
Adil Membaca Perempuan: Review Gagasan Mubâdalah Faqihuddin Abdul Kadir
Oleh: Husnul Maab
Bagaimana seharusnya membaca perempuan di dalam teks-teks keagamaan yang ada? Pertanyaan ini penting dikemukakan karena adanya anggapan jika perempuan belum juga menemukan haknya secara utuh sebagai perempuan di dalam realitas sosial. Ketidakadilan yang didapatkan oleh perempuan ini kerapkali berlindung dibalik justifikasi kitab suci. Realita semacam ini terbaca oleh sebagian reformis Muslim semacam Amina Wadud, Ashgar Enginer, Fatimah Mernisi dan lainnya, yang mengungkapkan perlunya melakukan re-interpretasi terhadap ayat-ayat yang memiliki titik singgung terhadap relasi gender dalam Al-Qur`an.
Menurut Wadud, penafsiran Al-Qur`an itu tidak boleh stagnan, ia harus tetap dilanjutkan dikarenakan manifestasi petunjuk Al-Qur`an tidak hanya terletak pada aspek penafsiran tersebut, akan tetapi lebih dari itu kontinuitas penafsiran merupakan satu-satunya cara untuk membuat Islam tetap hidup (the lived state of Islam).
Upaya-upaya penggalian makna Al-Qur`an pada masa lalu, merupakan satu tindakan untuk menggapai petunjuk itu. Hanya saja, menurut Wadud, jika satu penafsiran itu sudah dianggap sebagai sarana ekslusif (oleh laki-laki) untuk memahami kehendak Tuhan, penafsiran tersebut kerapkali berubah menjadi noda yang menyilaukan. Noda itu akan sangat jelas terlihat jika di dalam satu penafsiran tidak terdapat suara perempuan di dalamnya. Wadud menyatakan, bahwa tafsir-tafsir kelasik itu sangat sangat men oriented dan sangat tidak menguntungkan bagi perempuan. Berpijak dari sini ia pun menggagas sebuah upaya memahami Al-Qur`an dengan perspektif perempuan.
Hampir sama dengan Wadud, Ashgar Ali Enginer pun hadir dengan satu gagasan menarik: “teologi pembebasan”. Dalam konteks agama ia banyak melayangkan keritiknya terhadap potret pemikiran dan pengaplikasian ajaran agama yang—menurutnya—stagnan, demi mempertahankan kemapanan (status quo).
Dalam pandangan Enginer, agama yang seharusnya berfungsi sebagai pencerahan (enlightmen), seringkali beralih fungsi menjadi alat eksploitasi. Dengan spirit “pembebasan” inilah, Enginer membaca perempuan. Menurutnya, pembebasan terhadap perempuan dari dominasi laki-laki dapat dilakukan melalui re-reading terhadap—pemahahaman—Al-Qur`an. Hal semacam ini perlu dilakukan karena, dalam padangan Enginer, mustahil Al-Qur`an membawa ajaran (nilai) yang mencerminkan ketidaksetaraan antar manusia, utamanya dalam konteks relasi hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Upaya-upaya untuk mencari makna yang lebih adil dalam konteks relasi antara lelaki dan perempuan juga banyak dilakukan oleh banyak intelektual di Indonesia, seperti Nasarudin Umar, Musdah Mulia, Syafiq Hasyim, Husein Muhammad, Nur Rofi’ah, dan lainnya. Baru-baru ini seorang intelektual asal Cirebon, Faqihudin Abdul Kodir (selanjutnya disebut: Faqih), me-launching satu gagasan menarik terkait relasi-hubungan antara laki-laki dan perempuan yang ia sebut dengan “qirâ’ah mubâdalah”. Ia menulis satu buku khusus terkait gagasannya ini:“Qirâ’ah mubâdalah Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam” (2019). Tulisan ini akan me-review gagasan “qirâ’ah mubâdalah” yang dikonstruksi oleh Faqih ini.
Gagasan Mubadalah: Basis dan Landasan
Gagasan mubâdalah terambil dari kosakata bahasa Arab. Ia diderivasi dari akar kata “ba-da-la” (بدل) yang bermakna mengganti, mengubah, dan menukar. Sedangkan mubâdalah sendiri menyimpan makna kesalingan (mufâ’alah); ia juga bermakna kerja sama antara dua pihak (musyârakah), sehingga dengan demikian mubâdalah bisa dimaknai dengan saling mengganti, saling mengubah, atau saling menukar satu sama lain.
Dari makna-makna ini, Faqih mengelaborasi terma mubâdalah sebagai sebuah perspektif dan pemahaman dalam konteks relasi tertentu antara dua belah pihak yang menyajikan sepirit kemitraan, kesalingan, timbal balik dan prinsip respirokal (reciprocal). Namun dalam diskursus yang dibangunnya ini, stressing point bahasannya terletak pada pada relasi-hubungan antara laki-laki dan perempuan, baik di ruang domestik atapun di ruang publik.
Dalam pengamatan Faqih, gagasan tentang mubâdalah ini sejatinya bukanlah hal baru, isyarat-isyarat tentangnya banyak sekali ditemukan di dalam sumber-sumber Islam: Al-Qur`an ataupun Sunnah. Di dalam Al-Qur`an, misalnya, dapat ditemukan bagaimana ayat-ayat yang menggunakan redaksi general, yang menjadi inspirasi kesalingan dan potret kerjasama antar manusia, misalnya, QS. al-Hujurat [49]:13; QS. al-Maidah [5]:2; QS. an-Nisa’ [4]:1, dan lainnya.
Dalam konteks relasi antara laki-laki dan perempuan, terdapat ayat yang lebih tegas, yaitu, QS. at-Taubah [9]:71: frasa ba’dhuhum awliya’ ba’dh yang dimuat dalam ayat ini, dalam amatan faqih, adalah potret dari kesederajatan antara satu dengan yang lain. Dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya yang bisa dijadikan titik pijak atas gagasan mubâdalah dalam Al-Qur`an.
Selain Al-Qur`an, di dalam hadits juga didapatkan banyak sabda Nabi yang mengisyaratkan potret “kemitraan” (reciprocal) antara laki-laki dan perempuan. Satu diantaranya adalah, riwayat yang bersumber dari Aisyah: innama al-nisa’ syaqâiq al-rijal, sesungguhnya perempuan itu adalah saudara kandung (mitra sejajar) laki-laki. Kata syaqâiq dalam hadits ini merupakan bentuk plural dari kata syaqiq, bermakna: kembaran, serupa, mirip dan identik. Dari pemaknaan semacam ini, Faqih mengambil benang merahnya bahwa eksistensi antara laki-laki dan perempuan berada pada ruang “kemitraan” dan “kawan seiring”: mereka adalah mitra yang sederajat.
Basis Inspirasi Gagasan Mubâdalah
Tidak ada satu hal yang benar-benar baru di pentas bumi ini, termasuk dalam hal ilmu pengetahuan dan gagasan. Yang ada hanyalah “inspirasi” dan yang “terinspirasi”. Hal semacam ini jauh-jauh hari telah dinyatakan oleh Fakhrudin Ar-Razi: walam nastafid min bahtsina tȗla ‘umrina, siwâ an jama’na fíhi qíla wa qâlu.
Sebagaimana ungkapan Ar-Razi di atas, demikian juga yang dialami oleh Faqih, ia dengan tegas mengatakan bahwa gagasan mubâdalah yang dikembangkannya ini banyak terinspirasi dari ulama kontemporer asal Mesir, Abu Syuqqah, dalam karyanya yang berjudul “Tahrír al-Mar’ah Fi ‘Ashr al-Risâlah” (1990).
Ada beberapa metode yang diajukan Abu Syuqqah dalam konteks melihat relasi serta hak-hak perempuan dalam Islam. pertama, hanya menerima hadits shahih dan menolak hadits yang tidak shahih. Kedua, membatasi cakupan makna. Ketiga, menghadirkan makna yang lebih luas dan inklusif. Keempat, memfokuskan pada makna dasar dan utama. Kelima, menempatkan perempuan pada posisi subjek terhadap teks-teks yang, pada awalnya, subjeknya adalah laki-laki.
Kelima metode yang digagas oleh Abu Syuqqah di atas, oleh faqih, disebut berkontribusi memberi inspirasi yang sangat kuat atas lahirnya gagasan mubadalah. Kelima pendekatan ini—utamanya pendekatan terakhir: “kelima”—tidak hanya digunakan untuk membaca hadits, tetapi juga Al-Qur`an. Beberapa teks Al-Qur`an, ataupun hadits, meskipun secara leksikal ditujukan kepada laki-laki tentang perempuan, namun ia dimaknai secara mubâdalah oleh Abu Syuqqah, sehingga teks itu juga bisa dimaknai: untuk perempuan terhadap laki-laki.
Sebagai contoh, yaitu bagaimana caranya membaca ayat poligami dalam QS. an-Nisâ’ [4]:3. Ayat ini dipahami oleh banyak orang sebagai dalil atas bolehnya laki-laki menikahi perempuan lebih dari satu dengan syarat adil. Abu Syuqqah saat menafsirkan ayat ini menambahkan satu syarat lagi, yaitu orang yang hendak melakukan poligami harus mampu menghadirkan kebaikan pada segenap anggota keluarganya, termasuk kepada perempuan/istri.
Pemaknaan ini dipahami dari redaksi “mâ thâba lakum”. Dalam lensa Abu Syuqqah, cuplikan ayat tersebut bermakna “selama itu baik bagi kalian semua”, sebuah pemaknaan yang sangat berbeda dari tafsir kebanyakan yang memaknainya dengan : “wanita yang kamu sukai”. Pemaknaan yang dilakukan Abu Syuqqah pada cuplikan ayat ini sangat jelas, ia hendak ingin menghadirkan kebaikan bagi kedua belah pihak, tidak hanya laki-laki, tapi juga untuk perempuan.
Format Penggunaan Metode Mubadalah
Metode mubâdalah sudah dijelaskan sebelum ini sebagai sebuah gagasan untuk melihat laki-laki dan perempuan dalam hubungan kemitraan. Selain itu metode ini juga memperjelas bahwa wahyu—dalam hal ini kitab suci—tidak hanya turun untuk merespon laki-laki saja, akan tetapi, juga untuk perempuan. Keduanya adalah subjek yang disapa dalam sumber-sumber asasi Islam.
Oleh karenanya, berdasarkan fakta ini, Faqih membuat format metode pemaknaan mubâdalah didasarkan pada tiga premis dasar (1) Islam hadir untuk laki-laki dan perempuan, dengan demikian teks-teksnya haruslah menyisir keduanya (2) prinsip hubungan antar keduanya bukan dalam konteks hegemoni dan kekuasaan, akan tetapi dalam konteks relasi dan kemitraan (3) teks-teks Islam terbuka untuk dimaknai ulang (re-interpretation) agar memungkinkan dua premis sebelumnya tercermin dalam setiap kerja interpretasi. Tiga premis ini, menurut Faqih, ditujukan untuk menemukan gagasan-gagasan utama dari setiap teks yang dibaca agar kompatibel dengan prinsip Islam yang universal, berlaku bagi semua, baik perempuan ataupun laki-laki.
Adapun cara kerja metode mubâdalah memuat tiga langkah. Pertama, menemukan prinsip-prinsip ajaran Islam dari teks-teks yang bersifat universal sebagai pondasi pemaknaan. Maksud dari pemaknaan prinsip di sini adalah, pemaknaan yang melampaui perbedaan jenis kelamin. Misalnya, keimanan yang menjadi pondasi seluruh amal; amal kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan pahala tanpa adanya pertimbangan jenis kelamin; tentang keadilan yang harus ditegakkan, dan lainnya.
Kedua, menemukan gagasan-gagasan utama yang dikandung oleh teks. Langkah kedua dapat ditempuh dengan cara menghilangkan subjek dan objek dalam teks, lalu predikat yang terdapat di dalam teks akan di-mubâdalah-kan antara dua jenis kelamin. Ketiga, men-derivasi gagasan yang didapatkan dari teks—yang lahir dari langkah kedua—kepada jenis kelamin yang tidak dsebutkan dalam teks. Sehingga, suatu teks tidak berhenti pada satu jenis kelamin, akan tetapi, juga mencakup jenis kelamin lainnya.
Sebagai contoh, dalam QS. ali Imran [3]:14. Fokus bahasan dalam cuplikan ayat ini diarahkan pada redaksi relasional bahwa “manusia itu tercipta untuk mencintai perhiasan dunia berupa wanita”.
Ayat ini memposisikan laki-laki, secara alamiah sebagai sosok yang mencintai seorang perempuan. Laki-laki sebagai subjek yang mencintai dan perempuan sebagai objek yang dicintai. Dalam bahasa yang lain disebutkan bahwa perempuan dianggap sebagai representasi dari perhiasan yang mewarnai dunia laki-laki; sebagai turunannya perempuan dipersepsikan sebagai sumber pesona bagi laki-laki, sehingga laki-laki diminta waspada terhadapnya.
Berdasarkan pemaknaan ini, pertanyaan yang bisa diajukan adalah: apakah perempuan mampu menjadi subjek dalam konteks ayat ini? sebab, pada faktanya entitas perempuan tidak hanya sebagai “penggoda”, akan tetapi, juga sebagai pihak “tergoda” oleh laki-laki, sehingga mereka kerapkali tergelincir dari jalan kebenaran. Dari pemaknaan ini, menurut Faqih, perempuan juga bisa menjadi subjek, sehingga sebagaimana laki-laki, ia (perempuan) perlu untuk waspada terhadap godaan laki-laki.
Demikialah potret cara kerja gagasan mubâdalah. Tentu, sebagai gagasan baru, selalu terdapat pro-kontra di dalamnya. Namun tidak bisa dimungkiri bahwa kehadiran gagasan mubâdalah (juga) telah memberikan nuansa baru dalam diskursus quranic interpretation. Spiritnya untuk menghadirkan penafsiran yang adil terhadap relasi-hubungan laki-laki dan perempuan layak diapresiasi. Dan di antara hal yang juga menarik dalam pendekatan mubâdalah ini adalah, ia tidak hanya terhenti pada format gagasan yang hanya berhenti pada wilayah diskusi dan interpretasi belaka; lebih dari itu, gagasan ini sudah bertransformasi menjadi sebuah gerakan media yang, menurut Faqih, pendekatan ini sudah menjadi bagian dari gerakan dakwah bil hal. Kini iformasi-informasi seputar mubâdalah bisa diikuti dengan mengunjungi website resminya: mubadalah.id
How to cite this Article: Husnul Maab, “Adil Membaca Perempuan: Review Gagasan Mubâdalah Faqihuddin Abdul Kadir, studitafsir.com (blog), Juli, 12, 2022 (+ URL dan tanggal akses).