannya dalam mewujudkan perdamaian di Kawasan Timur Tengah, dianggap sebagai negara yang punya andil besar dalam mendorong pengakuan internasional terhadap dibentuknya negara Palestina, dan dikenal turut aktif membantu proses perdamaian Arab Saudi dan Iran dalam konflik madzhab Sunni-Syiah.

Mencari Variasi Makna Islam Wasaṭīyah Yang terlupakan Lewat Kitab-Kitab Tafsir: Strategi dan Metode Riset

Sebagaimana sudah ditegaskan di awal, tidak ada yang salah dengan memaknai Islam wasaṭīyah sebagai moderasi Islam. Argumen yang ingin diusulkan oleh artikel ini adalah bahwa selain ‘moderasi Islam’, ada makna lain dari Islam wasaṭīyah yang juga relevan untuk diangkat ke permukaan dan dikaji secara lebih serius. Secara khusus, makna yang dimaksud adalah keunggulan dan superioritas umat Islam. Artinya, Umat Islam Indonesia belum akan menjadi contoh ideal dari ummah wasat jika Indonesia belum menjadi negara superior sekaligus pioneer, tidak hanya dalam hal stabilitas negara dari konflik-konflik keagamaan, tetapi juga dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengelolaan Sumber Daya manusia serta pemanfaatan aset-aset pentingnya untuk menuju Indonesia yang mandiri dan berdaulat.

Strategi yang dipakai untuk menemukan makna lain tersebut adalah dengan melakukan penelusuran terhadap kitab-kitab tafsir, khususnya era pertengahan, dimulai dengan karya monumental dari seorang Ibn Jarīr al-Ṭabarī (w. 310/ 923). Dipilihnya tafsir ini sebagai starting-point memiliki alasan metodologis, utamanya karena riset-riset mutakhir menunjukkan bahwa Ṭabarī cenderung tepat dan apa adanya dalam mereproduksi materi-materi tafsir yang telah lebih dulu berkembang sebelum masanya. Ṭabarī juga dikenal luas lewat buku Tārīkh-nya yang turut menasbihkan dirinya sebagai sejarawan besar. Dari tafsir Ṭabarī, penelusuran akan dilanjutkan ke tafsir-tafsir lain seperti karya al-Thaʿlabī (w. 427/1036), al-Zamakhsharī (w. 537/ 1143) dan Ibn ʿAṭīyah al-Andalusī (w. 541/1147).  Selain mengungkap makna lain dari konsepi Islam wasaṭīyah, riset ini juga dimaksudkan sebagai pelacakan sejarah mengenai perkembangan pemahaman para mufassir tentang Islam Wasaṭīyah dari masa ke masa.

Sebelum analisa dilakukan, ada karakteristik kitab tafsir yang harus dipahami, yaitu bahwa materi-materi penafsiran yang tersebar di kitab-kitab tersebut bersifat genealogis. Artinya, selalu ada hubungan dialektis antara sebuah kitab tafsir  dengan materi-materi penafsiran yang mendahuluinya. Sebelum menuliskan sebuah kitab Tafsir, seorang mufassir memiliki akses penuh terhadap materi-materi yang beragam ini. Praktik ini telah berlangsung sejak lama dan meninggalkan jejak yang tak terbantahkan: terus berkembangnya variasi dan jumlah ragam penafsiran terhadap al-Qur’an. Bahkan jika seorang mufassir tidak setuju dengan pandangan para mufassir sebelumnya, ia tidak akan serta-merta membuangnya ke tempat sampah, melainkan tetap mencantumkannya dan menambahkan kritik setelahnya. Penghilangan materi penafsiran oleh seorang mufassir tertentu akan sangat mencolok karena materi-materi itu diketahui dan diproduksi ulang oleh mufassir-mufassir lain dalam karya mereka. Di sisi lain, karena alasan yang sama, pengubahan dan inovasi terhadap materi-materi itu justru hampir tidak terlihat. Sifat genealogis ini penting untuk kita pahami agar kita tidak fokus pada kesamaan materinya sehingga mengabaikan detil perubahan dan inovasi yang disematkan oleh seorang mufassir. Jika kita mengetahui karakteristik dasar masing-masing kitab, inovasi yang diusulkan masing-masing mufassir akan lebih mudah dihargai.

Ṭabarī dan Kecenderungan Ideologisnya: Tidak diakuinya Makna ‘Superioritas’ dalam Konsep Dasar Wasaṭ

Perlu dicatat bahwa dalam menjelaskan variasi makna ummah wasaṭ dalam Q. 2: 143, yang pertama kali dielaborasi oleh Ṭabarī adalah istilah khiyār yang secara bahasa berarti ‘terbaik’ (atau ‘terpilih‘). Secara bebas, istilah ummat terbaik bisa kita artikan juga sebagai umat yang unggul dan superior. Di beberapa dialek, ada istilah fulān wāsiṭ al-ḥasab yang dipakai untuk menyebut seseorang yang memiliki derajad sosial tinggi di masyarakat. Tidak hanya itu, Ṭabarī juga menghadirkan sebuah puisi kuno dari Zuhair Ibn Abī Sulmā (w. 609 M) yang memakai kata wasaṭ untuk menyebut orang-orang terpandang di sebuah kaum yang sangat dihormati keputusan-keputusannya. Dua bukti filologis ini (makna leksikal dan puisi kuno), menurut saya, sudah cukup membuktikan bahwa pemaknaan wasaṭīyah sebagai kondisi unggul dan superior tidaklah asing bagi umat Islam generasi awal dan bahkan menjadi praktik yang lumrah.

Tetapi memang, siapapun yang mengikuti alur argumentasi Ṭabarī, akan mendapat kesan bahwa makna pertama ini dikesampingkan. Pasalnya, Ṭabarī secara terang-terangan menyebutkan preferensinya kepada makna lain, bahwa yang dimaksud wasaṭ di sini adalah posisi netral di antara dua kutub (al-juzʿ al-ladhī huwa baina al-ṭarfain). Sehingga umat Islam disebut ummah wasaṭ, tegas Ṭabarī, adalah karena mereka berada di antara ekstrimisme umat Nasrani yang mengkultuskan Nabi Isa dan kepongahan umat Yahudi yang mengganti Kitab Suci dan membunuh para Nabi. Sementara makna ketiga yang juga disebut oleh Ṭabarī adalah bahwa wasaṭ berarti adil. Makna ini sebenarnya adalah penjelasan dari makna pertama yang tidak difavoritkan oleh Ṭabarī karena untuk menjadi umat yang adil, kaum muslimin harus terlebih dahulu menjadi umat pilihan yang berkuasa sekaligus superior.

Sampai di sini, kita menemukan bahwa pemaknaan wasaṭ sebagai moderasi, yang ramai diperbincangkan para sarjana muslim di era modern mempunyai landasan teologis yang kuat karena makna ini adalah yang dipilih oleh Ṭabarī. Pertanyaannya adalah, apakah karena sebuah makna di-endorse oleh seorang tokoh sebesar Ṭabarī, ia lantas menjadi makna yang paling benar dan juga paling relevan untuk masa-masa berikutnya, termasuk masa sekarang?. Jika kita jujur sebagai sejarawan, maka kita harus menyadari bahwa Ṭabarī juga terikat dengan posisi dogmatis tertentu, baik di level historis maupun politis. Supaya lebih jelas, yang saya maksud dengan ideologi tersembunyi Ṭabarī dalam tafsirnya adalah upayanya secara sengaja menampilkan pendapat yang ia dukung dan melemahkan apa yang tidak ia suka. Contoh sederhana adalah tafsirnya terhadap kata kha-la-fa yang menjadi asal kata dari khalīfah. Di dalam tafsirnya, Ṭabarī menyebut makna tunggal untuk kata kha-la-fa, yaitu ‘menggantikan’ (to succeed) tanpa memberi catatan bahwa ini hanyalah satu di antara makna-makna lain yang pernah diutarakan oleh para mufassir sebelumnya. Di tempat lain, Ṭabarī menolak mentah-mentah penafsiran Ibn Isḥāq (w. 150/767) yang mengartikan kata kha-la-fa sebagai ‘menetap‘ (to inhabit/sa-ka-na) atau ‘membudayakan’ (to cultivate/‘a-ma-ra). Kita bisa menduga kemana arah argumentasi Ṭabarī. Dengan mengusung makna ‘menggantikan‘ untuk kata kha-la-fa, ia jelas sedang mendukung kedudukan tinggi seorang khalīfah yang memang menjadi isu politik penting di masanya. Sebagai catatan, Ṭabarī mengalami sepuluh kali pergantian khalīfah semasa hidupnya, dan selama itu pulalah Ṭabarī cenderung mengambil peran sebagai ulama yang mendukung kebijakan-kebijakan istana.

Makna Ummah Wasaṭ pasca Ṭabarī

Jika kemungkinan makna lain dari kata wasaṭ nampak tidak diakomodir dalam tafsir ensiklopedik karya Ṭabarī, tidak demikian halnya dengan tafsir Thaʿlabī. Karya tafsirnya layak kita kaji karena dalam istilah Walid Saleh, Ṭabarī adalah arsitek pioneer dalam penyusunan tafsir ensiklopedik, sementara Thaʿlabī adalah mufassir yang memperluas dan memodifikasi sedemikian rupa genre ini. Thaʿlabī mengulas secara proporsional dua alternatif makna yang muncul dalam tafsir Ṭabarī. Pertama, kata wasaṭ dalam Q. 2: 143 identik dengan makna adil dan terbaik (ʿadlan wa khiyāran). Untuk mendukung makna ini, selain memaparkan lagi puisi Zuhair Ibn Sulmā yang telah disebut oleh Ṭabarī, Thaʿlabī menambah tiga dalil lagi. Adalah bagian dari kebiasaan orang Arab, jelas Thaʿlabī, jika salah seorang mereka berkata “inzil wasaṭ al-wādī“ (turunlah ke lembah itu) maka ia sebenarnya menyuruh untuk memilih suatu tempat di lembah tersebut (takhayyar mauḍiʿan fīhi). Di sisi lain, Rasulullah SAW dikenal juga sebagai wasaṭ quraisy nasaban karena garis keturunan Nabi adalah yang terbaik di antara mereka. Terakhir, Thaʿlabī membuat perbandingan antara kata wasaṭ dalam Q. 2: 143 dengan kata awsaṭ di Q. 68: 28. Di dalam ayat yang kedua, kata awsaṭuhum merujuk pada orang paling baik dan paling adil (akhyaruhum wa aʿdaluhum) di antara mereka. Setelah penjelasan panjang lebar mengenai makna kata ummat wasaṭ sebagai ummat terbaik dan terpilih ini, barulah Thaʿlabī menjelaskan opsi makna kedua, bahwa kata wasaṭ identik dengan posisi netral di antara dua kutub keberagamaan yang ekstrim.

Adalah tafsir Zamakhsyarī yang mengelaborasi makna ummat wasaṭ sebagai ummat ‘terbaik‘ dan ‘terpilih‘, dan membangun hubungan relasional yang apik antara makna ini dan maknanya yang lain. Apa yang dilakukan Zamakhsyarī ini jelas merupakan inovasi brillian dari apa yang disajikan oleh kedua pendahulunya. Zamakhsyarī-lah yang mempertegas makna asli dan makna terminologis dari kata wasaṭ. Kata ummah wasaṭ, menurutnya, paling tepat dimaknai sebagai ummah khiyār (terbaik/ terpilih). Sifat ini akan muncul dengan sendirinya jika seseorang atau sesuatu bisa berada di tengah-tengah, karena biasanya, apa-apa yang berada di ujung itu mudah goyah dan rusak. Sebaliknya, yang berada di tengah itu lebih terjaga. Untuk mendukung ungkapannya ini, Zamakhsyarī menyitir sebuah puisi klasik dari Ḥātim al-Ṭāʾī (w. 605 M), beserta sebuah ungkapan yang khas dari sebagian orang-orang Arab ketika mereka menunaikan ibadah haji. Jika dikatakan: aʿṭinī min saṭātihanihi maka yang dimaksud adalah aʿṭinī min khiyār al-danānīr. Di contoh yang terakhir ini, Zamakhsyarī menekankan bahwa pensifatan seseuatu yang berada di tengah-tengah sebagai sesuatu yang terbaik dilandasi logika kebahasaan yang kuat dan telah menjadi praktik yang umum di kalangan penutur asli bahasa Arab.

Yang perlu dicatat dari tafsir Zamakhsyarī adalah pilihannya untuk tidak menyebut satupun dari belasan riwayat yang disebutkan oleh Ṭabarī yang mendukung pemaknaan kata ummah wasaṭ sebagai ummat yang berada di tengah-tengah (moderat). Hal ini dikarenakan Zamakhsyarī melihat bahwa penyebutannya akan mengalihkan perhatian para pembaca tafsirnya dari hubungan relasional antara makna asli dan makna terminologis dari kata wasaṭ, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Zamakhsyarī ingin menyatakan bahwa meskipun makna asal wasaṭ adalah ‘posisi tengah‘, namun dalam kasus tertentu, seperti pada kasus ummah wasaṭ, ia lebih tepat dimaknai sebagai ‘posisi terbaik‘.

Tafsir terakhir yang layak juga untuk dikaji adalah al-Muḥarrar al-Wajīz karya Ibn ʿAṭīyah, seorang mufassir besar dari Andalusia. Salah satu yang menjadi keunggulan tafsir ini adalah kajian filologisnya yang mendalam dilengkapi dengan keluasann pengetahuan sang mufassir tentang tradisi-tradisi tafsir yang telah lebih dulu muncul di era-era sebelumnya. Menurut Ibn ʿAṭīyah, ummah wasaṭ dalam ayat ini berarti ummat yang adil. Dalam tata bahasa Arab, jelas Ibn ʿAṭīyah, kata wasaṭ adalah sesuatu yang terbaik (al-khiyār) dan tertinggi (al-Aʿlā). Karenanya ada ungkapan fulān wasaṭ al-qawm (seseorang yang menjadi pemimpin kaumnya), wāsiṭah al-qilādah anfus ḥajar fīhā (bagian terbaik dari sebuah kalung adalah mata kalungnya), dan al-amīr wasaṭ al-jaisy (sang pemimpin adalah tokoh sentral bagi bala tentaranya). Ibn ʿAṭīyah lalu menyebut secara singkat pemakaian kata wasaṭ dalam Q. 68: 28 sebagaimana yang dilakukan oleh Thaʿlabī. Sebagai tambahan, Ibn ʿAṭīyah mengulas susunan huruf dan harakat dari kata wasaṭ lewat syair dari Farazdaq (w. 112/ 730).

Selain kajian kebahasaan, salah satu karakter yang menonjol dari tafsir Ibn ʿAṭīyah adalah upayanya untuk mengakomodir dan mengkompromisasi sebanyak mungkin variasi makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Dalam elaborasinya mengenai makna kata wasaṭ sebagai sikap moderat, secara eksplisit Ibn ʿAṭīyah menyebut bahwa model pemaknaan seperti ini adalah juga sah. Sebagai penutup, ia menegaskan bahwa superioritas (al-ʿuluw) dan kebaikan (al-khair) dari sesuatu bisa jadi karena sesuatu tersebut memang dari sono-nya mulia, atau karena ia berada di posisi ideal sebagai penengah di antara dua sisi yang saling bertentangan.

Ulasan mengenai makna ummah wasaṭ dalam tradisi tafsir klasik pertengahan ini menyimpulkan beberapa hal penting: pertama, dalam khazanah intelektual tafsir, khususnya di era pertengahan, pemahaman tentang kata ummah wasaṭ di dalam Q. 2: 143 tidak pernah tunggal. Keempat tafsir yang telah dibahas menyebutkan paling tidak dua variasi makna yang memiliki hubungan relasional dan di saat yang sama bisa berdiri sendiri secara utuh. Di satu sisi, pensifatan umat Islam sebagai ummah wasaṭ dapat berarti bahwa mereka adalah umat terbaik, unggul dan superior. Di sisi lain, itu juga bisa berarti bahwa mereka adalah umat yang moderat, di antara dua ekstrimisme kaum Yahudi dan Nasrani.

Kedua, pada dasarnya, dua makna ini sama-sama beredar di komunitas mufassir dan dengan demikian, sama-sama kuat. Hanya saja seorang mufassir tertentu akan menonjolkan makna yang sesuai dengan preferensi metodologisnya. Dari keempat kitab yang ditelaah, tafsir Ṭabarī adalah yang secara sistematik mengunggulkan makna kedua dari pada makna yang pertama. Bukanlah suatu kebetulan jika Ṭabarī menyebut tidak kurang dari empat belas riwayat untuk menegaskan makna ummat yang moderat. Sikap menggebu-gebu dalam mendukung makna moderasi ini tidak ditemukan dalam ketiga mufassir lain. Sebaliknya, ketiga mufassir memberi ruang yang lebih banyak untuk menjelaskan makna yang pertama. Zamakhsyarī bahkan tidak menuliskan apapun mengenai variasi makna kedua. Ketiga, catatan Ibn ʿAṭīyah mengenai makna superioritas perlu direnungkan, apakah superioritas ini adalah sesuatu anugrah (given), ataukah sesuatu yang mesti diperjuangkan. Meskipun tidak ada dari keempat kitab tafsir yang membahas poin ini, tidaklah salah kalau diasumsikan bahwa kedua skema tersebut sama-sama mungkin, bahkan bisa terjadi secara bersamaan. Artinya, umat Islam harus meyakini bahwa sedari awal, berkat keimanan dan keislaman, Allah sudah meninggikan derajad mereka di mata-Nya. Di saat yang sama, umat Islam harus terus melakukan yang terbaik di dunia ini agar komunitas mereka terus unggul dan diakui martabatnya oleh dunia.

Reorientasi Islam Wasaṭīyah: Menuju Indonesia Yang Unggul dan Superior

Berdasarkan penelitian di atas, artikel ini berargumen bahwa di samping prinsip moderasi Islam, prinsip keunggulan dan superioritas umat Islam juga semestinya mendapat perhatian akademik yang sama untuk disuarakan dalam ruang-ruang publik. Sebagaimana dijelaskan, makna superioritas Islam melekat dalam definisi komunitas orang beriman sebagai ummah wasaṭ dan, lebih dari itu, ide dasar bahwa umat Islam Indonesia harus unggul dan superior di bidang apapun sangat relevan di era persaingan global saat ini, apalagi di era pandemi Covid-19 yang nampaknya belum akan berakhir dalam waktu dekat. Sebagai bagian dari sebuah bangsa besar, umat Islam di Indonesia juga punya tanggung jawab untuk turut juga menyelesaikan problem-problem laten di tanah air, seperti penurunan daya beli dan inflasi, tingkat pengangguran yang masih tinggi, masalah kemiskinan yang lekat dengan akses kaum papa ke pelayanan kesehatan yang layak, pendidikan, serta masalah lingkungan dan kerusakan alam. Untuk menjadi bangsa yang unggul dan superior, problem-problem ini harus lebih dulu diselesaikan.

Termasuk bagian dari kampanye untuk menggalakkan ide masyarakat Muslim Indonesia yang unggul adalah dengan meng-encourage masing-masing orang untuk bersikap profesional dalam bidang apapun yang dikerjakan. Bagaimanapun juga, mewujudkan bangsa yang unggul dan superior adalah kerja kolektif yang menghajatkan sinergi dari banyak pihak. Integritas dalam bekerja tidak hanya akan memberikan manfaat bagi kemapanan sosial, emosional dan finansial masing-masing individu. Lebih dari itu, kesuksesan individual ini akan menjadi fondasi utama dari kemapanan dan ketentraman komunal.

Kemudian, apa implikasi dari pengalih-arusan makna Islam Wasaṭīyah dari sekedar ‘Islam moderat‘ menjadi juga ‘Islam superior‘? Pertama, dengan diakomodirnya makna superioritas dalam definisi Islam Wasaṭīyah, nada (tone) dakwah Islamiyah yang selama ini saling bersahutan dalam frekwensi yang sama akan turut berubah. Para khatib di sidang Jum’at dan para da’i di forum-forum pengajian, selain menyuarakan pentingnya berislam secara moderat, juga perlu menekankan profesionalisme dan integritas dalam rangka untuk mendorong umat Islam Indonesia bahu-membahu mewujudkan Indonesia yang unggul dan disegani. Kedua, di ranah individu, pemahaman bahwa menjadi Muslim yang tangguh dan moncer dalam profesi masing-masing adalah ide yang diusung al-Qur’an dalam terminologi qur’ani ummah wasaṭ, akan meningkatkan motivasi dalam beraktifitas dan memperjuangkan kemajuan karir masing-masing. Hal ini tentu akan berdampak positif bagi peningkatan taraf kehidupan individual dan komunal. Di samping itu, akan semakin jelas bahwa nilai-nilai Islami sebenarnya tidak bertentangan dengan kerja duniawi. Ketiga, dalam semangat menuju ummah wasaṭ yang dipuji al-Qur’an, Indonesia sebagai negara dengan jumlah umat Muslim terbesar, tidak hanya bisa membanggakan sikap moderat pemeluk Islam Indonesia, tetapi juga profesionalisme dan kemajuan-kemajuan yang dicapai.

Kesimpulan

Sedari awal, artikel ini sudah mewanti-wanti bahwa tidak ada yang salah dengan mengaitkan konsep wasaṭīyah dengan moderasi beragama. Selain karena penghubungan ini memiliki landasan teologis yang kuat sebagaimana ditunjukkan oleh kitab-kitab tafsir, jargon Islam moderat masih relevan untuk terus digaungkan di masa sekarang saat ancaman ekstrimisme dan terror atas nama agama terus bermunculan. Stakeholders Indonesia juga sudah mengambil langkah yang tepat ketika mengklaim sekaligus menampakkan kepada dunia wajah Islam Indonesia yang santun, cinta damai, toleran dan inklusif. Islam Wasaṭīyah Indonesia seperti ini sangat layak dijadikan role model bagi negara-negara lain yang masih mencari formulasi keberislaman yang cocok dengan kultur dan nilai-nilai lokal yang indigenous dari masing-masing negara tersebut.

Satu hal yang pasti, semua tulisan ilmiah baik berupa artikel, tugas akhir perkuliahan hingga buku yang menyuarakan Islam wasaṭīyah, berada dalam koridor makna moderasi ini. Dengan kata lain, tidak ada usaha nyata untuk secara akademik keluar dari paradigma lama Islam wasaṭīyah ini. Di titik inilah, artikel ini menawarkan kontribusinya. Artikel ini menggaris-bawahi bahwa ada makna lain dari Islam Wasaṭīyah yang juga relevan untuk disemarakkan gaungnya. Makna yang dimaksud adalah Islam Wasaṭīyah sebagai Islam yang unggul dan superior. Jika dua makna ini dieksplorasi secara bersamaan, maka potensi pengembangan masyarakat Muslim di Indonesia baik dari sisi sosial-kemasyarakatan maupun dari sisi ekonomi dan perbaikan Sumber Daya Manusia akan lebih optimal. Yang pasti, para pemimpin agama, da’i serta pejabat negara tidak perlu ragu-ragu lagi untuk menyeru umat Islam Indonesia untuk lebih giat dan lebih profesional bekerja demi menyongsong tittle ummah wasaṭ, karena dalil filologis dan teologisnya ada dalam khazanah intelektual tafsir milik umat Islam sendiri.

How to cite this Article: Mu’ammar Zayn Qadafy, “Ummah Wasaṭ dalam Kitab-Kitab Tafsir Era Pertengahan: Refleksi Moderasi Beragama”, studitafsir.com (blog), 7 November, 2024 (+ URL dan tanggal akses)

Artikel ini adalag versi lebih sederhana dari:  2022, Menelusuri Makna Ummah Wasat dalam Kitab-Kitab Tafsir Era Pertengahan (Tracing the meanings of Ummah Wasat in the Medieval tafsir Literature) in (ed.) Fahd Pahdepie dkk, Indonesia butuh Islam Tengah, AI Publisher, Jakarta: 2022. https://www.academia.edu/92662796/Problem_Pemaknaan_Islam_Wasathiyyah_Menulusuri_Makna_Kata_Wasat_dalam_Kitab_Kitab_Tafsir_Era_Pertengahan

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 30

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Unknown