Mencari Sejarah Alternatif: Reviu Diskusi Tafsir Mingguan di LSQH, UIN Jogja (1)
Oleh: Ayub
Mukaddimah
Genre tabaqat al-mufassirin mungkin saja sudah tua, tapi di Dunia Arab sampai saat ini, ada satu buku sejarah tafsir yang terlalu dominan, yakni at-Tafsir wa al-mufassirun-nya Muḥammad Ḥusayn ad-Dhahabī. Paper Mu’ammar Zayn Qadafy yang baru-baru ini mendapatkan hadiah paper terbaik di UIII, mengasumsikan popularitas yang sama dalam konteks Studi sejarah tafsir di Indonesia. Meski tidak secar alangsung, karya-karya al-Dhahabī masuk melalui tokoh-tokoh studi al-Qur’an dan tafsir kawakan seperti Nashruddin Baidan.
Lalu apa kaitannya dengan at-Tafsīr wa Rijāluhu ? Menurut Abdul Jalil, kitab ini merupakan karya sejarah tafsir yang tidak sekedar ensiklopedik atau deskriptif, tapi analitik. Dengan kata lain, kitab sejarah anggitan Ibn ʿAshūr ini menawarkan narasi hitoriografi “tandingan” atas karya ad-Dhahabī. Akarnya, menurut Walid Saleh, adalah kuatnya pengaruh salafi outlook ala Ibn Taymiyyah di al-Dhahabī, dan sterilnya pengaruh itu pada karya Ibn ʿAshūr. Walid Saleh bahkan menawarkan analisis-analisis historis Ibn Asyur untuk menutupi lacuna tertentu pada historografi tafsir ala sarjana Barat.
Kiranya argumen ini cukup untuk menjadi alasan perlunya kajian mendalam atas at-Tafsīr wa Rijāluh. Sejak 6 Juli 2022, Lingkar Studi Qur’an Hadith, Jurusan IAT, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mengadakan pengajian dan pengkajian rutin (setiap rabu, jam 10.00-12.00, live di facebook LSQH) atas al-Tafsīr wa Rijāluhu karya Muḥammad al-Fādhil Ibn ʿAshūr, dan diasuh oleh Dr. Abdul Jalil, M.S.I. dan Drs. Muhammad Mansur, M.Ag. Reviu ini adalah ulasan pertama mengenai jalannya diskusi di forum tersebut.
Letak Makna al-Qur’an
Mengikuti W. C. Smith, sebagian sejarawan Qur’an mungkin meletakan makna al-Qur’an bukan pada kitab suci itu sendiri, tapi pada diri (minds and hearts) Muslim sebagai penerimanya. Dengan demikian, sejarah umat Islam serta tradisi tafsirnya adalah sejarah para pembuat-buat makna. Ibn ʿAshūr berangkat dari titik yang berkebalikan. Di halaman-halaman awal bukunya ia menegaskan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan makna inheren yang jelas. Cukup jelas untuk tidak hanya dipahami oleh mereka yang menerima kerasulan Muhammad saw, tapi juga oleh para penentangnya. Kemampuan kedua pihak untuk memahami makna al-Qur’an itulah yang menurut Ibn ʿAshūr menjadi, “pondasi (al-ashlu) dari dinamika yang membentuk umat pengikut Muhammad serta kelahiran sejarah Islam” (Ibn ʿAshūr: 1997, p. 10).
Kunci untuk sampai kepada makna tersebut, menurut Ibn ʿAshūr, adalah penguasaan terhadap kalam orang Arab. Sebab al-Qur’an adalah “kalām mafhūm” bagi orang-orang Arab. Jadi, penentangan dan pembelaan terhadap al-Qur’an pada masa awal Islam muncul sebab semua pihak yang terlibat memahami isi kitab wahyu tersebut. Seperti yang kita ketahui, pertentangan ini dimenangkan oleh mereka yang mengimaninya. Merekalah yang kemudian mewariskan al-Qur’an lengkap dengan prinsip penting tentang makna ini.
Ibn ʿAshūr bahkan menyatakan telah ada ijma’ umat Islam bahwa setiap lafaz al-Qur’an mengandung makna ifrādī (ketika berdiri sendiri) dan tarkībī (dalam susunan kalimat). Tidak ada naṣṣ yang tidak bermakna, begitu pula tidak ada satupun naṣṣ di dalamnya yang maknanya hanya dipahami secara eksklusif (tawqīfī) dari orang tertentu saja. al-Qur’an memiliki makna yang jelas yang dapat diturunkan dari kaidah sintaksis bahasa Arab (bal inna kulla mā fīhi yadullu ʿalā maʿānin ẓāhirah, dalālatuhu ‘alayhā bi-ḥasab al-waḍ’ al-lughawī al-ʿarabī). (p. 11)
Penegasan ini bukan saja menempatkan Ibn ʿAshūr berada di titik seberang sarjana moderen yang menafikan makna inheren teks al-Qur’an. Bagian inilah yang membuat Saleh menyebut Ibn ʿAshūr sebagai sejarawan “partisan”, ia secara jelas menempatkan diri sebagai sejarawan dengan perspektif arus utama Sunnisme (Ashʿariyyah). Memang, Ibn ʿAshūr kemudian menjelaskan bahwa dalam perkembangannya, muncul kelompok-kelompok pemikiran yang menyeleweng dari prinsip di atas. Kalangan Hasyawiyyah misalnya, mereka menyatakan bahwa al-Qur’an memang memiliki makna, tapi ada lafaz-lafaz tertentu yang mereka tidak pahami.
Lebih ekstrim dari Hasyawiyyah, yang oleh Ibn Asyur masih ditegaskan keislamannya, adalah kalangan Bāṭīniyyah. Kelompok ini “merampok” otoritas penentu makna dari bahasa ke isyarat-isyarat yang hanya diketahui secara eksklusif dari para imam maksum. Posisi ini, menurut Ibn Asyur, bahkan bisa membawa kepada kekafiran dan secara epistemologis setara dengan kaum Lā Adriyah (agnostisisme), salah satu varian Sofis. Sebagai catatan, Saleh menganggap penegasan ini juga mengeksklusi tafsir Sufi.
Untuk Apa ada Tafsir?
Penegasan bahwa al-Qur’an adalah sebuah kitab yang dapat dipahami, sebuah public text, tentu menimbulkan pertanyaan penting: lalu untuk apa ada tafsir? Ibn ʿAshūr tampaknya menyadari betul konsekuensi ini. Itulah sebabnya, ia menegaskan bahwa pada dasarya, al-Qur’an tidak butuh tafsir (laysa bi muḥtāj ilā tafsīr iḥtiyājan ashliyyan). Tafsir adalah tradisi yang tumbuh dari keharusan-keharusan sejarah (iḥtiyāj ʿarīdah). Ia menyebutkan dua kenyataan sejarah yang mengharuskan hadirnya tradisi tafsir. Disebut demikian sebab dua kenyataan itu pulalah yang melahirkan dua komponen penting tafsir periode awal.
Sebab pertama, muncul dari problem perbedaan kronologi turunnya wahyu dengan kronologi penulisan al-Qur’an dalam mushaf. Telah mafhum bahwa al-Qur’an tidak diwahyukan sekaligus, Ia turun berangsur-angsur selama lebih dari dua dekade. Kronologi turunnya pun tidak selalui sesuai dengan penyusunnannya sekarang, yang dibuat berdasarkan urutan yang bersifat ta’abbudī (kronologi dalam mushaf). Ibn ʿAshūr melihat kedua kronologi ini sebagai saling melengkapi, sebab keduanya berdasarkan wahyu. Dari perspektif tafsir, kronologi pertama membantu kita memahami konteks ruang-waktunya (zhuruf) dan kronologi kedua membantu kita memahami kesinambungan tema dan keterkaitan sintaksisnya. Keduanya merupakan dasar penting pemahaman yang tepat sesuai muqtada al-ḥāl, mengayakan makna dengan dalālāt as-siyāq.
Maka, baik tartīb nuzūlī maupun taʿabbudī itu merupakan bagian dari aspek i’jāz al-Qur’ān. Namun tartīb nuzūlī bersifat temporal (muʾaqqat) yang hanya bisa dihayati oleh mereka yang mengalaminya secara langsung. Sedangkan tartīb kedua tetap abadi dan ia dapat dipahami oleh setiap generasi yang membacanya (jika mereka memahami kalam Arab). Itulah sebabnya, selepas generasi pertama umat Muhammad saw berlalu, dalam rangka memahami al-Qur’an muncul kebutuhan untuk mengumpulkan riwayat-riwayat yang menjelaskan peristiwa di sekitar turunnya ayat atau kumpulan ayat tertentu. Inilah yang kemudian menjadi unsur pertama tafsir era awal; apa yang kemudian berkembang menjadi asbāb al-nuzūl.
Ibn ʿAshūr menyebutkan tiga prinsip terkait asbāb al-nuzūl. Pertama, tentu penyebutan asbāb itu tidak hakiki. Al-Qur’an bukan produk peristiwa sejarah. Oleh karena itu, dan ini prinsip keduanya, apa yang dipahami dari riwayat asbāb al-nuzūl tidak boleh digunakan untuk menyempitkan makna al-Qur’an pada peristiwa tersebut. Di sini Ibn ʿAshūr menyitir kaidah ushul fiqh yang masyhur itu: al-‘ibrah bi ʿumūm al-lafdz lā bi khuṣūṣ al-sabab. Prinsip ini terkait dengan penekannnya soal letak makna al-Qur’an tadi. Setiap lafaz memiliki dalālah dzatiyyah, petunjuk ke arah makna inherennya. Dalālah ini tidak dipengaruhi oleh konteks di sekitar turunnya wahyu.
Dr. Abdul Jalil sebagai pensyarah menunjukan bahwa di sini, Ibn ʿAshūr sejalan dengan Ibn Taymiyyah, yang menegaskan bahwa pengetahuan tentang asbāb al-nuzūl hanya sebagai pembantu dalam tafsir, istiʿānah faqath. Hal ini berbeda dari prinsip al-Wāḥidī yang menyatakan al-Qur’an tidak mungkin dipahami tanpa mengetahui asbāb al-nuzūl. Dalam analisisnya yang menempatkan Ibn ʿAshūr di kubu berbeda dari al-Dhahabī sebagai pewaris paradigma Taymiyyan, Walid Saleh tampaknya tidak memperhatikan hal ini.
Sebab kedua terkait dengan penegasan Ibn ʿAshūr bahwa makna al-Qur’an bisa dipahami dengan memahami kalam orang Arab yang praktiknya tidak mudah. Makna yang kita dapati dari susunan ayat atau kata dalam al-Qur’an terkadang masuk di wilayah makna mujmal, mubham, muthlaq. Jenis-jenis lafaz ini memerlukan penjelasan tambahan untuk memahami maksud yang diinginkan. Ibn ʿAshūr menyatakan bawha hal ini adalah sesuatu yang umum pada bahasa. Dalam komentarnya terhadap sebab kedua ini, Saleh tampaknya mengkhususkannya pada bahasan hukum. Ia memaknai istilah mubham yang dipakai oleh Ibn Asyur sebagai complexity of some of the legal language of the Qur’ān (Saleh, 2011, p. 291). Wajar jika kemudian bahasan lebih berkembang soal mubham, mujmal dan fenomena serupa dielaborasi lebih jauh oleh ulama Ushul al-Fiqh.
Dari fenomena-fenomena kebahasaan ini muncul keragaman makna dari satu lafaz. Meskipun makna-makna asli bisa dipahami langsung, tapi makna yang diinginkan dalam konteks itu (al-murād) belum jelas. Pada masa Nabi, para sahabat langsung bertanya kepada Nabi. Materi-materi ini kemudian terekam di dalam riwayat yang kemudian dikumpulkan para mufassir generasi awal. Sebab seiring meluasnya khilafah, bertambah pula varian demografinya. Tidak semua umat Islam adalah orang Arab. Materi-materi inilah yang menjadi komponen kedua pembentuk tafsir di masa awalnya. Namun dibanding asbāb al-nuzūl, riwayat jenis ini sangat sedikit, sebab memang ia digunakan untuk kasus-kasus terbatas dalam al-Qur’an. Namun Ibn ʿAshūr menegaskan bahwa nilai materi jenis ini lebih penting untuk tafsir dibanding yang pertama. Asbāb al-Nuzūl, bagaimanapun, hanya membantu kita mehamai makna al-Qur’an. Sementara itu, penjelasan untuk lafaz-lafaz mubham yang langsung dari Nabi mutlak diperlukan untuk menentukan maksud ayat-ayat al-Qur’an.
Kedua komponen ini kemudian membentuk inti utama dari apa yang disebut sebagai al-Tafsir bi al-Ma’tsūr. Menurut pengamatan Saleh, konsepsi Ibn ʿAshūr tentang jenis tafsir inilah yang membuatnya berbeda dari paradigma Taymiyyan yang kini cukup dominan. Al-maʾthūr yang dikehendaki Ibn ʿAshūr bukanlah sematar-mata riwayat-riwayat yang ternisbahkan pada nabi-sahabat-tabi’in, melainkan proses kreatif di balik munculnya riwayat-riwayat itu, yang mewujud dalam bentuk asbāb atau penjelasan atas mubhamāt. Dari sini, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Ibn ʿAshūr sedang menawarkan sejarah tafsir alternatif dari apa yang selama ini dikuasai oleh para ulama’ Azhar dengan salafi outlook-nya.
How to cite this Article: Ayub, “Mencari Sejarah Alternatif: Reviu Diskusi Tafsir Mingguan di LSQH, UIN Jogja (1)”, studitafsir.com (blog), Juli, 20, 2022 (+ URL dan tanggal akses).
Terima kasih catatan dan atensinya. Tentu yang kami maksud Fādhil Ibn ʿAshūr.
artikel ini menarik!
namun, saya menemukan sedikit kejanggalan, yang akan saya luapkan dalam bentuk “saran”. misalnya, dalam poin “sebab kedua”. ini bisa dielaborasi lebih lanjut dengan mendalami teori “arabiyyah al-qur’an” nya al-Syathibi dalam “al-Muwafaqat” yang kemudian dinukil oleh Thaha Jabir al-‘Alwani dalam “lisan al-Qur’an”. sebab, dalam teorinya itu, al-Syathibi menyentil beberapa dimensi ke-Arab an al-Qur’an. dan saya kira, itu menarik untuk dipelajari.
Point menarik dan layak didiskusikan lebih lanjut mas. Bagaimana persisnya perkataan al-Alwani dalam Lisanul Quran?