Kolom #28

Oleh: Mu’ammar Zayn Qadafy

 

Kritik Syamil Basayif

Dalam reviewnya tentang artikel saya berjudul “Just a Philomath, not a Polymath”, Syamil Basayif melontarkan beberapa catatan yang menarik. Basayif menyebut kritik saya tentang fenomena academic echolalia hanya cocok untuk kajian berbasis teks, dan tidak untuk kajian-kajian berbasis kajian lapangan. Terus terang, saya tidak menduga kesan ini akan muncul, mengingat Basayif sudah sangat tepat memotret bagian penting dari apa yang saya pikirkan: bahwa saya tidak mempermasalahkan (bahkan mendorong) akademisi al-Qur’an dan Tafsir untuk membaca dan mempelajari ilmu-ilmu sosial, dengan catatan ia benar-benar membaca dan tidak terjebak pada jargon-jargon dan teori-teori tertentu yang elementer. Ia menulis: “keberatan Qadafy yang sesungguhnya bukan poin pelibatan tersebut, melainkan ketika porsi pembahasan teori-teori di atas (sebagai obyek formal) justru melebihi porsi pembahasan obyek material yang dikaji”. Basayif dengan tepat membedakan antara “terinspirasi” dan “mengadopsi”. Bagi saya, pada kajian teks maupun kajian lapangan dalam riset-riset IAT, berlaku kemungkinan adanya “academic echolalia“, sebuah kondisi di mana seorang peneliti dengan latah mengikuti trend penggunaan teori-teori yang serampangan atas nama integrasi-interkoneksi.

Filologi: Raja yang Kehilangan Tahtanya

Pun demikian, keresahan Basayif mengenai masa depan studi teks perlu disikapi secara serius. Saya akan memulai dengan menjelaskan apa yang sering saya maksud dengan “old-fashion German philology“, baru kemudian menakar sejauh mana serta seberapa lama “urgensi kajian teks sejarah” yang diusung oleh genre ini bisa dipertahankan, di era sekarang. Penjelasan saya di bagian ini sekaligus merupakan ulasan singkat atas buku James Turner (Notre Dame) berjudul Philology: The Forgotten Origins of the Modern Humanities. 

Filologi mulai diperkenalkan sebagai cabang dari humaniora modern secara sistematis pada abad ke-19 sebagai “Studi yang komprehensif tentang teks, bahasa, dan fenomena kebahasaan“, mencakup tiga mode penelitian yang berbeda: (1) teks (termasuk Alkitab, sastra oriental berbahasa Sanskerta dan Arab, serta tulisan-tulisan Eropa abad pertengahan); (2) teori tentang asal-usul dan sifat bahasa; dan (3) studi perbandingan tentang struktur dan evolusi historis bahasa-bahasa dunia.

Terdapat masa di mana filologi berkuasa sebagai raja ilmu pengetahuan lewat peran universitas-universitas besar awal, yang berkembang di Jerman pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Filologi ala Jerman ini lantas menginspirasi studi-studi humaniora terkemuka di Amerika Serikat dan Britania Raya pada masa-masa setelahnya. Di tangan nama-nama besar seperti Wilhem von Humboldt (1767-1824) dan Frederick Max Müller (1823-1900), filologi tidak sekedar studi teks kuno, melainkan juga eksplorasi historis-komparatif atas apa-apa yang terjadi di dunia ini, sebagaimana yang direkam oleh teks-teks rumit yang mengiringi berlangsungnya setiap fase sejarah. Penjelajahannya mencakup agama Israel kuno, lagu-lagu penyair abad pertengahan, bahasa-bahasa suku Indian Amerika, peradaban Arab dan Islam, hingga teori-teori liar tentang asal-usul bahasa itu sendiri.

Semua cabang filologi ini menggunakan metodologi penelitian khas yang membedakan mereka dari model pengetahuan ilmu kealaman Newtonian abad ke-19 yang berangkat dari prinsip mekanistik, kuantitatif, dan universal: dunia dipahami sebagai sistem yang tunduk pada hukum-hukum tetap dan dapat diukur secara objektif. Dalam paradigma Newtonian, pengetahuan idealnya bersifat bebas nilai (value-free), objektif, dan dapat direplikasi. Sebaliknya, filologi menempuh jalan yang sangat berbeda. Ia tidak mencari hukum-hukum universal, melainkan berusaha memahami keunikan, konteks, dan sejarah dari teks, bahasa, dan kebudayaan manusia. Jika ilmu alam meneliti fenomena yang dapat diulang (repeatable phenomena), filologi meneliti sesuatu yang unik dan tak terulang. Metodologinya bersifat hermeneutik dan historis, berupaya menyingkap makna dengan cara menelusuri asal-usul kata, perubahan bentuk bahasa, konteks pengarang, dan tradisi penyalinan naskah.

Ketegangan keduanya, misalnya nampak dalam pengantar Truth and Method karya Gadamer (1900-2002) berikut:

“The following investigations start with the resistance in modern science itself to the universal claim of scientific method. They are concerned to seek the experience of truth that transcends the domain of scientific method wherever that experience is to be found, and to inquire into its legitimacy. Hence the human sciences are connected to modes of experience that lie outside science: with the experiences of philosophy, of art, and of history itself. These are all modes of experience in which a truth is communicated that cannot be verified by the methodological means proper to science”.

“Penyelidikan-penyelidikan (dalam buku) ini dimulai dari perlawanan dalam sains modern itu sendiri terhadap klaim universal metode ilmiah. Penyelidikan ini berupaya menemukan pengalaman tentang kebenaran yang melampaui wilayah metode ilmiah, di mana pun pengalaman itu dapat ditemukan, dan menyelidiki keabsahannya. Oleh karena itu, ilmu-ilmu kemanusiaan memiliki keterkaitan dengan bentuk-bentuk pengalaman yang berada di luar sains: pengalaman filsafat, seni, dan sejarah itu sendiri. Semua bentuk pengalaman ini merupakan cara-cara di mana kebenaran disampaikan, namun tidak dapat diverifikasi melalui cara-cara metodologis yang menjadi ciri khas sains.”

Dunia Islam jelas sudah mengenal filologi jauh lebih dulu dan lebih mapan dari apa yang belakangan berkembang pesat di Jerman, Eropa dan Amerika. Sejak masa klasik Islam, para ulama telah mempraktikkan metode filologis dalam berbagai cabang ilmu, tak terkecuali dalam studi Al-Qur’an dan tafsir. Kajian terhadap manuskrip (makhṭūṭāt) dalam dunia Islam mencerminkan tradisi filologi yang matang. Para sarjana Muslim tidak hanya menyalin teks, tetapi juga menulis taḥqīq, sharḥ, dan ḥāshiyah. Ketiganya merupakan bentuk-bentuk kritik teks yang berupaya mempreservasi tradisi dan menafsirkan ulang maksud pengarang.

Sedemikian digdayanya filologi kala itu, menjadikan para pengusungnya kalang kabut terheran-heran, ketika mendapati bahwa di ujung abad ke-19 (hingga sekarang) filologi dipandang rendah, dihinakan, disalahgunakan, dan ditertawakan sebagai simbol pengetahuan akademis yang kaku, kering seperti debu, mandul, dan pada umumnya tidak berguna sekaligus membosankan (ini adalah pernyataan hiperbolis dari Turner).

Cukup Sudah „Mempelajari Masa Lalu Untuk Bekal masa Depan“

Dalam studi tafsir, ada dilema yang menghantui para sejarawan: di satu sisi, mereka meyakini bahwa penelitian yang mendalam menghajatkan kebulatan tekad untuk mendekati kitab-kitab tafsir semata sebagai rekaman dialog antara para mufassir dengan al-Qur’an. Di sisi lain, godaan untuk mengambil nilai dan pelajaran dari figuritas dan peristiwa sejarah yang dipelajari teramat besar, hingga sulit dikendalikan. Konsep „Mempelajari Masa Lalu Untuk Bekal masa Depan“ pada dasarnya berakar kuat dengan cara berpikir Newtonian, yang menempatkan waktu secara linear dan tunduk pada hukum sebab-akibat yang universal. Dalam kerangka berpikir ini, sejarah diposisikan sebagai gudang hikmah yang dapat dipelajari polanya dan didaur ulang kemudian, sesuai dengan konteks kekinian.

Linearitas antara masa lalu dan masa sekarang ini sudah sejak awal didengungkan oleh para sejarawan. E.H. Carr (1892-1982) yang buku klasiknya, What is History? menjadi teks wajib di banyak fakultas sejarah dunia, pernah mengatakan “the function of the historian is neither to love the past nor to emancipate himself from the past, but to master and understand it as the key to understanding of the present”. Dalam tradisi studitafsir (dan studi atas teks-teks klasik keislaman), ide Carr ini lekat dengan apa yang disebut dengan hermeneutics of continuity, sebuah paham yang menegaskan bahwa makna masa lalu tidak pernah benar-benar usai, melainkan terus berinteraksi dengan realitas kekinian.

Paradigma sejarah Carr yang menekankan fungsi masa lalu sebagai kunci memahami masa kini tidak luput dari kritik. Geoffrey Elton, dalam The Practice of History (1967), menganggap gagasan ini terlalu instrumentalis. Bagi Elton, sejarah bukanlah sekadar dialog dengan masa kini, melainkan rekonstruksi obyektif terhadap apa yang sungguh-sungguh terjadi. Reduksi sejarah menjadi alat untuk kepentingan kekinian berisiko menyingkirkan nilai intrinsik sejarah sebagai ilmu. Kritik lebih tajam datang dari kalangan postmodernis, khususnya Keith Jenkins dalam Re-thinking History (1991). Jenkins menolak klaim Carr bahwa masa lalu bisa “dikuasai,” karena menurutnya masa lalu tidak pernah hadir kembali karena yang bisa dinikmati hanyalah representasi sejarah melalui tulisan para sejarawan. Selain itu, Carr juga dituduh menyederhanakan kompleksitas historiografi dan mengabaikan dimensi literer yang membentuk narasi sejarah.

Motivasi untuk mempelajari masa lalu demi bekal masa depan berpotensi mereduksi hakikat sejarah menjadi sekadar instrumen. Sejarah dalam pandangan ini tidak dipahami sebagai bidang pengetahuan yang penting pada dirinya sendiri, melainkan hanya dianggap berguna sejauh ia bisa melayani tujuan praktis di kemudian hari. Akibatnya, nilai intrinsik dari kajian sejarah, yakni pemahaman kritis terhadap pengalaman manusia, perubahan sosial, dan dinamika budaya, sering kali diabaikan. Dengan menempatkan sejarah hanya sebagai waṣīlah (perantara), diskursus ini cenderung mengabaikan kenyataan bahwa sejarah memiliki otonomi epistemologis. Ia bukan sekadar alat, tetapi juga ruang refleksi, arena kritik, dan medan dialog antargenerasi. Pandangan instrumental membuat kajian sejarah rawan diperlakukan sekadar kumpulan pelajaran moral atau slogan inspiratif, bukan disiplin yang menuntut metodologi kritis dan pembacaan yang cermat terhadap sumber-sumber primer sejarah yang tersedia.

Sifat Alami Studi Tafsir: Deskriptif-Historis

Sebagai kontra-narasi dari apa yang saya paparkan di atas, patut dipertanyakan, bagaimana jika kitab-kitab tafsir (dan turath secara umum) tidak dipandang sebagai “gudang jawaban” atas problem kontemporer, melainkan sebagai kisah klasik yang otonom dan “penting” dalam dirinya sendiri. Tujuan akhir membaca kitab-kitab tafsir adalah mengetahui dan mengungkap kesejarahannya. Bahwa hasil bacaan, pengetahuan dan pengungkapan tersebut pada akhirnya mempengaruhi cara berpikir orang yang melakukan kajian dan orang-orang di sekitarnya, itu persoalan lain.

Sejarah intelektual Islam, baik tafsir, fikih, maupun kalam, perlu diteliti sebagai jaringan panjang pergulatan gagasan yang hidup dan “seru”. Ketika membaca turath, yang hendak diungkap bukan semata otoritas teks, melainkan dinamika intelektual yang membentuk perjalanan tradisi keilmuan Islam dari masa ke masa. Pembaca teks turath musti berani mengakui keterbatasan tradisi yang dia baca. Sejarah tafsir, misalnya, memperlihatkan bahwa setiap mufassir bekerja dalam konteks sosial-budaya tertentu dan menghasilkan pemahaman yang berlapis-lapis.

Jika ada yang bertanya, apa kegunaan kajian turath, jika ia diarahkan pada kajian yang deskriptif-historis dan hanya bisa „dinikmati“ segelintir orang saja?. Adalah Reinhart Koselleck (1923-2006), seorang sejarawan Jerman, dalam Futures Past, mengajukan dua kategori primer dari hal-hal di balik sejarah: space of experience (ruang pengalaman) dan horizon of expectation (cakrawala harapan). Baginya, sejarah tidak dapat dipahami hanya sebagai akumulasi masa lalu, atau sekadar proyeksi masa depan, melainkan dari ketegangan di antara keduanya. Experience adalah masa lalu yang telah dialami, disimpan, dan diwariskan, sedangkan expectation adalah orientasi pada masa depan yang belum terjadi dan selalu mengandung ketidakpastian.

Waktu historis (historical time), kata Koselleck, terbentuk justru dari interaksi tak seimbang antara pengalaman dan ekspektasi ini, di mana yang sudah terjadi dan yang diharapkan saling bertaut namun tak pernah sepenuhnya menyatu. Dengan kerangka ini, Koselleck menolak pandangan yang menundukkan sejarah semata pada fungsi utilitarian. Masa lalu tidak boleh direduksi menjadi alat pembenar masa depan, melainkan harus dipahami sebagai ruang pengalaman yang otonom. Namun, ruang pengalaman itu tetap melahirkan horizon harapan yang baru, sehingga sejarah tidak pernah berhenti pada dokumentasi peristiwa, melainkan selalu berproses membentuk arah. Relasi dialektis antara keduanya akan berlangsung sendiri secara organik.

Kerangka pandang di atas cukup menghargai posisi kitab tafsir sebagai lanskap intelektual yang sarat dinamika. Di dalamnya terdapat kompetisi otoritas, pergeseran metodologi, dan bahkan upaya-upaya eksperimentasi intelektual yang sering luput dari perhatian. Pendekatan ini membuka ruang untuk membaca tafsir sebagai arena diskusi antar-mufassir yang merekam respons sosial, politik, dan budaya dari berbagai zaman. Puncaknya, membaca kitab-kitab tafsir dalam bingkai kajian deskriptif-historis akan melepaskan imajinasi kita melampaui batasan-batasan normatif dan ideologis yang dicekokkan kepada kita secara epistemik oleh ide besar bernama “modernitas”.

How to cite this article: Muammar Zayn Qadafy, “Cukup Sudah Membuat Masa Lalu Melayani Masa Depan: Asumsi Dasar StudiTafsir (Bagian-1)”, studitafsir.com (blog), 6 Oktober 2025 (+ URL dan tanggal akses)

Share your love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *