Reartikulasi Dogmatik al-Qur’an atas Konsep-Konsep Inti dalam Injil Aramaik: Review Buku Emran El-Badawi
Oleh: Mu’ammar Zayn Qadafy
Buku Christoph Luxenberg berjudul Die Syro-aramäische Lesart des Koran (terbit 2000) secara ‘membabi-buta‘ mengelaborasi tesis tentang dialog al-Qur’an dengan Kitab Suci Agama-Agama kuno. Disebut demikian, karena si penulis dengan pd-nya mengklaim bahwa al-Qur’an tidak ditulis dalam bahasa Arab, melainkan dalam bahasa campuran Arab-Aramaik, yang menurutnya menjadi lingua franca di masa Nabi Muhammad.
Tesis Luxenberg ini bermasalah karena setidaknya dua hal: pertama, meskipun kesarjanaan modern sepakat bahwa Aramaik (atau disebut juga Syriak-Aramaik) adalah bahasa utama Near East saat itu, ini tidak cukup membuktikan bahwa bahasa Arab telah menjadi bahasa yang tercampur dengan bahasa Aramaik, sehingga premis Luxenberg bahwa bahasa campuran ini adalah bahasa yang dipakai al-Qur’an sangat lemah.
Kedua, premis dasar ini mengantarkan Luxenberg pada metodologi yang fatal. Ia meyakini bahwa pada perkembangannya, Muslim generasi awal tidak mampu memahami jargon-jargon Arab-Aramaik dalam al-Qur’an sehingga mereka mengembangkan teknik diakritik yang menjadikan huruf-huruf itu lebih dekat dengan bahasa Arab klasik. Luxenberg lalu mengusulkan agar tanda pengenal huruf ini dibuang, lalu susunan konsonantal yang tersedia dibaca ulang dengan kosa kata Aramaik yang sesuai. Jadilah eksperimen Luxenberg terlihat seperti bongkar-pasang kosa kata yang arbitrer dan, to some extent, ngawur.
Dua kelemahan metodologis ini menjadi alasan mengapa buku Luxenberg tidak cukup disambut dengan tangan terbuka oleh para pengkaji asal-usul al-Qur’an. Di saat yang sama, kemunculan karya Emran El-Badawi (Houston) berjudul The Qur’an and The Aramaic Gospel traditions pada 2014 dianggap sebagai terobosan penting dalam pelacakan al-Qur’an ke konteks Late Antiquity.
Islam dan Agama-Agama Zaman Late Antiquity (Abad Kuno Akhir)
Istilah Late Antiquity (selanjutnya disebut LA) merujuk pada abad peralihan dari Abad klasik ke Abad Pertengahan, yang terjadi di daratan Eropa, wilayah Mediterania dan Near East. Meski batasan definitif-nya masih menjadi perdebatan, rata-rata sejarawan memasukkan abad ke-3 (ditandai dengan krisis kekaisaran Romawi) hingga 8 M (periode Islam awal) ke dalam fase LA. Emran Badawi memulai bukunya dengan pembahasan mengenai kemunculan Islam dalam konteks LA ini. Ia meyakini bahwa profesi Muhammad sebagai seorang pebisnis ulung dari suku aristokrat Quraish di Makkah pasti memberinya banyak kesempatan untuk berdialog dengan populasi Kristen-Aramaik yang rute dagangnya melewati Hijaz dan semenanjung Barat Arab.
Bukti utama yang diajukan oleh Badawi adalah al-Qur’an sendiri, yang menurutnya turut merespon tradisi-tradisi keagamaan yang heterogen. Iklim dialog sektarian di masa turunnya al-Qur’an sangatlah hidup (heated). Dalam konteks inilah penunjukan al-Qur’an yang diskursif atas keberadaan komunitas-komunitas beragama menjadi masuk akal, misalnya penyebutan Mu’minūn vis a vis Muslimūn (Q. 49: 14), al-Yahūd, Banū Isrāʾīl, Naṣārā, Ahl al-Injīl (Q. 5: 47), Ahl al-Kitāb, Ummiyyūn, Ṣābiʾūn (Q. 5: 69; 22: 17), Majūs (Q. 22: 17), Ḥunafāʾ (Q. 22: 31) vis a vis Mushrikūn, Munāfiqūn dan Kuffār.
Terhadap kredo-kredo dalam kelompok-kelompok ini, al-Qur’an menawarkan apa yang disebut Badawi sebagai reartikulasi dogmatis (dogmatic rearticulation). Artinya, al-Qur’an secara selektif mempertanyakan (challenged) dan membuat penyesuaian (reappropriated) terhadap konsep-konsep yang lebih dulu berkembang dalam tradisi Injil Aramaik agar sesuai dengan monoteisme yang ia akan kembangkan di budaya dan watak keagamaan audiens sektarian Arab yang heterogen (hal. 4-5). Di masa itu, orang-orang Kristen berbahasa Arab menggunakan bahasa Arab untuk keperluan sehari-hari dan bahasa Aramaik untuk urusan liturgi. Merekalah yang menjadi agen budaya dalam penyerapan berbagai elemen tradisi Injil Aramaik ke dalam tradisi lisan Arab pra-Islam, unsur-unsur yang akhirnya terekam dalam Al-Qur’an. Bisa dikatakan bahwa Ide-ide Kristiani memang mengepung kelahiran al-Qur’an dari beragam penjuru, khususnya yang berkembang di lingkungan Kristen dalam literatur Syriak-Aramaik (hal. 27).
Jelasnya, buku Badawi ini menentang adanya campur tangan teks-teks Yahudi dan Kristen terhadap teks al-Qur’an pra-kanonisasi, juga menentang istilah-istilah problematis yang disematkan terhadap al-Qur’an, seperti bahwa ia ‘terprengaruh’ atau ‘sekedar meminjam’ konsep-konsep Yahudi dan Nasrani (hal. 8). Sebagai catatan, kecenderungan yang diinisiasi oleh Abraham Geiger (1810-1874) dan dilanjutkan oleh Claude Gilliot (lahir 1940) ini, menurut Badawi, sudah bukan menjadi arus mainstream para pengkaji Islam awal (hal. 22-23). Buku Badawi sedang meneruskan model kesarjanaan Sidney Griffith (Washington), Kevin van Bladel (Yale), Yousef Kouriyhe (Berlin) dan Joseph Witztum (Jerusalem) yang melihat keterpengaruhan Bahasa Arab oleh Bahasa Aramaik (baca: keterpengaruhan al-Qur’an oleh Injil Aramaik) adalah sesuatu yang secara kultural wajar dan tidak perlu dibesar-besarkan.
Buku Badawi ini bekerja dalam sebuah metode paralelisasi sistematik antara al-Qur’an dengan Injil-Injil Aramaik yang beredar antara tahun 180-616 M (hal. 30-35). Sementara untuk sumber-sumber Islam selain al-Qur’an, Badawi menggunakan karya-karya awal tentang sastra dan kebudayaan masyarakat pagan pra-Islam, seperti Jamharāt al-Ashʿār karya al-Qurashī (w. 170/786) dan Kitāb al-Aṣnām karya al-Kalbī (w. 206/821?), kitab-kitab sīrah seperti karya Ibn Isḥāq (w. 151/768) dan Abū Miknāf (w. 157/774), kitab-kitab hadith seperti karya Bukhārī (w. 256/870) dan Muslim (w. 261/875), kitab-kitab ʿUlūm al-Qurʾān seperti karya al-Farrāʾ (w. 207/822), dan kitab-kitab tafsir yang memiliki concern terhadap kajian intertekstualitas seperti karya Muqātil (w. 150/767) dan al-Biqāʿī (w. 808/1460).
Untuk membuktikan thesis besarnya tentang reartikulasi dogmatis yang dilakukan al-Qur’an, Badawi mengajak pembacanya melalui beberapa fragmen penting. Di bab 2, ia mengulas ‘tradisi kenabian‘ sebagai narasi utama dari keberagamaan Late Antiquity yang menghubungkan al-Qur’an dan Injil-Injil Aramaik. Bab-bab selanjutnya adalah aplikasi dari paralelisasi kitab-kitab suci ini yang oleh Badawi disusun berdasarkan tema yang berkesinambungan. Bab 3 mengupas “Para Nabi dan Pengikut setianya”; Bab 4 membahas “Kejahatan-kejahatan para Pendeta;” Bab 5 menyelidiki “Alam Ilahi;” dan Bab 6 mengeksplorasi “Penghakiman Tuhan dan Kiamat”. Sebagai kesimpulan, bab 7 merangkum temuan-temuan dari bab 3–6, menyusun tipologi rinci dari hubungan linguistik yang terbangun, dan merumuskan rekonstruksi tentatif tentang bagaimana lingkungan Al-Qur’an menyerap dan mengartikulasikan bahasa Injil Aramaik.
Contoh (1): dari ḥanpê ke ḥunafāʾ
Untuk memperjelas kontribusi Badawi, akan diketengahkan elaborasinya atas kata ḥunafā dalam al-Qur’an dan padanannya dalam bahasa Aramaik. Di yang kedua, term ḥanpê (tunggal: ḥanpā) memiliki cakupan makna yang luas, mencakup “orang-orang kafir, pagan, tidak bertuhan, munafik, duniawi, tidak beriman, murtad atau kelompok non-Yahudi“. Badawi meyakini, paling tidak salah satu dari kelompok ini eksis di Hijaz abad ke-enam. Istilah ḥanpê dalam bahasa Syriak Aramaik ini lalu diartikulasikan oleh al-Qur’an sebagai ḥunafāʾ (dalam bahasa Arab), yang lalu kehilangan makna peyoratifnya dan mengerucut maknanya sebagai komunitas monoteis yang tidak Yahudi dan tidak pula Kristiani (hal. 63).
Informasi al-Qur’an bahwa Ibrahim, yang lahir sebelum Yahudi dan Kristen, adalah seorang ḥanīf (Q. 3: 67) merupakan usaha al-Qur’an untuk melepaskan Ibrahim dari sifat-sifat buruk yang dikandung oleh kata ḥanpê. Al-Qur’an dengan demikian hanya mengambil beberapa alternatif makna yang terkandung dalam kata tersebut. Ibrahim disebut ḥanīf adalah karena dia bukan Yahudi atau Kristiani, dan bukan seseorang yang menyembah banyak Tuhan (polytheis).
Sementara itu, para sejarawan meyakini keberadaan komunitas ḥunafāʾ di fase kelahiran Islam di Hijaz. Lüling misalnya menyebut Hanifisme sebagai bentuk ke-Kristen-an tertua di Arab yang anti trinitas, sedangkan Nashr Ḥāmid Abū Zayd (1943-2010) memandang ḥunafāʾ sebagai figur-figur yang berada dalam fase transisi dari paganisme Arab ke ke-Kristen-an, seperti Waraqah Ibn Naufal, ʿUthmān Ibn Ḥuwayrith dan ʿUbaydullāh Ibn Jaḥsh.
Contoh (2) Penentangan al-Qur’an tentang Konsep ‘Tuhan Beranak‘
Teks-teks agama masa LA di Near East cenderung menyamakan dan tidak menekankan perbedaan konotatif dari istilah ‘Hamba Allah’ dan ‘Anak Allah’ (Badawi merujuk pada teks-teks berikut: Genesis 6: 2-4, Matthew 5: 9, Romans 8: 14, 19, dan Galatians 3: 26). Al-Qur’an tidak meneruskan trend ini, karena dalam worldview monoteisme yang diusung al-Qur’an, keesaan Tuhan adalah harga mati yang tidak bisa ditawar. Salah satu contoh eksplisit dari usaha al-Qur’an untuk melakukan reartikulasi dogmatis terhadap kebiasaan teks-teks keagamaan kuno ini adalah penolakannya terhadap kemungkinan penyisipan makna Tuhan Beranak, setipis apapun itu.
Q. 5: 18 mengafirmasi bagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani mengeluarkan klaim bahwa mereka adalah anak-anak Tuhan (Arab: Abnāʿullāh, Aramaik: bnūhī d-alāhā). Klaim semacam ini, dengan alasan apapun, tidak bisa diterima oleh standar monotoisme kaku yang diusung al-Qur’an yang justru memberi pembedaan total antara Tuhan yang dan ciptaannya (hal. 96).
Contoh (3): Konsep Shafāʿah
Baik al-Qur’an maupun Injil mengamini bahwa manusia adalah makhluk yang tidak berdaya dan sepenuhnya bergantung pada kasih sayang Tuhan agar terbebas dari siksa neraka. Bedanya, Injil memperkenalkan sosok Mesiah yang nanti di hari akhir turut menghakimi dan memberikan pertolongan pada manusia, sebuah konsep yang jelas ditentang oleh al-Qur’an. Jadilah, diskursus tentang orang ketiga yang bisa mengintervensi keputusan Tuhan menjadi isu hangat dalam al-Qur’an.
Kata shafāʿah yang dalam bahasa Arab sering diterjemahkan sebagai ‘perantara‘ (intercession), menurut Badawi, sangat dekat dengan istilah Šêfʾā dalam bahasa Syriak yang berarti ‘kondisi yang melimpah’ (abundance). Kata ini bisa digunakan untuk konteks Tuhan yang melimpah rahmatnya, atau manusia yang melimpah amal kebaikannya pada orang lain. Makna ‘keberlimpahan’ ini terdapat dalam beberapa ayat al-Qur’an seperti Q. 2: 48, 123, 254; 7: 53, dan 40: 18.
Tetapi ada ayat-ayat lain yang menjelaskan bahwa ‘keberlimpahan’ di hari akhir ini bisa datang dari orang selain Tuhan jika Ia menghendaki (idhn, Q. 2:255; 10:3; 20:109; 34: 23), dari malaikat yang telah Ia perkenankan (ridhā; Q. 21: 28; 53: 26), dari mereka yang sudah dijanjikan oleh Tuhan mampu memberi shafāʾah (ʿahd; Q. 19: 87), atau dari mereka yang telah menyaksikan kebenaran (shāhid bi al-ḥaqq; Q. 43: 86). Kesemuanya ini adalah kasus di mana al-Qur’an mengandaikan adanya perantara antara Tuhan dan manusia di hari akhir (hal 191).
Al-Qur’an, tandas Badawi, jelas melakukan reartikulasi dogmatik dalam konsep shafāʿah ini dengan menjaga jarak dari dimensi trinitarian antara Tuhan, Ruh Kudus dan Yesus (sebagaimana dalam teologi Kristiani) yang bertentangan dengan ide dasar monoteisme. Kesimpulan al-Qur’an sangatlah jelas, bahwa pada hakikatnya, yang bisa memberi shafāʿah hanyalah Allah saja (qul lillāh al-shafāʿah jamīʿan, Q. 39: 44, lihat juga Q. 6: 51; 32: 4).
Kontribusi Teoretis (Kesimpulan)
Sepanjang bab 3 hingga bab 6, Badawi mengajak pembaca untuk menyelam dalam kekayaan kosa kata al-Qur’an lewat istilah-istilah dalam bahasa Aramaik yang sudah dipakai lebih dulu oleh Injil di era LA. Bab 7 menyuguhkan analisa kuantitatif yang tidak kalah menariknya. Badawi misalnya menyimpulkan bahwa Injil Matius adalah yang paling sering berdialog dengan al-Qur’an dibandingkan Injil-Injil kanonik lain. Juga, bahwa 11% dari keseluruhan al-Qur’an berdialog dengan Injil Aramaik (bandingkan dengan asumsi Luxenberg yang mengandaikan hampir keseluruhan al-Qur’an!).
Reartikulasi dogmatis adalah cara al-Qur’an untuk menyuntikkan (imbues) kesan-kesan baru pada konsep-konsep yang lebih dulu ada di masa LA (hal. 138). Ini adalah strategi penting al-Qur’an dalam berdialog dengan tradisi Injil Aramaik. Strategi ini memungkinkan al-Qur’an untuk mempromosikan visi baru monoteisme yang kaku pada audiens Arab yang sektarian (hal. 207).
Buku Badawi ini menawarkan perpektif LA yang khas dalam memahami kosa kata al-Qur’an, yang jauh dari kesan polemik. Penelusuran Badawi atas kosa kata Injil Aramaik yang masih direkam oleh al-Qur’an didasari oleh asumsi-asumsi sistematik yang mampu meminimalisasi kesan riset yang arbitrer dan otak-atik-gathuk. Lebih lanjut, Badawi meyakini bahwa dialog antara al-Qur’an dan tradisi Injil Aramaik hanyalah satu bagian saja dari dialog intertekstual yang lebih luas antara al-Qur’an dengan teks-teks keagamaan kuno lain, seperti Psalms, Isaiah, Acts, Romans, tafsir-tafsir Rabbinik dan Kristen Homiletik.
Konsekwensi teoretis yang diusung buku Badawi ini sangat vital. Ia ikut menguatkan asumsi bahwa Hijaz di abad ke 6 dan 7 tidak seterpencil yang sementara ini dipahami. Hijaz adalah daerah yang secara intelektual hidup karena merupakan pusat bertemunya ragam agama dan keyakinan. Hijaz juga bukanlah tempat bagi orang-orang pagan yang banyak disebut kisahnya dalam kitab-kitab Sīrah. Badawi meyakini, komunitas pagan memang pernah menguasai Hijaz namun mereka sudah sangat melemah di masa Nabi Muhammad.
Sebagai seorang Muslim, sangat mungkin Badawi meyakini kalau Muhammad adalah Nabi terakhir. Tetapi ia sadar, riset atas asal-usul al-Qur’an akan menempuh jalan buntu jika dogma “Nabi dan Kitab suci terakhir” dijadikan landasan berfikir. Justru sebaliknya, paradigma yang musti dikembangkan adalah posisi al-Qur’an sebagai pengemban kontinuitas tradisi kenabian. Hanya dengan ini, peneliti atas al-Qur’an bisa menghargai al-Qur’an di satu sisi, dan teks-teks keagamaan Late Antiquity di sisi lain.
How to cite this Article: Mu’ammar Zayn Qadafy, “Reartikulasi Dogmatik al-Qur’an atas Konsep-Konsep Inti dalam Injil Aramaik: Review ‘The Qur’an Buku Emran El-Badawi”, studitafsir.com (blog), Mei 9, 2022 (+ URL dan tanggal akses).