
Jurnal Nun dan Matinya Kajian Tafsir Klasik: a Preliminary Survey
Oleh: Mu’ammar Zayn Qadafy
Sejak didirikan tujuh tahun silam (Agustus 2014), AIAT (Asosiasi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir) se-Indonesia terus memprakasai program-program unggulan. AIAT tak butuh waktu lama untuk menasbihkan kredibilitas dirinya sebagai organisasi akademik. Dukungan dari tokoh-tokoh penting terus mengalir, dan hingga kini, ratusan akademisi secara resmi mendaftarkan keanggotaannya di asosiasi ini. Tak hanya dari kalangan dosen, persebaran anggota AIAT mencakup mahasiswa, kiyai, santri, maupun pengamat Tafsir secara umum.
Selain seminar, konferensi dan pengajian Tafsir rutin, pengelolaan Jurnal Nun secara berkala (dua kali setahun) adalah salah satu agenda yang dirancang untuk menyemarakkan kajian-kajian akademik tentang kitab suci umat Islam dan ragam pemahaman tentangnya. Dengan posisi strategis yang diduduki AIAT sekarang, publikasi jurnal Nun selalu dinanti. Tidak berlebihan jika disebut bahwa Jurnal Nun menjadi satu alternatif barometer untuk menakar dan memprediksi arah studi al-Qur’an di Indonesia ke depan.
Tulisan ini ditujukan untuk menganalisa tema dan konten 75 artikel yang diterbitkan Jurnal Nun mulai edisi pertama (vol. 1, no. 1, 2015) hingga edisi terakhir (vol. 6, no. 2, 2020), minus vol. 2 tahun 2015 yang tidak bisa diakses. Hal-hal teknis seputar kualitas pengelolaan Jurnal Nun bukan menjadi bagian dari apa yang akan dibahas di sini.
‘Genre Terpopuler: Kajian Tafsir di Indonesia’
Tema Kajian yang menjadi primadona dalam enam tahun Jurnal Nun terbit adalar seputar ‘Pemikiran Tafsir di Indonesia Modern (Abad ke-20) (31%). Karya-karya M. Quraish Shihab dan HAMKA (1908-1981) menjadi yang paling sering dikaji: tiga kali untuk yang pertama, dan empat kali untuk yang kedua.
Menyusul kajian tentang dua tokoh sentral ini, empat artikel mendeskripsikan perkembangan umum dari Studi Tafsir di Indonesia, masing-masingnya dari sisi sejarah, media yang digunakan, pemakaian media sosial dan kuasa politik.
Tiga belas artikel sisanya secara merata membahas pemikiran tafsir dari tokoh-tokoh yang berbeda: Nurcholis Majid (1939-2005), Mahmud Yunus (1899-1982), Sjafruddin Prawiranegara (1922-1989), Thaifur Ali Wafa (Sumenep, lahir 1964), H.B. Jassin (1917-2000), Dawam Raharjo (1942-2018) dan Kuntowijoyo (1943-2005), Faisal Ismail, Moh. Diponegoro (1928-1982), Mohammad Irsyad, Moqsith Ghozali (Situbondo,Lahir 1971), Syafiq Munawwar, dan Harun Nasution (1919-1998).
Selain ‘pemikiran Tafsir Indonesia modern’, dua topik ke-Indonesia-an lain yang muncul di Jurnal Nun adalah Kajian filologi atas ‘naskah Mushaf dan tafsir berbahasa Arab’ (10%) serta ‘Living Qur’an’ (9%) di Nusantara. Di yang pertama, ada kajian tentang al-Iklīl fī Ma’ānī-l-Tanzīl dan Tāj-l-Muslimīn karya Misbah Musthafa (1916-1994), Jāmi‘-l-Bayān min Khulaṣat Suwar Qur’ān karya Muhammad Ibn Sulaiman Ibn Zakariyya al-Solowi (1911-1991), Kitab Tafsir Kiyai Sholeh Darat (1820-1903?), Manuskrip Mushaf H. Abdul Ghaffar (w. sekitar 1927) di Madura, Fath-l-Kabīr karya Mahfudz Termas (1868-1920), Tarjuman-l-Mustafid karya Abdul Rauf al-Sinkili (1615-1693), serta kajian tentang Mushaf pojok Kudus.
Sementara untuk Living Qur’an, cakupannya meliputi kajian terhadap kaligrafi (karya Syaiful Adnan) (Sumbar, lahir 1957), serta wajah (bagian tertentu dari) al-Qur’an sesuai persepsi masyarakat lokal, seperti masyarakat suku Kaili (Sulawesi Tengah), pedagang di pantai Muaro Lasak, suku Bismo serta masyarakat Madura secara umum. Ada juga kajian teoretis tentang ‘Living Qur’an dalam Hadith.
Diseminasi fokus riset ke-Indonesiaan ini menunjukkan kesuksesan Jurnal Nun dalam mewujudkan tagline-nya sebagai pelopor ‘kajian al-Qur’an dan tafsir di Nusantara’. Jika ketiga tema ke-Indonesia-an di atas digabung, cakupannya mencapai separuh (50%) dari seluruh konten Jurnal Nun.
‘Metodologi Tafsir Kontemporer’
Selanjutnya, ‘Metodologi Tafsir Kontemporer’ menjadi bahasan utama terpopuler kedua dalam sejarah penerbitan Jurnal Nun (35%). Masing-masing dari topik ‘kontekstualisasi al-Qur’an’ dan ‘Hermeneutika’ dibahas empat kali, sedangkan masing-masing dari topik ‘Tafsir di Pesantren’ dan ‘integrasi al-Qur’an dan sains dibahas dua kali.
Masih berkaitan dengan studi Qur’an di dunia Muslim, terdapat 9 artikel yang mendiskusikan kitab tafsir karya sarjana Muslim modern yang berasal dari luar Indonesia. Porsi paling banyak diberikan kepada pemikiran Muhammad Shahrur (1938-2019) (3 artikel), sementara enam sisanya secara merata menyoroti aspek tertentu dari pemikiran Muhammad Tahir Ibn Ashur (1879-1973), Abdullah Saeed (lahir 1960), Amina Wadud (lahir 1952), Ashgar Ali Engineer (1939-2013), Muhammad Ahmad Khalafullah (1916-1991), dan Imran Hosein (lahir 1942).
Di sisi lain, terdapat lima artikel yang fokus pada studi Qur’an di Barat. Dua di antaranya mengupas pemikiran masing-masing dari David S. Powers dan Nicolai Sinai. Dua yang lain memusatkan pembahasannya pada posisi Qur’an di konteks Late Antiquity menurut Angelika Neuwirth. Sedangkan satu artikel berbicara tentang pemetaan studi al-Qur’an di Barat secara umum.
Angka-angka di atas jelas menunjukkan bobot yang tidak seimbang antara atensi akademik yang diberikan pada perkembangan terkini dari kesarjanaan modern di dunia Muslim dan di Barat. Artikel tentang David S. Powers dan Madhhab revisionis yang ia usung menjadi satu-satunya artikel di Jurnal Nun yang membahas topik kontroversial, mengingat Nicolai Sinai dan Angelika Neuwirth adalah dua sarjana modern yang dikenal sebagai dua pembela sejarah Islam tradisional.
Untuk menyeimbangkan arus kesarjanaan Jurnal Nun yang belum keluar dari kerangka metodologi tafsir tradisional di atas, barangkali sudah saatnya ada yang melakukan kajian terhadap metode tafsir Qur’anis yang digawangi oleh Gabriel Reynolds; atau metode intertekstualitas ala Emran el-Badawy.
Menurunnya Ambisi ‘Menafsirkan al-Qur’an’ dan ‘Masa Kelam dari Kajian Tafsir Era Awal dan Pertengahan’
Survey yang kami lakukan menunjukkan animo yang menurun drastis untuk riset-riset yang mencoba menggali makna al-Qur’an secara langsung. Hanya ada tujuh artikel (9%) yang mengusung genre ini, dengan enam di antaranya ditulis dengan anatomi tafsir tematik. Masing-masingnya menelaah perspektif al-Qur’an tentang teologi bencana, cita-cita Tuhan, tulang Sulbi, kepribadian, khusyuk serta makna adagium ‘Berhukum dengan Hukum Allah‘. Pola pembahasan yang sedikit berbeda ditunjukkan oleh satu artikel yang secara analitik menafsirkan Q. 18: 83-101 tentang Ya’juj-Ma’juj.
Adapun dua tema paling tidak difavoritkan di Jurnal Nun adalah kajian Ulumul Qur’an tradisional (4 artikel, 5%) dan kajian tafsir klasik (1 artikel, 1%). Untuk tema pertama, empat artikel masing-masing mengupas teori Mawāqit-l-Nuzūl, kodeks Abdullah Ibn Mas’ud, Asbāb-l-Nuzūl, dan Alfād-l-Qur’ān. Sementara untuk tema kedua, hanya ada satu artikel yang mengusung pemikiran al-Razi (1150-1210).
Tidak populernya ‘studi tafsir’ era awal dan pertengahan di Jurnal Nun jelas berbanding terbalik dengan menanjaknya kajian serupa di akademisi Barat.
Dalam kesarjanaan tafsir kontemporer, tafsir Ṭabarī (w. 310/ 923) dianggap mewakili awal era pertengahan. Ia memuat data yang kaya mengenai penafsiran para mufassir yang mendahuluinya. Sementara al-Durr al-Manthūr karya Suyūṭī (849-911/1445-1505) adalah puncak era pertengahan sekaligus penanda dimulainya era modern, karena ditangannya, ilmu-ilmu al-Qur’an mencapai kematangan klimaks. Kajian terhadap kitab-kitab tafsir yang muncul di antara keduanya masuk dalam kategori tafsir pertengahan.
Di Barat, kajian atas tafsir klasik dan pertengahan ini masih menjadi topik perbincangan yang hangat. Sarjana modern seperti S.R. Burge, Karen Bauer, Martin Nguyen, Walid Saleh, Andrew J. Lane, dan Annabel Keeler masih sampai sekarang serius mengungkap detil-detil sejarah intelektual yang misterius dan tersembunyi di balik kitab-kitab klasik tersebut. Sementara di saat yang sama, para sarjana Tafsir di Indonesia terkesan menganggap kajian tentang Tafsir era Pertengahan (dan klasik) telah sampai pada jalan buntu (baca: stagnan).
Fenomena “ketidak tertarikan” terhadap kajian tafsir era pertengahan ini bisa dijelaskan dari beberapa perspektif. Pertama, perkembangan teknologi yang sedemikian pesat memudahkan akses terhadap kitab-kitab klasik dan pertengahan. Di dalam software Maktabah Shāmilah misalnya, ratusan kitab dari berbagai genre bisa ditelusuri dalam waktu yang singkat. Familiaritas terhadap karya-karya ini mendekatkan para akademisi pada kitab-kitab yang dimaksud dan secara psikologis membuat mereka merasa telah “mengetahui” konten dan kekhasan masing-masing kitab tersebut.
Kedua, kebergunaan pragmatis. Tak bisa dipungkiri, kajian-kajian mendalam mengenai metodologi sebuah kitab tafsir tertentu adalah konsumsi akademis yang kegunaan praktisnya terbatas hanya pada karya-karya akademik, seperti skripsi, tesis dan disertasi. Pada kasus PTAIN, motivasi kajiannya masih harus dibagi antara keperluan akademik atau keperluan dakwah keagamaan. Yang pertama menjadikan studi Tafsir alat untuk menulusuri sejarah intelektual Islam, sementara yang kedua fokus pada penggalian makna, hukum dan pesan-pesan al-Qur’an untuk diterapkan pada kehidupan sehari-hari.
Ketiga, bahkan untuk para akademisi sekalipun, kajian tafsir era pertengahan bukanlah hal yang mudah karena menghajatkan bacaan yang banyak dan mendalam tentang satu atau beberapa tokoh dan periode tertentu yang ditekuni.
Catatan Akhir
Sebagaimana klaim kami di awal tulisan ini, survey ini tidak bermaksud mereview performa Jurnal Nun. Baik-buruknya manajemen pengelola Jurnal Nun bukanlah hal yang ingin kami potret. Dengan memetakan tema-tema yang muncul dalam 75 artikel yang telah terbit di Jurnal Nun, tulisan ini ingin mengungkap trend studi al-Qur’an yang sedang ‘digandrungi’ akademisi Indonesia.
Sesuai dengan tagline yang diusung Jurnal Nun, kajian tentang pemikiran tafsir di Indonesia (baik modern maupunn klasik) menjadi primadona dalam satu dasawarsa terakhir. Menyusul di belakangnya, kajian atas metodologi tafsir kontemporer yang diusung sarjana Muslim dari luar Indonesia. Satu temuan yang patut mendapat perhatian serius adalah ‘hampir hilangnya’ ketertarikan akademik mengenai tafsir era klasik dan pertengahan.
Jika Jurnal Nun dianggap sebagai medan pertarungan (battlefield) dari ide-ide kesarjanaan Qur’an dan tafsir, maka kajian atas sejarah intelektual Tafsir era klasik dan pertengahan sekarang tengah diambang kekalahan. Ia sudah tersudut di ujung ring tinju, satu pukulan telak akan mengakhiri riwayatnya.
Tapi dia belum menyerah. Ada para dosen dan pemerhati tafsir klasik dan pertengahan yang dari belakang terus berteriak. Sayangnya, amunisi-amunisi yang mereka bawa belum ter-upgrade dan masih sangat monoton lagi membosankan.
Di momen kritis inilah, studitafsir.com muncul. Ia ingin menyuntikkan energi tambahan, sekaligus menyadarkan siapapun yang memiliki concern terhadap kajian sejarah intelektual tafsir (utamanya era klasik dan pertengahan), bahwa pertarungan wacana masih belum berakhir.
How to cite this Article: Mu’ammar Zayn Qadafy, “Jurnal Nun dan Matinya Kajian Tafsir Klasik: Preliminary Survey’, studitafsir.com (blog), July 2, 2021 (+ URL dan tanggal akses).