
Tafsir Tematik-Kontekstual di Ujung Tanduk: Kemelut dan Peluang
Oleh: Rijal Ali (Mahasiswa Magister IAT, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Belakangan ini, tafsir tematik mendapat sorotan yang tajam. Serangakaian event tidak luput mengangkat tema tafsir tematik sebagai tema utama acara. Dalam perhelatan AIAT 2024 di Kediri beberapa waktu yang lalu, keresahan mengenai menjamurnya kajian tafsir tematik ayat menjadi salah satu alasan diangkat kembali kajian tafsir berbasis surat sebagai tema acara tersebut. Selang beberapa hari kemudian, giliran Magister Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir turut serta dalam memeriahkan wacana tafsir tematik dengan menyelenggarakan acara bedah buku Reformulasi Metode Tafsir Tematik. Lingkar baca Nun dan Elbranstalk juga menyelenggarakan diskusi mengenai tafsir berbasis surat yang berangkat dari keresahan terhadap tafsir tematik surat.
Tulisan ini merupakan refleksi dari penulis terhadap wacana tafsir tematik (ayat) yang bergulir cukup kencang belakangan ini. Sebelum itu, akan lebih baik jika kita berhenti sejenak, menengok kembali bagaimana cara kerja tafsir tematik.
Dalam tataran idealnya, tafsir tematik-kontekstual melewati dua proses. Pertama, mundur belakang. Proses ini meliputi memahami kosakata tertentu dengan melihat makna asal, perkembangannya, dan penggunaannya dalam Al-Qur’an, serta mempertimbangkan kosakata lain yang berkaitan. Proses ini termasuk dalam cakupan kajian kebahasaan. Tidak cukup hanya dengan analisis linguistik semata, tafsir tematik juga melihat konteks diturunkannya ayat yang dikaji, baik dari asbabun nuzul sebagai konteks mikro, maupun makki-madani dan sosio-historis masyarakat Arab pada saat itu sebagai konteks makro.
Kedua, maju ke depan. Makna yang didapatkan dari proses tahap pertama, kemudian dibawa ke masa kini untuk dikontekstualisasikan agar tetap relevan dan relate dengan situasi saat ini. Dalam upaya kontekstualisasi ini, pengkaji diperbolehkan untuk menggunakan pendekatan-pendekatan lain di luar ulum al-Qur’an.
Meski proses tahap pertama jauh lebih kompleks dibandingkan dengan tahap kedua, namun dalam tataran praksisnya, Mu’ammar Zayn Qadafy, dalam beberapa tulisannya, melihat justru proses kedua yang lebih banyak mendapat porsi perhatian pengkaji. Kecenderungan yang berlebihan dalam mempraktikkan prinsip min al-wāqi’ ila al-nāsh, berakibat pada mengaburkan tujuan tafsir tematik sebagai perangkat untuk menangkap pesan utama Al-Qur’an dan meminimalisir subjektivitas penafsir.
Subyektifitas dalam tafsir al-Qur’an, seberapa bisa ditolerir?
Salah satu isu yang digaungkan dalam pengarusutamaan tafsir tematik-kontekstual adalah bahwa tafsir tematik dalam meminimalisir subjektivitas penafsir. Slogan seperti ini memantik sebuah pertanyaan, “is subjectivity a problem for the study of the Quran?“.
Memperdebatkan status subjektivitas penafsir, apalagi sampai pada tahap usaha menghilangkannya, seperti memutar kaset lama. Subjektivitas penafsir merupakan sebuah keniscayaan, sehingga daripada berusaha menghilangkannya, mengapa tidak berupaya untuk mengarahkannya?
Dalam menempatkan bias subjektivitas, tawaran Kuntowijoyo kiranya dapat dijadikan sebagai alternatif dalam penafsiran Al-Qur’an. Menurutnya, daripada menjadikan bias subjektivitas penafsir menjadi momok yang menakutkan dalam kajian tafsir, mengapa tidak mengarahkan bias subjektivitas tersebut dengan prosedur yang tepat. Seorang pakar ilmu sosial akan menggunakan biasanya untuk melihat pandangan Al-Qur’an terhadap isu-isu sosial. Begitu pun dengan pakar psikologi, dapat mengerahkan kecenderungan keilmuannya untuk melihat bagaimana Al-Qur’an hadir dan berpengaruh terhadap penerima pertamanya? Selama dilakukan dengan metode dan prosedur yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan, bias penafsiran justru dapat keunggulan yang dapat menjangkau relevansi pesan utama Al-Qur’an di masa kini.
Salah Kaprah tafsir Tematis atas Pemikiran Tokoh
Berdasarkan penelusuran di google scholar, akan ditemui banyak penelitian dengan jenis tafsir tematik. Kebanyakannya dalam bentuk skripsi S1. Dalam tingkatan demikian, tentunya kita tidak dapat berekspektasi tinggi, mengingat kualitas risetnya masih terhitung seadanya. Sebagai contoh, kita dapat melihat bahwa penggunaan metode tafsir tematik pada dasarnya hanya menginventarisasi pandangan ulama sebelumnya. Kita tidak menemukan di dalamnya analisis yang tajam sehingga menunjukkan sebuah inovasi yang substantif dan berkualitas.
Dalam kasus lain, slogan tafsir tematik kerap kali dijadikan sebagai label untuk jenis penelitian yang sebenarnya bukan tafsir tematik. Tidak jarang ditemukan tulisan yang sebenarnya mengkaji pemikiran tokoh, akan tetapi justru menyisipkan “tafsir tematik” dalam judul penelitiannya. Kajian pemikiran tafsir suatu tokoh tentunya memiliki perbedaan objek yang jelas berbeda dengan kajian tafsir tematik. Tafsir tematik menjadikan Al-Qur’an dengan spesifikasi pada ayat atau surah tertentu sebagai objek kajian, sedangkan objek kajian pemikiran tokoh produk pemikiran tokoh tersebut alias karyanya.
Tumpang tindih antara kajian tafsir tematik dengan pemikiran tokoh juga menjadi kegelisahan Sahiron Syamsuddin. Dalam salah satu tulisannya, ia mengeluhkan hal demikian: “Seorang mahasiswa, misalnya, mengajukan proposal penelitian dengan judul “Aqidah menurut Al-Qur’an: Studi tentang Pemikiran Muhammad Abu Zahrah”. Judul ini jelas membingungkan: apakah dia akan mengkaji konsep Al-Qur’an dengan metode tematik, atau kah dia akan meneliti pemikiran seorang mufasir tentang ajaran Al-Qur’an?”
Kesemrawutan ini kiranya mengharuskan kita untuk berhenti sejenak dan memperjelas lagi definisi dan ragam dari tafsir tematik itu sendiri. Jika merujuk kepada buku Reformulasi Metode Tafsir Tematik yang ditulis oleh Prof. Muhammad Chirzin, dkk., terdapat empat jenis tafsir tematik, yaitu tematik konseptual, term, dan surah, dan tematik tokoh. Dari keempat jenis tersebut, tematik tokoh tidak terlalu banyak disinggung dalam pembahasan studi tafsir tematik. Bahkan dalam buku Reformulasi Metode Tafsir Tematik pun hampir tidak menyinggung jenis tafsir tematik tokoh, kecuali hanya sebatas penjelasan klasifikasi tafsir tematik.
Apakah tafsir tematik tokoh memang layak dan seharusnya diletakkan dalam deretan jenis tafsir tematik lainnya atau sebenarnya termasuk dalam ranah pemikiran tokoh (Islamic thought)? Pertanyaan ini sempat disinggung oleh Prof. Muhammad Chirzin dalam acara bedah buku Reformulasi Metode Tafsir Tematik yang diselenggarakan oleh Magister Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ada perbedaan antara tafsir tematik sebagai sebuah metode (method) dan sebuah pendekatan (approach). Penelitian tafsir tematik yang menggunakan perspektif tokoh tertentu pada dasarnya merupakan sebuah pendekatan (approach), bukan sebuah metode (method). Sebagai sebuah pendekatan, tentunya tidak memerlukan seperangkat langkah metodis yang sistematis. Ini mungkin menjawab mengapa di buku tersebut tidak menjelaskan mengenai jenis tafsir tematik tokoh, meskipun sangat disayangkan penjelasan mengenai hal tersebut disampaikan dalam bentuk lisan, bukan dalam tulisan buku tersebut.
Penjelasan lisan Prof. Muhammad Chirzin tersebut kiranya masih belum begitu memuaskan. Penjelasannya mengenai perbedaan antara tafsir tematik as a method dan as an approach terkesan menunjukkan persetujuannya mengenai posisi kajian pemikiran tokohtafsir sebagai bagian dari tafsir tematik. Padahal di antara tiga jenis tafsir tematik lainnya yang memiliki langkah metodis yang sistematis, kajian pemikiran tokoh tidak memilikiseperangkat langkah metodis tersebut. Hal ini seharusnya cukup untuk menggugat posisi kajian pemikiran tokoh dalam rumpun kelompok tafsir tematik.
Saya cenderung untuk menempatkannya dalam rumpun kajian pemikiran tokoh dibandingkan tafsir tematik. Mengapa? Ada perbedaaan sudut pandang krusial mengenai kajian penafsiran tokoh dengan jenis tafsir tematik term, konseptual, dan surah. Tafsir tematik dengan segala jenisnya adalah kajian Al-Qur’an dengan menggunakan metode tafsir tematik, sedangkan penafsiran tokoh merupakan kajian pemikiran tokoh dengan menggunakan pendekatan tematik. Perbedaan objek material antara kedua jenis kajian ini seharusnya menjadikan keduanya dalam dua rumpun kajian yang berbeda
Catatan Akhir: Tafsir Tematik Itu Projek Lanjutan, bukan Proyek Instan
Banyak pihak mengeluhkan menjamurnya tafsir tematik yang tidak mengikuti seperangkat langkah metodis yang jelas, sehingga terkesan memaksakan realitas ke dalam teks. Atau dengan kata lain, memaksakan Al-Qur’an untuk mengiyakan kehendak penulis. Di tengah kesemrawutan ini, saya melihat tafsir tematik ayat seharusnya diposisikan sebagai langkah lanjutan, bukan langkah awal apalagi proyek instan sekali jadi. Seperti tematik surat yang bertujuan menemukan pesan utama di balik suatu surah, maka tematik ayat akan menghubungkan ayat yang dikaji dengan tujuan umum dari surah tersebut sehingga menghindari terjadinya ketercabutan konteks ayat dengan surah yang menaunginya. Begitu pun dengan kajian mengenai analisis struktur (nazhm) dan sastra surah-surah tertentu sudah seharusnya digalakkan lebih besar, mengingat temuan kajian demikian dapat membantu seorang peneliti tafsir tematik ayat merumuskan bagaimana pandangan Al-Qur’an terhadap isu tertentu. Salah seorang pakar tafsir tematik Indonesia, Quraish Shihab, menyatakan bahwa tafsir tematik tidak dapat berjalan dengan baik jika pondasi tafsir tahlili nya tidak kuat.
How to cite this Article: Rijal Ali, “Tafsir Tematik-Kontekstual di Ujung Tanduk: Kemelut dan Peluang”, studitafsir.com (blog), 23 October, 2024 (+ URL dan tanggal akses)