Kecacatan Kodifikasi Resmi: Ahmad Snobar dan Fase Sejarah Penulisan Hadis

Oleh: Muhammad Akmaluddin (Dosen ILHA, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

 

Sejarah penulisan hadis adalah topik diskusi yang masih hangat hingga sekarang. Para pengkaji hadis di Barat menaruh perhatian lebih pada bagaimana hadis mulai ditulis pada abad ke-2 H/ke-8 M. Sedangkan di Timur, para pengkaji mempertahankan asumsi bahwa hadis sudah ditulis sejak zaman Rasulullah masih hidup. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ketiadaan bukti empiris, manuskrip dan sumber eksternal tentang hadis menjadi daya tarik bagi para pengkaji mazhab revisionis. Sedangkan bagi mazhab tradisionalis, mereka akan membenarkan dan menerima tanpa ragu asumsi bahwa hadis memang sudah ditulis sejak zaman Rasulullah.

Mazhab tradisionalis, utamanya yang Muslim, sering membagi tahapan penulisan hadis ke dalam tiga fase, yaitu (1) masa hafalan dan penulisan pribadi (al-ḥifẓ wa al-kitābah al-syakhṣiyyah), (2) fase kodifikasi resmi (tadwīn rasmī) di bawah perintah Khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz, dan (3) penulisan oleh para pengikut tabiin (atbā’ al-tābi‘īn) seperti Imam Mālik bin Anas (w. 179), Ma‘mar bin Rāsyid (w. 153), Sufyān bin Sa‘īd al-Ṡaurī (w. 161) dan lainnya. Sebagian dari mereka bahkan melakukan generalisasi ketika menyebut fase kodifikasi resmi menjadi fase yang komprehensif dan menyebar di seluruh penjuru, meski tidak tercatat secara rapi.

Masalah inilah yang akan dijawab oleh Ahmad Snobar, pengajar di Istanbul 29 Mayıs University, Istanbul, Turki. Tulisan Snobar melanjutkan tradisi kajian hadis di Turki, yang banyak memanfaatkan, melestarikan dan menggali lebih dalam materi di dalam tradisi Islam sendiri, sebagaimana dilakukan oleh Fuat Sezgin dalam Geschichte des arabischen Schrifttums (GAS) dan Kâtip Çelebi atau Ḥājjī Khalīfa dalam Kasyf al-Ẓunūn ‘an Asāmī al-Kutub wa al-Funūn. Hal ini berbeda dengan tanggapan ulama Timur Tengah yang cenderung ofensif dan selalu menghadirkan spekulasi teori tentang hadis yang hanya diarahkan untuk menjawab gugatan para revisionis.

Beberapa di antara ulama Timur Tengah yang kami maksud adalah para kontributor Majalah al-Manār yang dipimpin oleh M. Abduh (1849-1905), seperti Rafīq Bik al-‘Aẓm, Rasyīd Riḍā (1865-1935), Aḥmad Amīn (1886-1954) dan Abū Rayyah (1887-1970), yang kemudian dikritik oleh Musṭafā al-Sibā‘ī (1915-1964), M. Abū Zahw, Akram Ḍiyā’ al-‘Umarī, Rif‘at Fauzī, ‘Abd al-Bāsiṭ Mazīd, Ḥāriṡ Sulaimān al-Ḍārrī, Nūr al-Dīn ‘Itr, M. ‘Ajjāj al-Khaṭīb, A. ‘Umar Hāsyim, Muḥammad bin Maṭar al-Zahrānī, al-Syarīf Ḥātim, dan Sālim al-Bahansāwī. Baik yang mengkritik maupun yang dikritik, mereka semua sama-sama menggaungkan kodifikasi resmi zaman ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz (682-720).

Dalam artikelnya, Marḥalah al-Tadwīn al-Rasmī: Dirāsah fī I‘ādah Ta’rīkh Marāḥil Kitābah al-Ḥadīṡ I‘timādan ‘ala  ‘Ilm al-‘Ilal (periode kodifikasi resmi: tinjauan ulang sejarah periodesasi penulisan hadith bersandar pada ilmu ʿilal), Snobar mempertanyakan ulang apakah fase kodifikasi resmi yang diperintahkan oleh ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz mencakup segala penjuru daerah dan negara pada waktu itu, yang mana kitab tersebut menyebar ke berbagai daerah? Bagaimana ilmu ‘ilal hadis bisa membantu kita mengakui atau menafikan fase tersebut?

Snobar menggunakan ilmu ‘ilal hadis, yaitu ilmu yang meneliti tentang kecacatan riwayat yang tidak terlihat dalam periwayatan. Secara khusus, ilmu ini digunakan untuk menyelidiki riwayat tentang kodifikasi resmi pada masa ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz karena tiga hal. Pertama ilmu ‘ilal hadis mengikuti pola riwayat dan kritik hadis pada abad ke-1 H/ke-7 M. Kedua ilmu ‘ilal hadis jarang digunakan untuk meneliti sejarah hadis karena biasanya melihat hanya pada perkembangan riwayatnya saja, tanpa melihat perkembangan kritik yang menyertainya. Ketiga, ilmu ini dapat menjawab beberapa kasus sejarah hadis yang musykil, utamanya kodifikasi resmi yang menyebar ke seluruh daerah.

Kecacatan Riwayat Kodifikasi Resmi

Menurut Snobar, ada empat riwayat tentang kodifikasi resmi yang “konon” diperintahkan oleh ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz. Pertama, yang diperintah oleh ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz untuk melakukan kodifikasi adalah Abū Bakr bin Muḥammad bin ‘Amr bin Ḥazm al-Anṣārī (w. 120/738), yang menjadi hakim di Madinah pada waktu itu. Kedua, yang diperintah adalah penduduk Madinah. Ketiga, seluruh ulama di berbagai penjuru diperintah oleh ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz. Ketiga riwayat ini diriwayatkan oleh ‘Abd Allāh bin Dīnar (w. 127/745). Keempat, menurut riwayat Sa‘īd bin Ziyād, Ibn Syihāb al-Zuhrī (w. 124/742) yang diperintahkan untuk melakukan kodifikasi.

Selain empat riwayat ini, ada juga pendapat Mālik bin Anas (711-795) yang mengatakan bahwa yang pertama kali melakukan kodifikasi adalah Ibn Syihāb al-Zuhrī. Ada juga riwayat Isḥāq bin Rāsyid yang datang ke kota Rayy dan mengabarkan bahwa ia melihat kitab Ibn Syihāb al-Zuhrī di Baitul Maqdis. Ada juga beberapa rawi yang melihat kitab Ibn Syihāb al-Zuhrī seperti hakim Salamah bin ‘Amr dan al-Walīd bin Muḥammad al-Mūqirī.

Jika menggunakan ilmu ‘ilal hadis, Snobar melihat bahwa ketiga riwayat sama-sama berasal dari ‘Abd Allāh bin Dīnar. Menurutnya, riwayat ketiga (bahwa seluruh ulama di berbagai penjuru) hanya ditemukan di dalam kitab Tārīkh Aṣbihān karya Abū Nu‘aim al-Aṣbihānī (847-1038). Dirham bin Maẓāhir, yang meriwayatkan dari ‘Abd al-‘Azīz bin Muslim dari ‘Abd Allāh bin Dīnar, dianggap menyalahi riwayat-riwayat orang tsiqah yang meriwayatkan dari ‘Abd al-‘Azīz bin Muslim dari ‘Abd Allāh bin Dīnar, sehingga riwayatnya dinilai ganjil (syāż).

Mereka meriwayatkan dengan kalimat penduduk Madinah atau Abū Bakr bin Ḥazm, tapi Dirham meriwayatkan dengan seluruh ulama di berbagai daerah. Jika status Dirham ini tsiqah, maka riwayatnya menjadi syāż. Tapi ia ternyata tidak terkenal tsiqah, dan tidak diketahui penilaian jarḥ atapun ta‘dīl nya. Oleh karena itu, Snobar mengatakan bahwa riwayat Dirham menunjukkan adanya syāż dan cacat (‘illah). Sedangkan riwayat kedua (bahwa perintah kodifikasi hanya untuk penduduk Madinah), riwayatnya yang dari ‘Abd al-‘Azīz bin Muslim dianggap menyalahi riwayat pertama (bahwa perintah ini hanya untuk Abū Bakr bin Muḥammad bin ‘Amr bin Ḥazm al-Anṣārī), dan dinilai syāż, yang diriwayatkan oleh Yaḥyā bin Sa‘īd al-Anṣārī dari ‘Abd Allāh bin Dīnar yang dianggap lebih tsiqah.

Sedangkan riwayat keempat (bahwa Ibn Syihāb al-Zuhrī-lah yang diperintahkan untuk kodifikasi) yang diriwayatkan oleh Sa‘īd bin Ziyād dari Ibn Syihāb, adalah riwayat yang gharib, yang tidak mempunyai penilaian jarḥ atapun ta‘dīl oleh al-Bukhārī dan Ibn Abī Ḥātim, walaupun disebutkan dalam al-Ṡiqāt oleh Ibn Ḥibbān. Begitu juga tidak ada informasi bahwa Ibn Syihāb menjadi guru Sa‘īd bin Ziyād.

Selanjutnya, pendapat Mālik bin Anas yang mengatakan bahwa yang pertama kali melakukan kodifikasi adalah Ibn Syihāb al-Zuhrī diriwayatkan oleh Muḥammad bin al-Ḥasan bin Zabbālah yang dicurigai pendusta. Adapun juga riwayat Isḥāq bin Rāsyid yang datang ke kota Rayy dan mengabarkan bahwa ia melihat kitab Ibn Syihāb al-Zuhrī di Baitul Maqdis tidak menunjukkan bahwa itu adalah hasil kodifikasi resmi dari Ibn Syihāb al-Zuhrī (hal. 203).

Sedangkan rawi yang melihat kitab Ibn Syihāb al-Zuhrī seperti hakim Salamah bin ‘Amr dianggap mengandung ‘illah karena ia hanya meriwayatkan dua hadis dari Ibn Syihāb al-Zuhrī yang semuanya cacat. Riwayat al-Walīd bin Muḥammad al-Mūqirī (w. 182) dianggap banyak meriwayatkan hal-hal yang aneh yang tidak diriwayatkan oleh Ibn Syihāb al-Zuhrī.

Dengan demikian, riwayat kodifikasi resmi oleh Ibn Syihāb al-Zuhrī, kecuali riwayat pertama (untuk Abū Bakr bin Muḥammad bin ‘Amr bin Ḥazm al-Anṣārī), dianggap cacat oleh Snobar. Sisanya juga tidak menunjukkan bukti dan riwayat yang sahih. Oleh karena itu, mengenai kodifikasi hadith resmi, tinggal riwayat pertama (untuk Abū Bakr bin Muḥammad bin ‘Amr bin Ḥazm al-Anṣārī) yang dianggap sahih.

Kegagalan Kodifikasi Resmi

Kodifikasi resmi yang diperintahkan oleh ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz kepada Abū Bakr bin Muḥammad bin ‘Amr bin Ḥazm al-Anṣārī mengalami kegagalan. Apa yang ditulis oleh Abū Bakr bin Muḥammad bin ‘Amr bin Ḥazm al-Anṣārī tidak sempurna dan ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz telah wafat pada waktu itu. Jadi, kitab yang ditulis oleh Abū Bakr bin Muḥammad bin ‘Amr bin Ḥazm al-Anṣārī tidak jadi tersebar dan tidak mempunyai pengaruh apapun di komunitas ulama pada waktu itu.

Adapun beberapa kitab yang ditulis oleh al-Zuhrī, sebagaimana diriwayatkan oleh Ma‘mar, hanyalah kitab yang ditulis untuk kepentingan keluarga Marwān bin ‘Abd al-Malik, tidak resmi untuk umum atau semua masyarakat. Kitab tentang kritik hadis (naqd) ataupun ‘ilal hadis juga tidak menyebutkan kodifikasi resmi ini.

Oleh karena itu, menurut Snobar, tidak ada kodifikasi resmi, apalagi menjadi fase tersendiri dalam perkembangan penulisan hadis sebagaimana digaungkan oleh ulama belakangan sebagaimana disebutkan di awal. Menurutnya, hanya ada dua fase dalam penulisan hadis. Pertama fase penulisan pribadi (al-kitābāt al-syakhṣiyyah) yang kemudian berkembang menjadi fase penyebaran khusus di tangan al-Zuhrī dan lainnya, begitu juga dengan penulisan dan perkuliahan dengan murid-murid. Kedua fase penyebaran umum di tangan para pengikut tabiin (atbā‘ al-tābi‘īn) dimana karangan hadis menyebar dengan luas di banyak daerah. Jadi, tidak ada kodifikasi resmi dalam penulisan hadis (hal. 207).

Glorifikasi Kodifikasi Resmi

Menurut Snobar, ulama belakangan yang melakukan glorifikasi pada kodifikasi resmi terlalu terobsesi untuk menyangkal tuduhan revisionis yang mengatakan bahwa hadis itu dipalsukan karena ditulis pada abad ke-2 H/ke-8 M, tidak pada masa Rasulullah masih hidup. Mereka berusaha untuk mematahkan tuduhan revisionis bahwa hadis sudah ditulis dan dibuktikan oleh adanya kodifikasi resmi atas perintah  ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz. Snobar menyarankan agar umat Islam mengakui dan tidak mengingkari bahwa pada abad ke-1 H/ke-7 M, hadis hanya diriwayatkan, tetapi tidak dibukukan.

Ia beralasan bahwa pada saat itu alat untuk menulis, baik pena maupun kertas, sulit ditemukan. Ulama lebih memilih meriwayatkan dengan lisan, yang terbukti aman daripada dengan tulisan. Apalagi ada kasus bahwa hadis munkar yang diriwayatkan oleh al-Walīd al-Mūqirī dari al-Zuhrī, berasal dari isi kitabnya yang telah diubah oleh beberapa orang ketika para tentara memasuki Syām. Begitu juga kritik Aḥmad bin Ḥanbal terhadap Abū al-Yamān dari kitab Syu‘aib bin Abī Ḥamzah dari al-Zuhrī yang bercampur dengan kitab lain.

Selain itu, Snobar juga menyarankan agar ulama belakangan fokus pada realitas metode kritik dengan melakukan validasi pengambilan teks (ḍabṭ naql al-nuṣūṣ), baik tulisan maupun lisan. Hal ini disebabkan karena beberapa kritikus terkadang menilai tsiqah riwayat dengan hafalan, yang jumlahnya lebih banyak daripada dengan tulisan, atau sebaliknya. Jadi apakah sebuah hadis ditrasmisikan via tulisan atau hafalan tidak menjamin bahwa riwayat itu akan lebih tsiqah daripada lainnya. Dengan ini, ia mengkritik ulama belakangan yang hanya mengutamakan riwayat tulisan daripada riwayat lisan (hal. 215).

Catatan

Snobar sepertinya banyak mengikuti metode Gregor Schoeler (Basel) dalam meneliti suatu riwayat dan proses perkembangan penulisan hadis. Secara umum, Schoeler fokus pada pentingnya sumber lisan dan tulisan. Sedangkan untuk pembuktian dan konfirmasi berbagai riwayat, tampaknya Snobar mengikuti metode Harald Motzki (1948-2019) yang membandingkan berbagai riwayat untuk mencapai realitas dan validitas antar teks. Dengan metode tersebut, Snobar tidak banyak mengikuti model ulama Timur Tengah yang hanya menghadirkan satu riwayat dan riwayat lainnya hanya untuk menguatkan postulat bahwa hadis sudah ditulis sejak awal kemunculannya.

Pada umumnya, kekurangan kajian ulama Timur Tengah atas hadis adalah minimnya analisis yang dilakukan dan tidak adanya kesimpulan alternatif untuk riwayat yang dihadirkan. Dengan demikian, mereka kelihatan tergesa-gesa, tidak konstruktif dan tidak memberikan banyak sumbangsih terkait kritik terhadap revisionis. Oleh karena itu, Snobar mengkritik ulama belakangan yang fanatik dan tergesa-gesa dalam melihat suatu riwayat, yang mana mereka adalah ahli hadis, namun mengabaikan analisis ilmu hadis yang mereka kuasai, seperti ilmu ‘ilal hadis.

Tulisan Snobar menunjukkan bahwa pengabaian terhadap tradisi untuk pembelaan tidaklah dibenarkan. Selain itu, ia menunjukkan bahwa ilmu yang ada dalam tradisi hadis klasik masih cocok dan relevan digunakan untuk melakukan analisis, serta memunculkan kesimpulan alternatif dan membangun premis baru untuk menyikapi berbagai isu dalam kajian hadis. Analisis isnād-cum-matn Schoeler maupun Motzki juga terbukti banyak menggunakan warisan tradisi hadis klasik, tentu dengan penyeseuaian-penyesuaian jika diperlukan.

How to cite this Article: Muhammad Akmaluddin, Kecacatan Kodifikasi Resmi: Ahmad Snobar dan Fase Sejarah Penulisan Hadis, studitafsir.com (blog), 12 February 2023 (+ URL dan tanggal akses).

Artikel Snobar dan buku yang dieditnya bisa didownload di sini.

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 30

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Unknown