Tafsir Tematis dalam Sorotan
Oleh: Izatul Muhidah
Tulisan yang sedang di-review ini adalah hasil kajian Fejrian Yazdajird Iwanebel terhadap gelombang perkembangan tafsir tematik di Indonesia, yang dibahas dalam artikel berjudul “Genealogi dan Tipologi Tafsir Maudhū’ī di Indonesia” dalam buku yang diterbitkan AIAT se-Indonesia bertajuk Tafsir al-Qur’an di Nusantara. Survey yang dilakukan Iwanebel mencakup karya tafsir yang berupa buku, artikel, disertasi, dan tulisan lepas yang mengikuti kerangka metodologis tafsir tematik, baik dari kalangan akademisi, maupun yang lahir dari institusi negara atau komunitas pesantren. Iwanebel jelas memperlebar definisi tafsir, dengan tidak terbatas pada karya-karya tafsir konvensional yang berjilid-jilid.
Yang menarik dan perlu digaris-bawahi adalah ambisi Iwanebel untuk menilai apakah pelaksanaan tafsir tematis yang dilakukan (das sein) oleh para mufassir di Indonesia sudah sesuai dengan teori tafsir tematik yang dirumuskan (das sollen), baik oleh para pegiat tafsir tematik di dunia, maupun yang di Indonesia. Point ini sekaligus menjadi hal yang membedakan tulisan Iwanebel dari para pengkaji trend tafsir tematik yang lain.
Iwanebel menyebut bahwa tafsir tematik di Indonesia muncul pada abad ke-20, bersamaan dengan lahirnya semangat kontekstualisasi nalar keislaman oleh para intelektual muslim di seluruh dunia, khususnya Mesir (lewat karya Muḥammad al-Ghazalī, Maḥmūd Shalṭūt, al-Ḥusainī Abū Farḥah dan ʿAbd al-Ḥayy al-Farmawī), tak terkecuali Indonesia. Di awal fase kristalisasinya, kemunculan tafsir tematik dianggap mampu menjadikan teks al-Qur’an menyelesaikan problem sosial: sebuah keyakinan yang melambungkan pamor metodologi tafsir ini di fase selanjutnya.
Obsesi menjadikan al-Qur’an pemecah persoalan ini bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, ia terlihat megah karena meletakkan al-Qur’an di atas segala hal. Di sisi lain, sebagaimana yang ditulis Iwanebel, “model ini jelas memiliki nuansa pragmatik dalam paradigm penafsirannya. Tafsir diandaikan tidak hanya mengunggah kehendak ilahiah, namun harus mampu menjawab problem sosial kemasyarakatan. Sehingga nilai tafsir tidak terletak pada sebanyak, seluas dan sedalam apa uraian penafsiran terhadap Al-Qur’an, namun lebih pada seberapa jauh tafsir itu berdampak pada masyarakat.”
Ambisi Tafsir Tematis dan Fakta di Lapangan
Sebagai sebuah genre, tafsir tematis lahir sebagai kritik atas model karya tafsir taḥlīlī yang dianggap repetitif, berjilid-jilid, mahal dan berat dibawa. Tidak mengherankan, beberapa penggagas tafsir tematik seperti Hassan Hanafi secara menggebu-gebu menyebut potensi tafsir tematis untuk memunculkan seorang mufassir yang memberi makna secara aktif, bukan hanya menerima secara pasif.
Dalam artikelnya, Iwanebel membuat dua acuan analisa: kerangka metodologis dan kerangka hermenutika filosofis. Di yang pertama, ia menyebut adanya beberapa tipologi tafsir tematik di Indonesia, yang mencakup: (1) pembahasan tema sosial yang direfleksikan terhadap ayat al-qur’an, (2) kombinasi tematik antara konsep-konsep dalam al-Qur’an, dan (3) tafsir tematik dengan orientasi kontekstual. Yang disebut terakhir ini menjadi tipologi baru yang sedang trending di Indonesia.
Sedangkan dalam diskursus hermeneutika filosofis, Iwanebel mengetengahkan dua kategori interpretasi atas teks suci: textual logic jika teks mengendalikan interpretasi pembaca, dan author logic jika pembaca mengkontrol makna teks. Dalam hal ini, mayoritas penafsiran Maudhu’i di Indonesia mengikuti pola yang kedua. Struktur penafsiran lebih didominasi oleh refleksi penafsir terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait dengan topik tersebut. Ini turut menjelaskan mengapa karya tafsir tematis yang dihasilkan para mufassir di Indonesia tidak mengikuti tujuh langkah metodologis tafsir tematis yang digagas oleh al-Farmawī. Lebih jauh, Iwanebel mencatat: “dalam wilayah aplikatif, mayoritas penafsiran yang ada di Indonesia tidak melibatkan standar dan langkah metodis yang utuh. Terlihat, aspek kronologisasi ayat yang mengacu pada konsep nasikh-mansiikh tidak cukup teraplikasikan dengan baik, atau bahkan terabaikan”.
Secara umum, penjelasan Iwanebel terhadap batasan tafsir tematik di Indonesia beserta tipologinya mudah dipahami pembaca. Ia menjelaskan perkembangan tafsir tematik yang berkembang di Mesir, sebagai pusat perkembangan tafsir tematik berada dan bagaimana sebagai wacana keilmuan, tafsir tematik akhirnya sampai ke Indonesia. Meski melontarkan kritik, Iwanebel tidak secara eksplisit menyebut bahwa dia “menyukai” atau tidak “menyukai” tafsir tematik, sebuah sikap yang kita penasaran dan tunggu-tunggu, mengingat kiprah tafsir tematis yang telah menusuk jauh ke jantung karya akademik yang lahir di pendidikan tingkat tinggi, tempat Iwanebel berkecimpung selama ini.
How to cite this Article: Izatul Muhidah, “Tafsir Tematis dalam Sorotan”, studitafsir.com (blog), 7 Agustus, 2024 (+ URL dan tanggal akses)