Dilema Kepakaran Muqatil bin Sulayman (w. 150 H/767 M) dalam Ilmu Tafsir

Oleh: Ahmad Mushawwir

Nama Muqātil bin Sulayman (w. 150 H/767 M) bukanlah nama asing di dalam teradisi keilmuan Islam. Setidaknya menyebut nama Muqātil–sebagaimana ditulis Fawaidur Ramdhani dalam “Kredibilitas Muqātil Bin Sulaymān dalam Periwayatan Isrā’īliyyāt–akan memperkenalkan kita pada julukan-julukan yang diciptakan oleh para agwamawan untuknya:“bapak” isrā’īliyyāt tafsir al-Qur’an, pendusta hadis, dan juga seorang mujassimah. Meski demikian, julukan-julukan seperti ini tidak lantas “menghilangkan” apresiasi pada beberapa keberhasilan dan capaian-capaiannya. Demikianlah potret singkat sosok Muqātil bin Sulayman. Ia adalah sosok yang “dihujat” pada satu sisi, dan dikagumi pada sisi yang lain, meskipun kekaguman padanya datang sedikit terlambat.

Nama lengkapnya adalah Muqātil bin Sulaymān bin Bashīr al-Balkhī al-Marūzī al-Khurāsānī. Tidak ditemukan literatur yang menyebutkan secara pasti kapan ia dilahirkan. Menurut Philip K. Hitti, dalam bukunya History of The Arabs, ia lahir di Balkh pada tahun 80 H (700 M). Sumber lain menyebutkan ia lahir kurang lebih tahun 60-70 H (680-690 M). Muqātil wafat bertepatan pada tahun 150 H (767 M).

Terlepas dari kontroversi yang menyertai Muqātil,  tidak bisa disangsikan jika ia adalah satu dari sosok yang banyak mewasikan karya. Hal semacam ini misalnya dikonfirmasi oleh Munim Sirry dalam artikelnya, “Muqātil b. Sulaiman and Antropomorphism” yang menuliskan bahwa satu dari sekian banyak peninggalan Muqatil yang paling monumental adalah Tafsir al-Kabir atau populer dikenal dengan Tafsir Muqatil bin Sulaymān.

Lain pada itu, John Wansbough dan Gordon Nickel mengatakan bahwa tafsir milik Muqātil merupakan sebuah contoh bentuk penafsiran haggadic. Terminologi haggadic merujuk pada penafsiran Muqātil yang mencoba memadukan ayat-ayat al-Qur’an yang tidak berkaitan kemudian diramu menjadi satu kesatuan yang utuh. Dengan begitu, hal semacam itu akan memberikan kesan kesinambungan dan penjelasan yang holistik terhadap varietas teks. Jika merujuk kepada keilmuan tafsir klasik atau ‘ulūm al-Qur’ān, terminologi haggadic mempunyai irisan yang kuat dengan teori munāsabah.

Apa yang diupayakan oleh Muqātil ini cukup membuahkan hasil. Pasalnya, pada aspek alterasi dan maksud suatu kata, tak jarang mufasir generasi berikutnya memilih berkiblat kepada Muqatil. Sebut saja Aḥmad bin Muḥammad bin Ibrāhīm al-Tsa‘labī (w. 427 H/1036 M), atau yang lebih dikenal dengan al-Tsa‘labī cenderung memililki banyak penafsiran yang merujuk kepada Muqatil. Misalnya, dalam kitab tafsirnya al-Kashf wa al-Bayān ‘an Tafsīr al-Qur’ān,  ketika menafsirkan kata iṣbirū dalam QS. Ali Imran/200, al-Tsa‘labī mengutip keterangan dari Muqatil, bahwa maksud dari frasa iṣbirū adalah Iṣbirū ‘alā amrillāh ‘Azza wa Jalla

Tokoh lainnya adalah al-Zamakhsharī (w. 538 H/1144 M). Sosok tokoh yang fenomenal di bidang gramatikal bahasa ini pada sebagian tafsirnya juga mengutip penafsiran dari Muqātil. Misalnya, penafsiran al-Zamakhsharī dalam kitabnya al-Kashshāf ‘an Haqā’iq Gawāmiḍ al-Tanzīl.  Pada kata al-Ardhalūn, di dalam QS. Al-Syu’ara ayat 111, menafsirkan kosakta tersebut diantarnaya dengan al-Suflah.

Kees Versteegh menjelaskan dalam artikelnya, The Origin of Kufan Grammar and Tafsir Muqātil, bahwa Tafsir Muqātil bukanlah tafsir filologis seperti tafsir-tafsir generasi selanjutnya. Muqātil tidak menafsirkan teks, melainkan hanya mempermudah teks tersebut agar dapat dipahami oleh masyarakat muslim awam. Muqātil yakin bahwa setiap orang yang memiliki nalar sehat pasti bisa mengkaji teksnya sendiri ataupun mencoba mencari makna yang tersembunyi. Dengan kata lain, teks al-Qur’an sudah jelas dan tidak perlu adanya tuntutan khusus untuk mendalaminya.

Akhirnya, walau tafsir ini sempat ditelan bumi, tafsir Muqātil mulai muncul kembali lagi ke permukaan kira-kira di era al-Matūridī (w. 333 H/945 M). Pada generasi berikutnya, banyak mufasir yang dalam beberapa hal mengutip pada tafsir Muqātil. Diantara para mufasir yang pernah merujuk keterangan dari Muqātil dalam tafsirnya adalah al-Samarqandī (w. 373 H/983 M), al-Tha‘labī (w. 427 H/1036 M), al-Māwardī (w. 450 H/1058 M), al-Wāḥidī (w. 468 H/1076 M), Abū al-Qāsim Burhān al-Dīn (w. 505 H/1111 M), al-Baghawī (w. 516 H/1122 M), al-Jawzī (w. 597 H/1201 M), al-Rāzī (w. 606 H/1210 M), al-Qurṭubī (w. 671 H/1273 M), Abū Ḥayyān bin Muḥammad al-Andalusī (w. 744 H/1344 M), Ibn Kathīr (w. 773 H/1372 M), al-Muẓharī (w. 1225 H/1810 M) dan yang lainnya.

Antara Apresiasi dan Kritik Pedas

Muqātil mendapatkan apresiasi dari banyak kalangan. Salah satu muridnya, ‘Abdullāh Ibn Mubārak (w. 181 H/797 M) yang dikenal sebagai seorang sufi, menyebut tafsir gurunya itu sebagai tafsir yang sangat bernilai, dengan catatan tafsir tersebut disertai dengan sanad. Lebih dari itu, keterampilan serta kepiawaian dalam urusan bedah-membedah dan menilik kata, diakui  oleh Imam Syafi’i (w. 204 H/819 M). Ia menyebut Muqātil sebagai seorang panutan bagi siapa saja yang ingin mendalami dan mengkaji Al-Qur’an. Hal tersebut dijelaskan oleh Abdullah Mahmud Shahatah dalam kitabnya Tafsīr Muqātil bin Sulaymān.

Ibnu Taimiyah (w. 728 H/1328 M) yang kerap digelari Shaykh al-Islām, juga tak mau kalah dalam mengakui keahlian Muqātil. Ia bahkan menobatkan Muqātil sebagai peletak dasar kajian analisis gramatikal teks Al-Qur’an dengan pendekatan stilistik-linguistik, sebagaimana yang dijelaskan Versteegh dalam tulisannya “Tafsir Qur’an Paling Awal: Tafsir Muqatil”.

Pujian yang diberikan kepada Muqātil tentunya bukan tanpa alasan. Adapun yang memberi apresiasi pun bukan sembarang tokoh. Kepiawaiannya dalam studi al-Qur’an juga dapat dilihat dengan karya-karyanya yang lebih banyak membahas seputar al-Qur’an dan ‘ulūm al-Qur’ān. Dari sepuluh karya, hanya satu yang bukan kajian tentang al-Qur’an. Karya-karya tersebut antara lain Tafsīr al-Kabīr, al-Ayāt al-Mutashābihāt, al-Aqsām wa al-Lughāt, Tafsīr al-Khamsumi‘ah Ayāt min al-Qur’ān, al-Taqdīm wa al-Ta’khīr, al-Jawābat fī al-Qur’ān, al-Qirā’āt, al-Nāsikh wa al-Mansūkh, dan al-Wujūh wa al-Naẓāir fī al-Qur’ān.

Walaupun demikian, Muqātil juga tak lepas dari kritik bahkan hujatan.  Versteegh–sebagaimana terungkap dalam artikelnya sebelum ini– juga menjelaskan bahwa tafsir Muqātil itu dianggap sebagai barang terlarang terutama sesudah terjadinya serangan kaum Mu’tazilah terhadap penafsiran-penafsiran yang bertentangan dengan dogma keesaan Allah, yang mana tafsir Muqātil ini sangat terkenal dalam menafsirkan ayat-ayat seputar Allah, ditafsirkannya sama dengan ayat-ayat lain, dengan hanya berpijak pada pendekatan akal sehat saja.

Terkait hal ini banyak sekali penilaian negatif yang dilontarkan kepadanya. Sebab utama itulah mungkin mengapa tafsir Muqātil ini jarang atau bahkan tidak dijual di toko-toko buku meskipun sudah diterbitkan. Bahkan editornya menyebutkan bahwa ia beberapa kali berdiskusi dengan para syaikh di Universitas Al-Azhar, akan tetapi mereka dengan tegas menyatakan secara teologi Muqatil dinilai salah sama sekali.

Soal integritas Muqātil di bidang periwayatan hadis juga mendapat kritik sangat pedas oleh cendikiawan Hadis. Mulai dari matrūk al-hadīts hingga pendusta. Imam Bukhari (w. 256 H/870 M) menyandangkan status “mungkir al-hadīth” untuk Muqatil. Hingga Ibrāhīm bin Ya‘qūb al-Jawzajānī (w. 258 H/872 M) dengan tegas menyebutnya “dajjal yang lancang”

Adapun dari kalangan Uṣūliyyīn,  salah satunya Imam Aḥmad b. Hanbal (w. 241 H/855 M) juga tidak memiliki gairah meriwayatkan apapun dari seorang Muqātil. Hal ini mengindikasikan, pengadilan para praktisi dan cendikiawan hadis telah menghukumi Muqātil Bin Sulaymān sebagai orang yang telah dianggap “da’if”  sehingga hadisnya pun harus ditolak.

Walaupun Muqatil diragukan kredibilitasnya dalam periwayatan hadis, namun perhatian dan kecakapan ilmunya di bidang kajian al-Qur’an tidak  boleh dipandang sebelah mata. Menurut Ibnu Taimiyah, Muqātil ini memiliki kasus yang sama seperti halnya Imam Abū Ḥanīfah  (w. 148 H/767 M). Andaikan banyak yang berbeda pendapat dengannya dalam banyak hal, akan tetapi perihal keilmuan Abū Ḥanīfah di bidang fiqh, tidak ada seorang pun yang meragukannya.

Kepiawaian Muqātil dalam kajian al-Qur’an adalah suatu hal yang tidak dapat dinafikan. Kepedulian Muqātil dan perhatian besarnya terhadap perubahan makna kata merupakan kontribusi terbesarnya dalam mengembangkan khazanah tafsir al-Qur’an. Namun, untuk urusan periwayatan hadis, riwayat darinya tertolak menurut hampir semua ulama hadis.

Namun, untuk riwayat isrā’īliyyāt yang diriwayatkan Muqātil tidak semuanya ditolak. Berkenaan dengan hal ini, riwayat yang ditolak adalah riwayat isrā’īliyyāt yang memuat konten yang tidak sesuai dengan syari’at Islam. Tentu, hal semacam ini tidak hanya berlaku untuk Muqātil saja, tetapi juga untuk para mufasir. Adapun terkait soal kredibilitas Muqātil dalam ranah periwayatan isrā’īliyyāt, sepertinya tidak menjadi persoalan. Maka tak, jika para mufasir generasi berikutnya banyak mengambil riwayat darinya. Wallahu a’lam.

How to cite this Article: Ahmad Mushawwir, “Dilema Kepakaran Muqatil bin Sulayman (w. 150 H/767 M) dalam Ilmu Tafsir, studitafsir.com (blog), Juni, 3, 2022 (+ URL dan tanggal akses).

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 80

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Unknown