Sejarah “Utawi iki, iku kui”

Sarjana Islam yang lahir dari rahim pesantren pasti tidak asing dengan metode membaca Kitab kuning “Utawi iki, iku kui”. Yang khas dari metode ini adalah pentingnya penguasaan terhadap unsur-unsur gramatika Bahasa Arab ketika menerjemahkan kitab tertentu ke dalam bahasa Jawa.

Penelitian Ibn Burdah terhadap sejarah pemakaian metode ini diawali dengan identifikasinya terhadap (paling tidak) empat kiyai top dalam kajian Bahasa Arab di masa mereka: K. Azhari Marzuqi (w. 2004) Kotagede, Kiyai Mustofa Bisri (1944-sekarang) Rembang, Kiyai Warson Munawwir (1934-2013) Krapyak dan Kiyai Sahal Mahfudh (1937-2014) Kajen.

Penggagas metode ini, siapapun dia, pasti memiliki kemampuan mumpuni dalam bidang bahasa Arab karena metode ini sangat kompleks. Metode ini berada di antara dua kutub ekstrem. Di satu sisi Tarjamah Tafsiriyyah terlalu bebas dalam menentukan makna sebuah kata, sementara Tarjamah Qamusiyyah terlalu kaku.

Ibn Burdah menduga, bahasa Jawa bukanlah bahasa pertama yang dipakai metode ini. Meskipun tidak memberikan alternatif pasti, Ibn Burdah mencurigai tiga bahasa lokal yang lain: Madura, Melayu atau Sunda.

Ibn Burdah tidak bisa menemukan dengan pasti siapa kreator awal dari metode ini, Ia menduga, berdasarkan data yang ia dapat dari Mustofa Bisri, penggagas metode ini adalah Syekh Nawawi Bantani (1813-1897). Syekh Nawawi menguasai dengan baik Bahasa Jawa yang merupakan bahasa ibunya dan bahasa Arab karena beliau menetap lama di Makkah dan bahkan menjadi ulama besar yang bereputasi di sana.

Meski demikian, Ibn Burdah menemukan dua hal penting: bahwa bahasa pertama yang dipakai metode ini adalah Melayu karena bahasa Melayu jauh lebih tuah dari bahasa Jawa.

Temuan Ibn Burdah kedua adalah bahwa metode ini telah ada sejak abad ke 17 Masehi (sekitar tahun 1676). Karya ulama nusantara paling awal yang terdeteksi memakai metode ini adalah kitab “Zubadat al-Asrar” karya Yusuf al-Makassari.

Yang menjadi ciri khas metode ini keseriusannya dalam mengelaborasi grammar Bahasa Arab. Jika dilihat dari kaca mata “penerjemahan sebagai aktifitas aktif alih pengalih-bahasaan suatu materi ke bahasa lain”, maka metode terjemah makna gandul ini hampir tidak melibatkan sama sekali “rasionalitas” penerjamahnya. Artinya, bahasa lokal sebagai target dipaksa sedemikian rupa untuk mengakomodasi setiap detil dari Bahasa Arab.

How to cite this Article: Muammar Zayn Qadafy, “Sejarah “Utawi iki, iku kui”, studitafsir.com (blog), Desember 11, 2020 (+ URL dan tanggal akses)

Detil Artikel yang diringkas: Ibn Burdah, طريقة الترجمة الوظيفية المعجمية المعلقة (حضور عام و البحث التاريخي عنها

Untuk request artikel, Silahkan tinggalkan pesan dan email.

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 80

6 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  1. Assaalaamu alaikum Wr. Wb
    Saya minta ijin u/ meminta lebih lanjut artikel mengenai sejarah utawi iki iku kui tersebut.
    Terima kasih

  2. Assalaamu alaikum Wr. Wb
    Saya minta ijin ingin meminta lebih lanjut artikel mengenai sejarah utawi iki iku kui tersebut 🙏🙏
    Terima kasih.

Unknown