Meninjau Ulang Bahasa Tuhan: Reviu Artikel Munirul Ikhwan

Oleh: Muhammad Syamil Basayif

 

Salah satu perdebatan klasik di bawah payung studi al-Qur’an adalah topik tentang sifat bahasa al-Qur’an. Pertanyaan paling mendasar dari isu ini adalah, “Dengan bahasa apa al-Qur’an menyampaikan risalah-Nya?”

Menurut mayoritas cendekiawan Muslim, bahasa al-Qur’an berasal dari dialek suku Quraisy, berdasarkan fakta bahwa al-Qur’an diturunkan kepada Nabi yang berasal dari suku Quraisy. Pemikiran yang bercorak teologis ini biasanya melegitimasikan pandangannya pada ayat-ayat seperti Q. 14:04; Q. 12:2; Q. 16;103, dan banyak ayat lain. Para sarjana di Barat seperti Theodor Nöldeke (1836-1930) dan Carl Brockelman (d. 1956) nampak tidak sepakat dengan pandangan yang apologetik ini. Dalam pandangan mereka, oleh karena tidak ada perbedaan yang signifikan mengenai karakteristik bahasa masing-masing dialek kabilah Arab, maka kesimpulan bahwa bahasa al-Qur’ān diadopsi dari dialek Quraisy adalah kesimpulan yang simplistis dan cacat. Mereka mengusulkan pendapat bahwa bahasa al-Qur’ān bukanlah supremasi dialek suku tertentu (dalam hal ini Quraisy), melainkan akulturasi dari berbagai dialek yang berkembang pada masa itu.

Dua kata kunci dalam artikel Munirul Ikhwan ini adalah, literary ʿArabiyya” atau “sastra Arab” untuk merujuk pada kondisi linguistik Bangsa Arab klasik (pra-standarisasi gramatikal oleh Sibawayh). Kedua, terma sab’at aḥruf yang bermakna ragam variasi bacaan al-Qur’an yang telah dilegalisir oleh Nabi. Dengan dua kata kunci ini, argumen yang ditawarkan Ikhwan adalah bahwa bahasa al-Qur’an –di satu sisi– memang diadopsi dari sastra Arab Pra-Islam sebagai modus wacana untuk menyampaikan pesan monoteisme kepada para audiennya. Namun di sisi lain, al-Qur’an melampaui sastra Arab dengan mempromosikan konsep baru berupa sab’at aḥruf dalam rangka memperluas daya jelajahnya.

Terdapat beberapa faktor yang membuat Ikhwan –meminjam istilah Thomas Kuhn– mengalami shifting paradigm (pergeseran paradigma); beralih dari argumen teologis cendekiawan muslim klasik menuju argumen akademis kritis sarjana Barat. Pertama adalah faktor historis. Berdasarkan tipologi para sejarawan Muslim, kabilah Quraisy bukanlah penduduk Arab asli (pribumi; āribā), melainkan kabilah yang ter-Arabisasi (mu’arrab). Implikasinya, asumsi bahwa kabilah Quraisy adalah pemilik dialek yang fasih dan menjadi dialek al-Qur’an adalah asumsi yang bermasalah. Bagaimana mungkin al-Qur’an justru mengambil dialeknya dari kabilah yang bukan Arab asli? Kejanggalan ini memang berusaha ‘didinginkan’ oleh Ibn al-Fāris. Menurutnya, kabilah Quraisy memiliki ciri khas aktif dan teliti menyeleksi Bahasa Arab dari berbagai dialek hingga pada akhirnya mereka menjadi ‘pemilik’ dialek Arab yang fasih. Namun jawaban apologis ini nyatanya secara implisit juga tidak menafikan fakta bahwa bahasa “original-Qur’ān bersifat transdialek.

Kedua, faktor arkeologis bahasa. Jika memang al-Qur’ān menggunakan dialek Quraisy, tentu perdebatan mengenai “bahasa Tuhan” tidak akan serumit ini. Seorang peneliti dengan mudah bisa menelusuri arkeologi bahasa dengan berkaca pada puisi-puisi pra-Islam. Masalah yang kemudian muncul adalah, tidak ada satupun penyair pra-Islam yang terafiliasi dengan suku Quraisy–yang konsekuensi logis berikutnya adalah bahwa dialek Quraisy bukanlah dialek yang digunakan pada era pra-Islam. Dengan demikian, tidak mungkin (hanya) dialek Quraisy yang diadopsi oleh al-Qur’ān. Bahwasanya jika kemudian terdapat unsur dialek Quraisy, itu bukanlah dua hal yang kontradiktif.

Ketiga, faktor originalitas kosa-kata. Jika memang dialek Quraisy adalah penopang utama bahasa al-Qur’ān, tentu ia memiliki porsi kosa kata yang dominan daripada dialek non-Quraisy. Nyatanya, merujuk pada kodifikasi kosa kata al-Qur’ān yang ditulis Ibn Ḥaṣnūn, dominasi Quraisy juga tidak terbukti. Klasemennya masih berada di bawah dialek Kinānah, Oman-Azad, Ṣan’ā-Khaṭ’am, Huźayl, dan Ṭayyi’. Bahkan pada surat-surat Makkiyah dimana mereka menjadi audiens pertamanya, dominasi kosa kata dialek Quraisy juga tidak nampak. Fenomena-fenomena dimana para sahabat tidak paham dengan kosa kata al-Qur’ān sering diriwayatkan untuk menegaskan fakta ini. Ibn ‘Abbās, misalnya, penafsir terkemuka yang lahir dan besar di lingkungan Quraisy tidak memahami makna fāṭir al-samāwāt (QS. 35:1). Dia barumemahaminya setelah melihat dua orang Badui yang berselisih.

Faktor terakhir berkaitan dengan status ontologis sastra Arab pra-Islam. Masyarakat kala itu meyakini bahwa sastra Arab berasal dari kekuatan supranatural; yang tanpanya penyair tak mampu mengungkapkan kata-kata yang mempesona dan mempengaruhi psikologis pendengarnya. Kekuatan supranatural inilah yang ditengarai memiliki power sebagaimana juga dimiliki oleh al-Qur’ān. Maka tak heran jika di setiap diksinya, al-Qur’ān seakan memiliki dayamagis yang bersumber dari sumber metafisik, yang tak mampu ditandingi oleh teks manapun. Dalam konteks ini, literatur ulūm al-Qur’ān klasik menyebutnya sebagai taḥāddiyāt; tantangan-tantangan al-Qur’ān kepada semua teks sastra untuk menandinginya (QS. 17:88), menandingi sepersepuluhnya (QS. 11:13), satu suratnya (QS. 2:33; 10:38), atau bahkan beberapa ayat saja (QS. 52:34).

Konklusi dari premis-premis silogistik di atas pada akhirnya mengalir pada satu muara yang sama; bahwa bahasa Tuhan dalam al-Qur’ān tidaklah diadopsi dari dialek Quraisy an sich, melainkan diadopsi dari akulturasi beragam dialek sastra Arab pra-Islam. Dalam hal ini dia berdiri di barisan yang sama dengan Theodore Nldeke dan pendukungnya. Bedanya, Ikhwan merefleksikan teori sab’at aḥruf yang diperkenalkan Nabi sebagai usaha al-Qur’ān untuk memperluas daya jelajah audiensnya. Oleh karena misi monoteistiknya, al-Qur’ān berkepentingan untuk meraih pengikut sebanyak mungkin dengan berusaha mengakomodir beragam dialek non-Quraisymenunjukkan sikap egaliter. Usaha al-Qur’ān tidak berhenti pada sekedar mengadopsi sastra Arab yang hanya dipahami di kalangan intelektual dan elit Arab. Meminjam istilah Ikhwan dalam disertasinya, al-Qur’ān memilih untuk down to earth” dengan mengakomodir ragam dialek non-Quraisy.

Dengan kaca mata sab’at aḥruf, maraknya kosa kata asing dalam al-Qur’ān bisa dipahami urgensinya. Misalnya dalam QS. 3:96, lafal bakka”–merujuk pada Kota Mekkah–menunjukkan bahwa al-Qur’ān juga mengadopsi dialek Banī Māzin. Adanya kosa kata asing ini, menurut al-Jawāliqī tidak kontradiktif dengan statemen al-Qur’ān bahwa ia menggunakannya lisāninArabiyyin mubīn; sebab pada mulanya kosa kata itu memang asing namun telah melalui proses Arabisasi (mu’arrab). Fenomena ekspansi bahasa al-Qur’ān ini juga menunjukkan adanya ekspansi audiens pertama al-Qur’ān dimana ia juga turut meluas dalam kurun waktu 20 tahun. Jika asumsi ini ditolak–tidak ada ekspansi bahasa–, maka semakin kuat pula argumen awal bahwa al-Qur’ān sejak awal kemunculannya telah menggunakan bahasa trans-dialek.

Terakhir, Ikhwan menyayangkan ikut campurnya kekuasaan politik dalam proses kodifikasi dan otorisasi kodeks resmi (rasm Uthmānī). Hal ini berakibat pada gagasan sab’at aḥruf yang sedikit demi sedikit mulai kehilangan momentumnya akibat supremasi dialek Quraisy yang didukung otoritas khalifah (perlu dicatat bahwa semua khalifah berasal dari suku Quraisy). Pasca kodifikasi, semua varian qirā’āt mau tidak mau harus menyesuaikan dengan kodeks resmi. Konsekuensinya, banyak varian bacaan yang sebenarnya masih dalam koridor sab’at aḥrufterpaksa “punah” hanya karena ia tidak bisa diakomodir oleh rasm Uthmānī.

Memungkasi artikelnya, penulis seakan ingin meninggalkan kesan yang dramatis nan melankolis; bahwa di balik euforia dan gemerlapnya kodifikasi kodeks resmi, ada pula kisah indah perjalanan sab’at ahruf yang harus berakhir sampai disini.

Tentu usaha Munir belum bisa dikatakan paripurna. Hemat saya, beberapa catatan di bawah ini perlu dipertimbangkan kembali untuk semakin mengokohkan argumennya. Pertama, Ikhwan tidak mengebalorasi lebih dalam terkait QS. 14:04 yang dijadikan legitimasi teologisbahwa al-Qur’ān diturunkan dengan dialek Quraisy. Padahal ayat tersebut sedang menegaskan bahwa al-Qur’ān menggunakan bahasa Arab–secara umum–tanpa terafiliasi dengan dialek mana pun secara eksklusif. Bahkan dalam literatur tafsir klasik seperti al-Ṭabarī, al-Rāzī, al-Zamakhsharī, dan al-Qurṭūbī, tidak ada satu pun yang mengafiliasikan bahasa al-Qur’ān dengan dialek tertentu. Seharusnya celah ini bisa dimanfaatkan sebagai counter attack terhadap pandangan mayoritas. Selain ayat di atas, riwayat Uthmān yang menegaskan bahwa al-Qur’ān menggunakan dialek Quraisy hanya dipaparkan begitu saja tanpa diberi catatan kritis. Pengabaian akan dua hal ini menjadikan tawaran Munir ini tidak memiliki landasan teologis yang kokoh.

Kedua, kendati analisis ini secara umum sangat kaya dengan tinjauan fakta sosio-historis, namun masih terdapat fakta yang nampaknya terlewatkan. Misalnya dalam kasus pembakaran kodeks non-otoritatif oleh Uthmān yang di-framing telah melenyapkan beragam varian qirā’at yang tidak sesuai dengan ortografi (rasm) otoritatif. Proses panjang dan negosiasi alot dalam peristiwa ini tidak ditampilkan secara utuh sehingga menimbulkan kesan ironis tersebut. Walaupun keputusan memang berada di tangan Uthmān sebagai khalifah, namun cikal bakal keputusan ini didorong oleh banyak tokoh yang bersepakat dan legawa untuk melenyapkan mushaf selain Quraisy. Hal ini disebabkan kegelisahan para sahabat kala itu tatkala melihat ragam pembacaan yang semakin liar dan tidak kondusif.

Alā kulli ḥāl, tawaran yang berani dalam artikel ini memberikan angin segar dalam studi al-Qur’ān. Paradigma kita selama ini yang cenderung teologis perlahan bergeser menuju arah yang akademis dan kritis, sebagaimana ajakan Ikhwan untuk “goes beyond theological arguments”.

How to cite this article: Syamil Basyayif, “Meninjau Ulang Bahasa Tuhan: Reviu Artikel Munirul Ikhwan”, studitafsir.com (blog), 4 Desember, 2024 (+ URL dan tanggal akses)

Artikel yang direviu bisa didownload di sini.

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 30

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Unknown