Edisi Penyempurnaan Terjemah Resmi Kemenag RI Bukan Produk Final yang Statis (Review Artikel Hamam Faizin)

Oleh: Moh. Jamalul lail

Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir – UIN Walisongo Semarang

Tumbuh suburnya produk Terjemah Al-Qur’an di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan seberapa banyak genre karya ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Menurut Riddell (Melbourne, Australia), upaya penerjemahan Al-Qur’an di Indonesia sudah ada sejak tahun 1920-an dan semakin berkembang hingga tahun 1970-an. Di antara ‘tafsir berbahasa Indonesia’ yang layak diperhitungkan adalah karya tokoh-tokoh sekaliber Ahmad Hassan (w. 1958), Mahmud Yunus (w. 1983), Hasbi As-Shiddiqy (w. 1975) dan HB Jassin (w. 2000). Kemenag RI sebagai otoritas keagamaan juga punya andil dalam menerbitkan terjemah Al-Qur’an.

Sejak tahun 1965, Kemenag RI telah berhasil menelurkan mahakarya terjemah Al-Qur’an resmi Indonesia yang terus diterbitkan dengan edisi revisi beberapa kali. Sayangnya, apa motif perubahan dan aspek mana saja yang direvisi belum banyak dieksplorasi oleh para peneliti. Keresahan tersebut mengilhami Hamam Faizin menulis artikel“Sejarah dan Karakteristik Al-Qur’an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI” yang sejatinya merupakan versi mini dari disertasinya, “Sejarah Penerjemahan Al-Qur’an di Indonesia” (Gaung Persada, 2022). Sedikitnya, Faizin mengetengahkan empat bahasan pokok dalam artikel tersebut.

Pertama, bahwa Al-Qur’an Terjemahan Kemenag RI (selanjutnya disebut QTK) sebagai patron resmi produk terjemahan lain hari ini bukanlah produk yang bebas dari dinamika konteks sosio-historis saat ia ditulis. QTK merupakan hasil dialektika panjang tim penerjemahnya, hingga mengalami revisi sebanyak empat kali.

Klaim ‘terjemah resmi’ atas QTK selama ini dinilai sebagai upaya standardisasi wacana keislaman di tengah ragam ideologi umat. Inilah yang menjadikannya tak pernah sepi dari komentar, baik berupa apresiasi ataupun kritik dari pihak yang merasa termarginalkan. Isu gender, teologis, hukum, relasi antar agama dan integrasi sains menjadi sorotan utama Faizin dalam mengungkap dialektika intelektual pada QTK sepanjang Orde Lama hingga Pasca Reformasi. Contohnya, edisi Jamunu yang eksis di era Orde Lama hingga Orde Baru, menerjemahkan QS. Ali Imran[3]:Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah ‘hanyalah’ Islam .

Terjemahan ini memandang Islam sebagai agama ekslusif. Sedangkan edisi 2002 menghapus keterangan bertanda kurung serta mengganti predikat ‘ hanya Islam’ menjadi ialah Islam . Demikian pula pada edisi 2019, hanya saja keterangan bertanda kurung dimunculkan kembali. Pola perubahan semacam ini selaras dengan proyek besar Kemenag RI yang menjadi ‘penjaga gawang’ moderasi beragama dalam rangka memelihara umat umat bangsa dan bernegara.

Kedua, produksi QTK bermula dari edisi Jamunu (1965-1969) sebagai pionir yang terbit sebanyak tiga jilid, di mana dua jilid terakhir terbit dengan semangat Orde Baru. Edisi ini sarat dengan bahasa Melayu dan masih terkesan letterlijk . Banyak terminologi Arab yang tak diterjemahkan, seperti mudharat , nutfah , hujjah , ta’bir dan sebagainya.

Selanjutnya pada edisi Mukti Ali (1971) dan Wakaf Arab Saudi (1990), relatif banyak dijumpai revisi pada segi tampilan fisik (ukuran kertas, jumlah halaman dan sebagainya) serta sistematika penulisan. Perubahan diksi, gaya bahasa, keterangan catatan kaki, format dan sistematika secara signifikan baru ditemui pada edisi penyempurnaan 2002 dan 2019.

Dari sini, kepiawaian dan kejelian Faizin dalam mengulik detail-detail revisi cukup terlihat. Dia tak hanya mengurai kejanggalan penerjemahan dari satu atau dua edisi, tapi juga mengkomparasikan lima edisi sekaligus. Tidak hanya dari segi isi, tetapi perubahan ukuran fisik, tebal halaman, jumlah catatan kaki dan rujukan yang digunakan pada setiap edisi, turut diungkap juga.

Ketiga , ide merevisi QTK berdasarkan pada banyak faktor yang semuanya bermuara pada upaya menjaga relevansi, baik dalam konteks teknis kebahasaan ataupun situasional. Misalnya, adanya pembaruan pedoman ejaan lama menjadi Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) yang digunakan, seperti nama surah “Al Ichlash” menjadi “Al Ikhlash” dan “bentji” menjadi “benci” pada edisi Mukti Ali (1971).

Selain itu, term tertentu justru tak diterjemahkan karena pemaknaannya diserahkan pada pembaca, seperti term ulil amri (QS. An-Nisa'[4]: 59) dan auliya’(QS. Al-Ma’idah[5]: 51) yang pada edisi sebelumnya diterjemahkan dengan ‘pemegang kekuasaan’ dan ‘pemimpin’. Lagi-lagi, Faizin sangat teliti dalam melacak perubahan, bahkan hingga menyentuh aspek yang kurang begitu esensial terhadap pergeseran makna, seperti perbedaan susunan huruf, kata atau transliterasi.

Keempat , masing-masing edisi QTK memiliki kecenderungan karakteristik tersendiri yang dikonstruk oleh faktor-faktor lain yang mengitarinya ( paratext ). Misalnya, penambahan catatan kaki berbunyi “tempat telapak kaki-Nya” pada kata kursiy(QS. Al-Baqarah[2]: 255) dalam edisi Wakaf Arab Saudi (1990) yang merepresentasikan paham Wahabi yang dominan di Arab Saudi. Pasalnya, pemaknaan demikian menimbulkan pemahaman antropomorfisme, paham yang melabeli Tuhan dengan sifat-sifat khas manusia, seperti berwajah, bertangan atau bersinggasana. Oleh karena itu, edisi ini dikritik oleh Gus Dur.

Kendati demikian, edisi ini menampik dugaan masuknya paham Ahmadiyah dalam QTK. Sebab, edisi sebelumnya masih menggunakan rujukan dari Bashiruddin Mahmud Ahmad (w.1965) yang dinilai berafiliasi dengan firkah Ahmadiyah, kelompok yang mengkultuskan Mirza Ghulam Ahmad (w.1908) sebagai sosok Imam Mahdi dan Al-Masih. Fakta lain yang juga dilirik Faizin adalah mulai adanya keterlibatan tokoh perempuan sebagai tim pakar penerjemah pada edisi 2019.

Studi Faizin cukup komprehensif merekonstruksi sejarah perubahan QTK dari Orde Lama hingga Pasca Reformasi. Sayangnya, persoalan sejauh mana peran Kemenag RI dalam produksi setiap edisi QTK justru belum dimunculkan. Faizin lebih memposisikan perubahan QTK dalam konteks isu intelektual, alih-alih isu hubungan kuasa. Padahal, adanya hubungan otoritas dari otoritas keagamaan sangat berdampak bagi perubahan hasil terjemahan, mengingat QTK adalah proyek besar yang didanai oleh pemerintah. Independensi tim penerjemah secara tidak langsung dibatasi oleh kepentingan pemegang otoritas.

Kritik inilah yang kemudian memicu Fadhli Lukman membincang motif politik otoritas pemerintah pada setiap edisi revisi QTK. Lihat: Terjemahan Al-Qur’an Resmi Indonesia: sejarah dan politik Al-Qur’an dan Terjemahnya(Cambridge: Penerbit Buku Terbuka, 2022). Meski begitu, studi Faizin dan Fadhli sama-sama mengamini teori Pink (Freiburg) yang menafikan pemaknaan sempit terjemah sebagai proses alih bahasa semata.

Sejatinya, terjemah merupakan kerja penekanan yang merepresentasikan kecenderungan author-nya. Betapapun, kerja akademik Faizin cukup memantik tren kajian baru yang anti -mainstream di tengah asyik-masuknya para sarjana tafsir di Indonesia dengan kajian tematik, linguistik atau filologi. Dengan pisau analisis wacana kritis, Faizin telah menjembatani tren kajian Al-Qur’an di Indonesia dengan tren kajian di Barat. Paling tidak, ia ikut menyemarakkan semangat ‘ Global Qur’an‘ke Indonesia, sebuah proyek yang dikepalai oleh Pink (Freiburg) untuk penelitian terkait khazanah terjemah Al-Qur’an di dunia. Terlebih lagi, kajian terhadap terjemah Al-Qur’an masih sangat jarang dibidik ketimbang kajian karya tafsir, bahkan dalam banyak literatur induk ulum al-qur’an sekalipun.

Di satu sisi, Faizin lewat pendekatan sejarah tengah memposisikan QTK sebagai wacana keislaman di Indonesia yang dinamis serta saling berkorelasi antar edisinya. Namun di sisi lain, pada beberapa topik intelektual, ia mengisolir QTK secara ekslusif dari literatur (terjemahan atau tafsir) lokal nusantara lainnya yang jauh lebih dulu eksis. Perihal sejauh mana validitas pembaruan penerjemahan dari arus utama pemahaman para mufasir/penerjemah sebelumnya, belum banyak dielaborasi oleh Faizin. Masalah epistemologis ini penting dipertimbangkan guna merunut paradigma mufasir/penerjemah mana yang dipilih sebagai rujukan pemaknaan dalam isu intelektual tertentu.

Benang merah dari hasil penelitian Faizin ini menyatakan bahwa upaya revisi (penyesuaian) QTK adalah hal yang niscaya, mengingat fenomena sosial yang semakin dinamis dan tak terprediksi. QTK akan terus mengalami perubahan selaras dengan kebutuhan zamannya. Oleh karena itu, ia mengajukan rekomendasi pada Kemenag RI untuk sebaiknya merevisi QTK secara berkala, setidaknya setiap 10-15 tahun sekali.

Saat ini, QTK edisi penyempurnaan 2019 hadir sebagai edisi paling mutakhir yang dirilis Kemenag RI hampir tiga tahun lalu. Usia ini masih terlalu muda dibanding narasi-narasi perubahan sosial berikutnya yang akan memicu pemutakhiran kembali standar wacana keislaman di Indonesia dalam QTK. Artinya, pembahasan tentang terjemahan Al-Qur’an masih punya celah yang terbuka lebar untuk didialogkan secara lebih serius. [ ]

 

How to cite this Article: Moh. Jamalul Lail , Edisi Penyempurnaan Terjemah Resmi Kemenag RI Bukan Produk Final yang Statis (Review Artikel Hamam Faizin) , studitafsir.com (blog), 29 Januari 2023 (+ URL dan tanggal akses).

 

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 80

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Unknown