Stefan Wild Menyoal ‘Anggur Putih’ Christoph Luxenberg

Oleh: Ziyadatul Fadhliyah

Kontroversi Christoph Luxenberg

Orisinalitas merupakan wacana seksi yang diperbincangkan sarjana al-Qur’an abad modern. Penelusuran ‘asal-muasal’ al-Qur’an (dengan segala kontroversinya) menjadi topik riset yang menantang. Beberapa orientalis, termasuk yang pemikirannya akan diulas dalam review ini, meyakini bahwa akar al-Qur’an bisa dilacak hingga ke kitab suci Yahudi dan Kristen: Taurat dan Bible.

Christoph Luxenberg adalah nama samaran seorang penulis berkebangsaan Lebanon yang merumuskan pendekatan baru dalam memahami bahasa al-Qur’an. Karena alasan keamanan, pengarang buku yang berjudul “The Syro-Aramaic Reading of the Qur’an” (download buku di sini) menyembunyikan nama aslinya. Pada saat diterbitkan untuk pertama kalinya, buku yang mengkaji komposisi dan makna al-Qur’an dari sudut pandang historis-linguistik ini di expose besar-besaran oleh banyak media serta mendapat respon yang beragam.

Dalam buku tersebut, si penulis menafsirkan ulang istilah Ḥūr dalam al-Qur’an. Kata yang jamak dipahami sebagai ‘bidadari’ ini, menurutnya tidak berasal dari bahasa Arab, melainkan Syro-Aramaic. Penelusurannya berakhir pada temuan kontroversial bahwa kata Ḥūr lebih tepat dimaknai sebagai ‘anggur putih’. Arti ini, menurutnya, senada dengan yang dimaksud oleh Bible, dan dengan sendirinya membuat al-Qur’an sejalan dengan kitab-kitab suci terdahulu. Adapun umat Islam, tegas Luxenberg, telah salah memahami kosa kata Kristen kuno ini sebagai ‘bidadari’ sebagaimana dalam Bahasa Arab. Luxenberg meyakini bahwa jika surga diidentikkan dengan kenikmatan dan kebahagiaan karena pelayanan para bidadari, deskripsi ini membuat surga seakan diperuntukkan untuk laki-laki dan berorientasi pada kepuasan seksual semata.

Metodologi yang dipakai Luxenberg adalah kritik sumber (Source-critical approach). Olehnya, kosa kata al-Qur’an ditulis tanpa menggunakan tanda titik dan harakat, lalu dipadu padankan dengan bahasa Arab dan bahasa Aramaic untuk mencari kecocokan-kecocokan. Metode ini dikritik dan diperdebatkan habis-habisan, khususnya oleh mereka yang meyakini bahwa transmisi al-Qur’an berjalan melalui lewat mushaf yang dijaga oleh Hafsah Bintu ‘Umar.

Buku Luxenbergh ini disusun berdasarkan beberapa asumsi dasar: pertama, bahwa bahasa suku Qurays yang dipakai al-Qur’an adalah bahasa hibrida Aramaic-Arab. Kedua, ia meyakini bahwa teks al-Qur’an pada awalnya ditransmisikan dalam bentuk tulisan gundhul (defitife Arabic Script), sehingga membuat orang awam yang tidak memiliki tradisi lisan sulit memahaminya. Bahkan para mufasir dan filolog Arab pun tidak pernah secara koheren menyepakati cara membaca lafal tertentu dalam al-Qur’an.

Cara kerja metodologi Luxenberg terbagi ke dalam tiga tahap: pertama, ketika ia menemukan kosa kata yang pemaknaannya janggal, ia memeriksa makna semantis kata tersebut dalam tafsir Ṭabarī (w. 310/ 923) dan Lisān-l-ʿArab untuk mendudukkan persoalan. Kedua, sikronisasi lewat pencarian lafal berbahasa Syro-Aramaic yang sama bunyinya (homonim) dengan kata berbahasa Arab yang hendak ia ganti. Jika belum mendapatkan hasil yang ia harapkan, Luxenberg melakukan pembacaan tulisan Arab dengan cara berbeda, yaitu dengan merubah titik dan harakat kata terkait lalu mencari padanannya di kosa kata Aramaic. Jika masih gagal, ia langsung menerjemahkan kosa kata bahasa Arab tersebut dalam bahasa Aramaic. Ia meng-klaim bahwa metodenya ini mampu menjadikan bagian-bagian al-Qur’an yang salah dan tidak logis menurut gramatika bahasa Arab, menjadi masuk akal jika dibaca dalam bahasa Aramaic.

Tidak hanya lafal Ḥūr, Luxenberg juga mengobrak-abrik pemahaman umat Islam selama ini tentang term wildān dan ġilmān, utamanya dalam kaitan keduanya dengan surga. Ia juga menafsirkan ulang surat al-Kauṯar dan al-ʿAlaq. Mengenai kata Ḥūr, Luxenberg menduga ada kesalahan dalam membaca زوج (menikah) yang seharusnya روح  (istirahat). Olehnya, kata Ḥūr ʿīn diartikan sebagai ‘Anggur Putih’ sebab surga bukan tempat untuk menikah. Sehingga kalimat زوجنهم بحور عين  (kami kawinkan mereka dengan bidadari bermata jeli) menjadi روحنهم بحور عين  (kami istirahatkan mereka dengan anggur putih).

Kritik

Adalah Stefan Wild (Berlin), sarjana yang terang-terangan tidak menyukai metode riset Luxenbergh. Artikel Wild yang berjudul ‘Lost in Philology’ menantang basis argumen Luxenberg. Wild mengawali artikelnya dengan menjabarkan definisi surga dalam al-Qur’an yang sangat berkaitan dengan usaha al-Qur’an untuk menghadirkan ‘sesuatu imajiner’ yang utopis dan menjadi idaman bangsa Arab di masa itu. Tak heran, al-Qur’an menggambarkan surga sebagai tempat yang aman (QS. 44: 51) serta penuh dengan makanan dan minuman lezat (Q. 47: 15).

Mengenai kata Ḥūr, Wild mencatat perbedaan penafsiran para ulama’ mengenainya: apakah ia musti diartikan sebagai bidadari yang memiliki bentuk, ataukah ia hanya metaphore dan alegori dari hal lain yang lebih substansial.

Wild menganggap bahwa metodologi Luxenberg menghasilkan pemaknaan yang terlalu jauh. Lebih jauh, Wild merasa metode Luxenberg terlalu terfokus pada kajian ortografik dan membuatnya melupakan aspek-aspek lain, seperti sejarah kodifikasi al-Qur’an itu sendiri.  Luxenbergh juga tidak pernah menjelaskan bagaimana ‘kesalahpahaman’ terhadap lafal-lafal itu terjadi.

Yang peling penting, tandas Wild, Luxenberg gagal meyakinkan adanya campuran bahasa Aramaic-Arab yang digunakan di Makkah pada Abad ketujuh. Walhasil, Metode Luxenberg ini, menurut Stefan Wild, terlalu bebas dan sangat rapuh karena penafsiran apapun bisa muncul (it yields far too many results), dan pasti akan menyalahi hampir semua alternatif penafsiran yang berkembang dalam tradisi umat Islam.

Wild menutup refleksinya atas teori Luxenberg dengan menyayangkan usaha beberapa kalangan orientalis untuk terus mencari kaitan antara al-Qur’an dan kitab suci- kitab suci di tradisi Yahudi dan Kristen. Dalam banyak hal, usaha seperti ini meski dibungkus dalam kemasan akademik, tidak menghiraukan perasaan komunitas umat Islam karena seringkali berujung pada kontroversi dan perdebatan.

Puncaknya, ketidak sukaan Wild terhadap karya Luxenberg terekam jelas dalam pernyataan pamungkasnya: in the case of the Qur’an, only the holy text, as recited in Arabic language, held the magic that could convince the illiterate mind (dalam kasus al-Qur’an, hanya (statusnya sebagai) kitab suci berbahasa Arab, yang memiliki efek sihir yang mampu meyakinkan (pemilik) akal yang buta aksara.

 

How to cite this Article: Ziyadatul Fadhliyah, “Stefan Wild Menyoal ‘Anggur Putih’ Christoph Luxenberg”, studitafsir.com (blog), June 18, 2021 (+ URL dan tanggal akses).

Detil Artikel yang diringkas: Stefan Wild, ‘Lost in Philology: The Virgins of Paradise and the Luxenberg Hypothesis’, dalam  (ed.) Angelika Neuwirth, The Qur’an in Context.  Buku bisa didownload di sini.

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 80

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Unknown