Dalam Tradisi, Sukidi Membuang Makna al-Quran
Oleh: Fadhli Lukman
“Pembaruan Islam itu Kembali ke Tradisi, Bukan Langsung ke Al-Qur’an!”
Demikian tertulis dalam sebuah meme di akun instagram ibtimes.id. Pernyataan tersebut berasal dari Sukidi Mulyadi, seorang doktor studi Islam jebolan Harvard University. Disertasinya dipertahankan di depan tiga “towering figures”, untuk menggunakan istilah dari Ulil Abshar Abdallah, dalam studi Islam di Barat, yaitu William A. Graham, Roy Muttahedeh, dan Ali Asani. Ada banyak doktor asal Indonesia yang mengenyam pendidikan Islamic Studies di Barat, paling tidak sejak paruh kedua abad kedua puluh. Akan tetapi, Harvard tentu punya gaungnya sendiri.
Imaji sebagai doktor lulusan salah satu kampus top di dunia tentu saja bukanlah satu-satunya hal yang menjadi magnet bagi Sukidi. Gagasan-gagasan yang ia sampaikan juga demikian. Kutipan pembukaan tulisan ini hanyalah salah satunya. Yang lainnya—yang sepertinya menjadi landasan untuk kutipan di awal dan yang menurut Ulil Abshar Abdallah adalah interpretasi yang radikal mengenai wahyu—adalah sebuah tesis yang berulang kali ia tekankan bahwa tidak ada inherent meaning dalam Al-Qur’an.
Tulisan ini hendak mendiskusikan petikan gagasan dari Sukidi. Pertama sekali, saya mendengar ceramah Sukidi dalam kuliah umum di pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakata yang berudul “Arah Baru Pembaruan Islam”. Penelusuran saya berlanjut ke ceramah lainnya yang dipublikasikan di akun Youtube Caknurian Urban Sufism yang diberi judul provokatif: “Adakah Makna Dalam Teks Alquran?”. Untuk memperdalam pemahaman mengenai gagasannya itu, kemudian, saya juga membaca disertasinya The Gradual Qurʾān: Views of Early Muslim Commentators. Tiga sumber ini adalah materi utama saya dalam tulisan ini.
Sebagaimana disebut di atas, Sukidi berpandangan bahwa tidak ada makna dalam teks Al-Qur’an. Tuhan tidak mewahyukan makna. Yang diwahyukan Tuhan adalah semata lafaz. Makna, pada sisi lain, diproduksi dan dibentuk oleh mufasir. Makna baru muncul dari interaksi antara Al-Qur’an dengan pembacanya atau para mufasir.
Untuk mendukung tesis ini, Sukidi berargumen dengan keragaman makna yang dihadirkan oleh tradisi tafsir atas kosa kata Al-Qur’an. Ada banyak contoh yang ia kemukakan, tapi mari kita perhatikan salah satunya saja: Wa qurʾānan faraqnāhu. Ada dua pembacaan atas kata f-r-q. Pembacaan pertama adalah faraqnā, artinya Kami jadikan (ia; Alquran) jelas. Pembacaan kedua adalah farraqnā, yang berarti Kami jadikan (ia: Alquran) terpisah-pisah. Dengan demikian, ada dua makna di sini. Menurut Sukidi, kedua makna ini adalah implikasi dari pilihan pembacaan mufasir. Bersama contoh-contoh lain yang serupa, ia kemudian menyimpulkan bahwa makna diproduksi oleh mufasir. Ia menyatakan, dan saya transkripsikan sebagai kutipan langsung, “makna dalam Qur’an itu bukan produk Tuhan, itu produk mufasir.”
Hingga batas tertentu, kita bisa menelusuri genealogi gagasan Sukidi ini dalam disertasinya. Disertasi tersebut membahas tema the gradual Qur’an—konsep yang menjelaskan bahwa Alquran diwahyukan secara berangsur-angsur—dalam pandangan tafsir klasik. Ia menggunakan kerangka berpikir yang dicetuskan oleh Wilfred Cantwell Smith dan muridnya William A. Graham (supervisor Sukidi) yang menggarisbawahi hubungan relasional antara kitab suci dan komunitasnya. Kerangka berpikir ini menggarisbawahi bahwa sebuah kitab suci menjadi suci dalam konteks penerimanya, not in and of itself. Sesuatu disebut kitab suci karena ia diterima, dibaca, diperlakukan secara sedemikian rupa oleh khalayaknya. Sudut pandang ini lah yang membuat Sukidi menjadikan early commentators sebagai lokus analisis.
Argumen Sukidi dalam disertasinya mirip dengan setengah dari pernyataannya dalam dua ceramah di atas. Dalam disertasi tersebut, ia berargumen bahwa konsep Alquran diwahyukan secara berangsur-angsur itu adalah produksi penafsir, bukan implikasi internal dari dalam Alquran itu sendiri. Hal ini karena Alquran tidak secara definitif dan dengan dirinya sendiri mengimplikasikan konsep tersebut. Menurutnya, makna farraqnāhu sebagai ‘Kami jadikan dia terpisah-pisah’ adalah produksi mufasir.
Kesimpulan Sukidi bahwa tafsir mengontrol makna Alquran juga bukanlah barang baru. Barangkali, tidak begitu berlebihan untuk menyebut bahwa itu sudah menjadi common knowledge dalam tafsir studies mazhab intellectual history. Toshihio Izutsu, figur yang dikritik oleh Sukidi karena percaya ada makna orisinil Qurʾān, di dekade 60an telah menyebut bahwa post-Qurʾānic readers mengembangkan makna konsep-konsep kunci dalam Alquran. Andrew Rippin melalui pengantarnya dalam Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’an di penghujung dekade 80an telah menjelaskan kompleksitas diskursus historical atau original meaning dan konsekuensinya terhadap tumbuhnya cara pandang ‘reader response’, yaitu cara pandang yang mengalihkan perhatian kepada respon pembaca terhadap teks daripada kepada teks itu sendiri. Di tahun 1991, Jane Dammen McAuliffe dalam Qurʾānic Christians juga sudah menyampaikan bahwa makna Alquran mengenai komunitas Ahl al-Kitab tertutupi/dikendalikan oleh mufasir. Dalam sebuah disertasi yang memberikan titik tekan kepada hubungan tafsir dan Alquran, cukup mengherankan jika Sukidi sama sekali mengabaikan dua buku terakhir ini.
Yang baru dari Sukidi dalam ceramah-ceramahnya adalah ketegasannya bahwa tidak ada makna inherent dalam Alquran atau, dalam kata lain, Alquran adalah teks tanpa makna. Bahkan, menariknya, ini pernyataan yang juga tidak muncul secara eksplisit dalam disertasinya. Jika di dua ceramahnya tesis tersebut disampaikan secara eksplisit, repetitive, dan dengan penekanan-penekanan retoris, di disertasinya ia terlihat lebih hati-hati. Tidak ada pernyataan tegas yang menegasi keberadaan makna dalam teks Alquran secara general. Di disertasinya, ia menyebut “the meaning of the verb f-r-q is not inherently embedded in the revelatory text of Qurʾān 17:106, but rather a literary product of the readings…” Jika ceramahnya berpangkal dari pertanyaan fundamental is there meanings in the Qurʾān, disertasinya dibuka dengan pertanyaan yang lebih hati-hati: is there a clearly discernible, single meaning in all parts of the Qurʾān? Di halaman yang berbeda, ia menyebut: “I attempt to show how Islam’s scripture is frequently unintelligible i fit is approached and studied strictly on its own, internal terms.”
Tiga kutipan dari disertasi ini memperlihatkan bahwa ia tidak melakukan sweaping generalisation bahwa Alquran tidak ada maknanya sebagaimana yang ia lakukan dalam ceramahnya. Ketika memberikan pernyataan afirmatif, ia menjaganya tetap spesifik di kasus f-r-q atau konsep gradual Qurʾān atau menggunakan kata frequently unintelligible. Ketika ia bertanya, ia memberikan kait menggunakan kata sifat discernible, single meaning. Kita bisa berasumsi bahwa Sukidi telah bergerak melampaui tesisnya di ceramah-ceramahnya tersebut.
Jika ada preseden dari pandangan Sukidi ini, maka itu barangkali bisa kita tautkan dengan pemetaan al-Qāḍī ʿAbd al-Jabbār, salah seorang teolog besar Muʿtazilah, mengenai kecenderungan hermeneutika Alquran orang-orang pada masanya. Menurutnya, ada empat cara pembacaan orang-orang kepada Alquran. Pertama, ada yang berpendapat bahwa Alquran tidak memiliki makna. Kedua, Alquran memiliki makna, tapi kita tidak bisa menangkapnya; hanya Rasulullah saja yang mengetahui maknanya. Ketiga, Alquran memiliki makna yang berbeda dari makna luaran yang diperlihatkan oleh teksnya. Terakhir, Alquran memiliki makna, tapi hanya diketahui oleh para Imam (dalam terminologi Syi’ah).
Di sini, kita melihat pandangan masa lampau yang sepintas ekuivalen dengan Sukidi, meskipun kita tidak menemukan nama al-Qāḍī ʿAbd al-Jabbār dalam disertasinya. Namun demikian, kita tidak bisa sepenuhnya menyamakannya begitu saja. Landasan dan implikasi metodologis dari pandangan yang disampaikan al-Qāḍī ʿAbd al-Jabbār berbeda dengan yang disampaikan oleh Sukidi. Pandangan bahwa Alquran tidak memiliki makna atau makna Alquran sama sekali tidak bisa dicerap berpangkal dari sudut pandang bahwa Alquran adalah sesuatu yang sama sekali transenden. Ini tentu berbeda dengan Sukidi yang mengikuti sudut pandang Wilfred Smith dan William A. Graham yang menempatkan kitab suci dalam sejarah relasional teks-manusia. Di samping itu, Walid Saleh mengungkap bahwa pemetaan yang digambarkan oleh al-Qāḍī ʿAbd al-Jabbār berkenaan dengan cara pandang ultra-radical Sunnī yang meyakini bahwa Alquran saja cukup tanpa bantuan apa-apa pada satu sisi dan ultra-radical Syi’ah yang meyakini bahwa Alquran itu useless tanpa Imām. Sementara itu, bagi Sukidi, tesis bahwa Alquran tidak ada maknanya dia gunakan untuk menekankan peran penting tafsir dalam memahami Alquran.
Pernyataan besar Sukidi bahwa Alquran adalah teks tanpa makna memang sulit diterima dari berbagai sudut pandang. Bahwasanya Alquran memiliki kosa kata yang sulit, benar. Bahwasanya membaca teks Alquran dengan dirinya sendiri dan membacanya menggunakan tafsir bisa bermuara pada kompleksitas pemaknaan yang berbeda, benar. Yang tidak bisa dipahami adalah bagaimana kedua hal ini menjadi premis bagi Sukidi untuk kesimpulan bahwa tidak ada makna inherent dalam Alquran. Contoh-contoh yang dikemukakan oleh Sukidi dalam disertasi dan ceramahnya adalah konsep yang dipertentangkan. Lantas, apakah Sukidi juga akan menyebut Alquran tidak ada maknanya pada kasus-kasus yang tidak dipertentangkan atau kata-kata sederhana seperti, katakanlah, rayb pada al-Baqarah ayat 2?
Di samping itu, dalam ceramahnya bersama Caknurian Urban Sufism, Sukidi bisa dibilang gagal membuktikan bahwa Alquran adalah teks tanpa makna. Ia menyebut, misalnya, orang yang memiliki pengetahuan berbahasan Arab akan memaknai kafarū pada kasus qāla alladhīna kafarū di surat al-Furqān 32 sebagai orang yang tidak percaya. Padahal, lanjutnya, jika kita membacanya melalui tafsir, maka kita akan mendapatkan makna yang berbeda, pemahaman yang menurutnya ‘lebih proper, yang lebih insightful.’ Jelas di sini ia tidak menegasi keberadaan makna pada Alquran, karena orang yang mengetahui bahasa Arab bisa membaca kafarū tanpa bantuan apa-apa karena memang kata itu memiliki makna. Bahwasanya makna yang ditemukan dengan cara itu bisa berbeda dengan makna yang ditemukan ketika disandingkan dengan tradisi tafsir, itu tidak mengekslusi keberadaan makna di dalam kata kafarū melainkan hanya menampilkan dua level makna yang berbeda. Telah ada segudang literatur terkait jenis dan level makna, dan mencengangkan jika Sukidi mengabaikannya begitu saja. Ia bahkan juga tidak membedakan makna dalam diskursus publik yang cenderung tersimplifikasi dengan makna dalam diskursus intelektual.
Jika kita hanya mendengarkan dua ceramah Sukidi di atas dan tidak membaca disertasinya, kita akan menemukan sejumlah problem-problem epistemologis. Jenis dan level makna hanyalah salah satunya. Yang lainnya adalah Sukidi mencampuradukkan kategori-kategori Alquran, teks, dan tafsir. Dalam satu waktu, misalnya, ia menyebut, “kalau kita kembali kepada Qur’an, kita hanya memperoleh makna yang sudah disajikan oleh penerjemah Qur’an. Tapi apakah itu makna yang ada di tradisi Islam?” Di lain kesempatan di ceramah yang sama, ia menyebut begini: “makna dalam Qur’an itu bukan produk Tuhan, tapi produk mufasir.” Dalam dua pernyataan ini, Sukidi terlihat sama sekali mengabaikan perbedaan ontologis antara Alquran, tafsir, dan terjemah beserta segala implikasi metodologisnya, dan mencengangkan ia menderivasi gagasannya bahwa Alquran adalah teks tanpa makna dari sini. Disertasinya selamat dari problem semacam ini karena di sana ia tidak melangkah sejauh di ceramahnya ini.
Ada satu hal lagi yang ingin saya bahas dalam tulisan ini. Terlepas dari problem-problem di atas, bagi Sukidi, tidak ada makna dalam Alquran. Berpangkal dari tesis ini kemudian Sukidi meneruskan gagasannya kepada diskusi mengenai pembaruan Islam. Ia membagi para pembaru Islam di Indonesia kepada dua generasi: generasi tua yang digawangi oleh Cak Nur dan Buya Syafi’i Ma’arif dan generasi muda, yaitu generasinya Sukidi sendiri bersama dengan Ulil Abshar Abdallah, dan lain-lain. Pembaruan ala generasi tua menghimbau pembacaan Al-Qur’an secara langsung. Cak Nur, tegas Sukidi, dalam Islam Doktrin dan Peradaban banyak sekali melakukan pembacaan langsung kepada Alquran. Hal ini lantaran ia meyakini bahwa ada makna di dalam teks Alquran. Cak Nur adalah murid dari Fazlur Rahman. Rahman juga memiliki sikap skeptis terhadap tradisi tafsir. Karena itu, pembacaannya kepada Alquran mengabaikan tafsir.
Karena bagi Sukidi tidak ada makna inherent dalam Alquran, makan pembaruan ala kaum tua problematis. Sebagai solusinya, Sukidi memilih untuk memahami Alquran “not by reading the Qur’an on its own term, tapi by reading the Qur’an throuh the lens of tradition.” Di sinilah relevansi “Pembaruan Islam itu Kembali ke Tradisi, Bukan Langsung ke Al-Qur’an!”
Apa yang sebenarnya dimaksud oleh Sukidi dengan tradisi? Secara eksplisit ia menyebut tradisi tafsir. Tradisi tafsir yang mana? Ada dua problem di sini.
Pertama, tradisi tafsir yang ia maksud adalah early commentators, karena mereka adalah “early community yang telah mem-preserve Qur’an dengan satu keimanan, dengan satu fidelitas, kepercayaan, membaca Qur’an dengan satu kreativitas dan juga memproduksi makna dengan satu inovasi.” Jika yang ia maksud tradisi tafsir hanya early commentators, tentu ini adalah kategori yang sempit sekali, karena tafsir tidak hanya diproduksi di 2 atau 3 abad pertama Islam saja. Tentu tidak ada justifikasinya jika Sukidi mengasumsikan bahwa tradisi tafsir berhenti di abad ketiga, atau, karena ia juga menyebut nama al-Ṣuyūṭī, kesembilan. Secara metodologis, tafsir-tafsir modern-kontemporer yang saat ini ikut membentuk cara orang memahami Alquran adalah bagian dari tradisi tafsir yang terus berlanjut. Tapi, tampaknya Sukidi tidak tertarik untuk memasukkan, umpamanya, Fazlur Rahman ke dalam tradisi tafsir.
Kedua, kutipan al-Qāḍī ʿAbd al-Jabbār di atas, menurut Walid Saleh, menggambarkan posisi ultra-radical di dua kelompok, Sunni dan Syi’ah, bukan hermeneutika arus besar dalam tradisi tafsir. Arus besar hermeneutika Alquran justru berdiri di atas filologi. Dalam kata lain, tradisi tafsir, sebagaimana yang argumentasikan oleh Saleh, adalah tradisi yang mengakui adanya makna dalam teks. Jika Sukidi mengapresiasi tradisi tafsir, tentu dia tidak akan kesulitan menemukan fakta ini. Adalah paradox jika kemudian ia mengapresiasi tradisi tafsir tapi mengabaikan suara arus utama dalam tradisi tafsir yang mengakui keberadaan makna Alquran.
Saya menyukai bahwa pilihan Sukidi untuk kembali kepada tradisi alih alih secara langsung berdialog dengan Alquran adalah upaya humble-nya sebagai seorang intelektual yang mengapresiasi karya panjang para ulama pendahulu. Namun begitu, akan lebih humble bagi Sukidi, jika ia menyebut bahwa ada kompleksitas tertentu dalam pendekatan kembali kepada Qur’an dan karenanya meneropong Qur’an menggunakan tradisi tafsir adalah salah satu cara alternatif yang bisa membawa kita kepada satu domain tertentu dalam makna, sebuah domain yang berada di ranahnya sendiri namun bisa memberikan kita pandangan tertentu terkait Al-Quran. Dengan ini, ia menempatkan posisi intelektualnya ke dalam peta kajian terkait Alquran yang luas, bukan justru mengorbankan kehati-hatian yang ia pakai dalam disertasinya dan menjulangkan klaim besar tapi rapuh.
How to cite this Article: Fadhli Lukman, ”Dalam Tradisi, Sukidi Membuang Makna al-Quran”, studitafsir.com (blog), October 14, 2021 (+ URL dan tanggal akses).
Untuk berdiskusi silahkan tinggalkan komentar.
Mantap …👍