“Commentaries and New Audience” sebagai Framework Kajian Sejarah Intelektual: Oleh-Oleh dari Berlin (Part 1)

Oleh: Mu’ammar Zayn Qadafy

 

Tiga hari ini (27-29 Juli), saya berkesempatan untuk menghadiri konferensi tentang sejarah intelektual Islam dengan tajuk “bridging the gap: texts, commentaries and new audience” di Humboldt Universität Zu Berlin. Sebagaimana judulnya, fokus utama dari event ini adalah untuk melihat bagaimana kitab-kitab yang diproduksi oleh para ulama terus berkembang dari masa ke masa dan terus berdialog satu dengan yang lain sampai menghasilkan banyak karya bergenre sharḥ, ḥāshiyah, dan mukhtaṣar.

Konferensi ini menantang pemikiran lama bahwa era di mana karya-karya dengan genre di atas diproduksi adalah era kemunduran Islam, karena dianggap melanggengkan tradisi pengulangan (repetition) dan duplikasi dari satu karya ke karya lain. Di dalam konferensi ini, keenam belas presentasi menggaris-bawahi kontribusi dari genre ini dalam beberapa model refleksi yang berbeda: beberapa metodologis, dan beberapa paradigmatik. Saya akan menjelaskan maksud dari dua model refleksi ini dalam tulisan lain.

Untuk sekarang, saya akan mendudukkan terlebih dahulu ide para penggagas konferensi ini (Mohammad Gharaibeh dari Berlin, Walid Saleh dari Toronto, dan Asad Ahmed dari Berkeley) pada tempatnya dan mencoba menarik relevansinya dengan perkembangan studi Islam berbasis kajian teks di Indonesia. Secara khusus, saya meyakini bahwa ide tentang menjembantani jarak antara sebuah karya dan karya lain yang mengikutinya (termasuk konteks audiens saat dua jenis karya ini dibuat) adalah sebuah pendekatan yang fresh dan sangat bisa direplika untuk kemajuan kajian serupa di tanah air, karena satu alasan yang pasti: Framework ini kompleks, dan itu membuatnya “sangat menarik.

Banyak referensi yang bisa diketengahkan untuk argumen ini, di antaranya adalah buku-buku Jan Assmann (lahir 1938), seorang akademisi Jerman yang beberapa kali menelurkan buku tentang hubungan antara tradisi menulis (writing) dengan mengingat (memory) dan antara kanonisasi dan sensorisasi karya tulis.

Mengenai genre ḥāshiyah, baik dalam tradisi penulisan karya tafsir, hadith, fiqh, Ushul Fiqh, Akhlaq, hingga filsafat Islam, hal pertama yang seorang peneliti harus ungkap adalah aspek-aspek baru yang disuguhkan oleh penulis ḥāshiyah atas kitab yang dia jadikan bahan dasar (base text). Tindak lanjut (Nachträglichkeiten) dari teks dasar kadang mudah diidentifikasi, kadang tidak. Dan di situlah letak keseruan dari penelusuran novelty ini, yang akan merubah kebiasaan para peneliti untuk menyebut secara general, bahwa kitab tertentu mempengaruhi kitab lain, atau bahwa kitab tertentu menjadikan kitab lain sebagai “sumber” primernya. Kegelisahan ini pernah saya singgung dalam video berikut.

Tentu saja, penelusuran tentang hal ini bisa diawali dengan membaca klaim dari penulis ḥāshiyah dalam pengantar (muqaddimah) bukunya. Itu hal yang mudah. Yang sulit adalah membuktikan klaim penulis itu dengan secara cermat membuka lembar per lembar halaman bukunya. Ceritanya tidak akan selesai setelah kesesuaian antara muqaddimah dan konten kitab bisa ditemukan. Tantangan selanjutnya adalah menjelaskan, mengapa sang penulis memilih format tertentu untuk menulis ḥāshiyah-nya? seberapa pedas kritiknya atau seberapa akomodatif penerimaannya terhadap karya yang ia respon?. Penjelasan dari pertanyaan-pertanyaan sederhana ini bisa menghasilkan satu artikel, satu skripsi, satu thesis, bahkan satu disertasi.

Juga tidak boleh dilupakan bahwa biasanya karya yang direspon adalah karya yang telah menjadi “kanon” yang “suci” (sacrosanct). Artinya, karya ini sangat penting dan dikarang oleh seorang penulis yang otoritatif. Posisi kanonik ini tidak bisa diukur hanya dari konten karyanya saja, karena penting dan tidak penting sebuah karya hanya bisa ditakar dari tingkat penerimaan para pembaca atasnya. Dengan kata lain, sentralitas karya adalah konstruksi sosial.

Kesadaran seperti ini, mau tidak mau memaksa peneliti karya dalam tradisi literatur Islam untuk mencari tahu bagaimana worldview masyarakat di sekitar kemunculan teks. Salah satu makalah yang dipresentasikan kemarin (27 Juli) misalnya, secara spesifik melihat bagaimana genre al-Jawāmiʿ yang biasanya dikaitkan dengan corpus-corpus hadith juga dikembangkan untuk mempermudah siswa-siswa madrasah memvisualisasikan penjelasan-penjelasan yang rumit tentang astronomi ke dalam gambar-gambar yang mudah diingat.

Saya membayangkan, jika framework ini dipakai untuk membaca beberapa kitab Nawawi al-Bantanī (w. 1314-1897), sang maha guru yang sering kita banggakan itu. al-Bantanī menulis Naṣāʾiḥ al-ʿibād yang adalah sharḥ dari al-Munabbihāt karya Ibn Ḥajar al-ʿAsqallānī (w. 853/1449), menulis Marāqī al-ʾUbūdiyyah sebagai sharḥ dari bidāyah al-hidāyah karya al-Ghazalī (w. 505/1111), menulis Nūr al-Ẓalām sebagai sharḥ dari ʿAqīdah al-ʿAwwām karya al-Marzūqī (w. 321/933), menulis Mirqāh ṣuʿūd al-Taṣdīq sebagai sharḥ dari Sullam al-Tawfīq karya Ibn Ṭāhir al-Ḥadhramī, serta menulis kāshifah al-Sajā sebagai Ṣarḥ dari safīnah al-Najā karya Sālim Ibn Samīr al-Ḥadhramī.

Bahwa al-Bantanī adalah penulis prolifik yang tahu banyak hal dan menjadi imam besar di Ḥijāz adalah pengetahuan umum yang semua dari kita sudah pasti tahu. Tetapi posisinya sebagai pakar pembuat sharḥ, saya pikir belum mendapatkan perhatian yang ia pantas dapatkan. Untuk siapa dan untuk tujuan apa sharḥ-sarḥ itu dibuat? dalam kondisi bagaimana masing-masing dari karya itu muncul? serta bagaimana posisi sharḥ yang al-Bantanī buat dalam kesarjanaannya secara umum?. Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang menantang dan menunggu jawaban.

Jika belum cukup tajam, keingintahuan akademik ini bisa juga diarahkan pada kondisi pedagogis yang al-Bantanī alami. Apakah ada murid tertentu yang ia sasar? ataukah ada rival tertentu yang kepadanya al-Bantanī ingin membuktikan sesuatu? bagaimana ulama’ di masanya bereaksi terhadap karya-karya sharḥ-nya? apakah ada sejenis dukungan khusus dari institusi tertentu atas gerakan pengarus-utamaan sharḥ yang ia lakukan? apakah kitab-kitab yang al-Bantanī buatkan sharḥ untuknya juga di-sharḥ-i oleh ulama’ lain? jika iya, apa yang membuat sharḥ versi al-Bantanī berbeda dengan sharḥ-sharḥ lain?. Saya pikir, daftar pertanyaan ini masih akan terus berlanjut, jika kajian yang serius telah dilakukan.

Di sisi lain, pengembangan framework “Commentaries and New Audience” ini juga bisa menjadi aktualisasi konkrit dari apa yang belakangan kita sering dengungkan dalam studi tafsir, mengenai materi-materinya yang genealogis. Faktanya, tradisi tafsir bukanlah satu-satunya tradisi yang bersifat genealogis. Semua materi-materi dalam khazanah Islam tradisional adalah genealogis, dalam arti bahwa kemunculannya dalam sebuah karya selalu berkait kelindan dengan kemunculannya di karya lain. Di titik tertentu, bahkan lalu-lalang sebuah materi dari satu genre ke genre yang lain adalah hal yang sangat wajar.

Ringkasnya, saya yakin selama ini kita sudah tahu bahwa kaitan antara sebuah karya dengan audience yang ia hadapi adalah sesuatu yang riil. Tetapi apakah kaitan tersebut bisa secara teknis dianggap sebagai sebuah framework yang secara akademik bermanfaat dan bisa menghasilkan narasi sejarah yang ciamik, saya belum yakin semua dari kita paham.

Saya ingin mengakhiri catatan pertama tentang konferensi di Berlin ini dengan mengatakan: daripada susah-susah mencari teori-teori tertentu dari cabang ilmu humaniora untuk diimplementasikan ke dalam studi teks Islam (baik klasik maupun modern), yang sering dipaksakan kompatibilitasnya, mengapa tidak mempertajam pemahaman kita tentang “commentaries and new audience” ini saja. Itu, saya pikir, sudah sangat memadai dan sangat relevan.

How to cite this Article: Mu’ammar Zayn Qadafy “”Commentaries and New Audience” sebagai Framework Kajian Sejarah Intelektual: Oleh-Oleh dari Berlin (Part 1)”, studitafsir.com (blog), Juni 28, 2023 (+ URL dan tanggal akses)

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 20

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Unknown