KENISCAYAAN TAFSIR SOSIAL: SYARAT-SYARAT MUFASSIR DARI ZAMAN KE ZAMAN

Oleh: Zulkarnaen

 

Artikel yang sedang diriviu ini mengurai perkembangan syurut al-mufassir (selanjutnya akan ditulis: SM) dari era klasik hingga era modern-kontemporer. Uraian yang tersaji ini dalam rangka mencari jawaban apakah SM merupakan sesuatu yang normatif atau sesuatu yang dapat berubah seiring perkembangan zaman?, seberapa mutlak ia harus ada?, apakah SM berlaku untuk setiap penafsir?, dan apakah SM bisa direvisi jika tidak lagi relevan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat? Pertanyaan-pertanyaan ini menempati posisi penting untuk dicari jawabannya. Sifat dasar SM yang kaku atau cair semacam inilah yang kiranya menjadi isu krusial dan ingin dijawab oleh artikel Kusmana (ditulis bersama dengan Muhakhammad Saifunnuha dan Zainul Bahri) ini mengingat masih banyak anggapan bahwa setiap produk ulama terdahulu sebagai sesuatu yang final, tidak bisa diubah.

Kusmana seperti ingin mendobrak pemikiran ‘kolot’ tersebut dan menjanjikan ‘pencerahan’ yang membahagiakan bagi mereka yang haus dengan pembaharuan. Artikel ini menyimpulkan bahwa kemajuan teknologi seharusnya turut mengubah poin-poin SM. Penguasaan ilmu hadits, misalnya, tidak lagi relevan untuk dijadikan salah satu syarat seorang Mufassir. Pasalnya, hari ini kita dihidangkan oleh aneka kemudahan dalam mengakses segala hadis dengan aplikasi yang sudah dibuat para pengembang. Begitu pula dengan syarat menghapal 30 juz. Syarat ini, bagi Kusmana, dianggap tidak relevan karena dengan kecanggihan teknologi, kita bisa mengakses segala pembahasan yang kita inginkan dengan sangat cepat.Teknologi memudahkan kita semua dalam mencari kata-kata dalam al-Qur’an secara efesien dan efektif.

Kesimpulan tersebut bisa dibilang cukup berani karena berbenturan dengan tradisi menghafal al-Qur’an yang sudah mengakar kuat dalam keberislaman sebagian besar masyarakat Indonesia. Kesimpulan ini tentu akan memicu perdebatan karena teknologi tidaklah sunyi dari kesalahan-kesalahan. Menyerahkan perkara hadis dan al-Qur’an kepada mesin tentu bukan perkara bijak. Di sisi lain, ketergantungan pada teknologi berpotensi menyebabkan berkurangnya tradisi menghafal al-Qur’an yag akan merepotkan seorang Mufassir ketika membutuhkan ayat al-Qur’an yang lain dan sedang tidak membawa perangkat teknologi yang mumpuni.

Namun terlepas dari hal itu, kesimpulan artikel ini sangat beralasan. Alasan-alasan yang dijelaskan oleh Kusmana merupakan keunggulan dan kontribusi penting dari artikel ini. Mereka mampu membuktikan bahwa SM sangat erat kaitannya dengan perkembangan zaman. Di masa klasik, Ar-Ragīb al-Asfaẖani (w. 1105 M) dalam karyanya, Muqaddimah Jāmial-Tafāsīr Maʿa Tafsīr al-Fatihah Wa Maṭāliʿ al-Baqarah menyebut banyak SM. Menurutnya, seorang mufassir harus memiliki iman yang benar, serta memahami ilmu agama dan mengamalkannya, Ia harus juga menguasai beragam perangkat tafsir seperti Bahasa Arab, Ilmu Munasabah al-Qur‘an (semantik/ isytiqāq), Ilmu Nahwu, Ilmu Qira’at, hal-ihwal Atsar dan Akhbār, ilmu tentang Mujmal dan Mubham, Nāsikh-Mansūkh, Khāsāmm, ijmāʿ-ikhtilāf, Usul Fiqh dan Fiqih serta ilmu Kalam. Terakhir, seorang mufassir harus menjadi pribadi yang Zuhud.

Berbeda dengan Ar-Raghīb al-Asfahani, Jalāluddin As-Suyuthi (wafat 911 H/1505 M), tidak memasukkan syarat yang sifatnya pribadi (memiliki iman yang benar, menguasai ilmu agama dan mengamalkannya, zuhud). Menariknya, as-Suyuthi menambahkan keharusan mufassir memiliki Ilmu Mauhibah, (ilmu di luar kemampuan manusia yang dianugerahkan Tuhan kepada orang-orang yang mengamalkan apa yang diketahuinya). Beberapa yang lainnya adalah menguasai Ilmu Sharaf (morfologi), Ilmu Al-Ma’ani (ilmu yang berkaitan tentang maksud atau makna), Ilmu Al-Bayan (ilmu yang membahas tentang bagaimana menyampaikan suatu makna dengan cara yang bervariasi), Ilmu al-Badi’ (ilmu yang membahas tentang bagaimana menyusun kalimat dengan indah), Asbab an-Nuzul (ilmu tentang sebab-sebab turun suatu ayat), Hadits (tradisi kenabian).

Di era modern, Muẖammad ‘Abd al-‘Adzīm az-Zarqani (w. 1367 H/1948 M) dalam karyanya Manail al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an, secara umum mengutip apa yang diungkap oleh as-Suyuthi. Perbedaannya, ia menambahkan hal yang sifatnya pribadi yakni Memiliki akhlak yang baik, tidak sombong, tidak mencintai dunia, dan tidak cenderung terhadaap kemaksiatan. Manna’ al-Qathān (w. 1420 H/1999 M) dalam Mabaits fi Ulum al-Qur’an juga menyebut hal yang sifatnya pribadi. Misalnya adalah memiliki akidah yang benar, meninggalkan nafsu, memiliki kecerdasan dan pemahaman yang mendalam. Berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya keilmuan, ia menyebutkan penguasaan terhadap ilmu yang dibutuhkan dalam memberikan penafsiran dengan metode bi al-ma’tsur (Mengutamakan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-Qur’an dengan kata-kata para sahabat, al-Qur’an dengan pendapat tabi’in). Sisanya adalah keharusan dalam menguasai Bahasa Arab dengan semua cabang ilmunya dan Pengetahuan dasar Al-Qur’an / Ilmu Tafsir.

Muhammad Abduh (wafat 1905) tidak menyebutkan persyaratan keilmuan secara detil sebagaimana tokoh-tokoh sebelumnya. Namun ia menyebut beberapa hal seperti penguasaan terhadap kosa kata al-Qur’an dan Bahasa Arab. Menariknya, Abduh juga mempersyaratkan pemamahaman terhadap proses peradaban manusia, memiliki kemampuan dalam memprediksi masa depan, mengetahui sejarah, memahami sirah. Quraish Shihab (l. 1944) tidak menambahkan SM, ia hanya memberikan komentar terhadap pendapat as-Suyuthi dan memberikan peringatan menyangkut hal-hal yang menyebabkan salah dalam menafsirkan. Misalnya, terkait Subjektivitas mufassir, tidak mengerti konteksnya, baik penyebab sejarah/turunan, hubungan ayat dengan ayat sebelumnya, Tidak tahu siapa pembicara atau pasangannya dan siapa yang dibicarakan, basis pengetahuan tentang ilmu alat (termasuk bahasa), kesalahan dalam menerapkan metode atau aturan, kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian paragraf.

Tokoh yang mewakili kontemporer, Aẖmad Bazawi Ad-Dhawi (l. 1957).  Umumnya, ia mengemukakan syarat sebagaimana disampaikan As-Suyuthi, namun ia juga menyebut tiga syarat tambahan bagi penafsir kontemporer, yaitu (1) menguasai penuh keilmuan kontemporer terkait ayat-ayat al-Qur’an yang dibahas, untuk menarik dan menciptakan peradaban baru yang baik sehingga nantinya dapat terwujud konsep Islam yang komprehensif,; (2) mengetahui dan memahami perkembangan pemikiran yang ada hingga saat ini, baik dalam bidang filsafat, sosial, ekonomi, maupun politik, sehingga nantinya dapat memposisikan Al-Qur’an dengan benar sebagai petunjuk dan petunjuk untuk menemukan bukti-bukti permasalahan kekinian dalam segala bidangnya,; dan (3) mengenali dan memahami persoalan-persoalan kontemporer yang ada untuk memberikan solusi Al-Qur’an atas persoalan-persoalan tersebut untuk membuktikan bahwa Islam adalah agama yang ramatan li al-‘alamīn.

Dengan demikian, jelas bahwa perbedaan SM di setiap zaman lebih disebabkan oleh kondisi sosial yang dihadapi oleh para penafsir. SM kemudian menjelma menjadi sesuatu yang tidak lagi normatif, namun sesuatu yang lahir dan berkembang seiring kebutuhan zamannya. Misalnya, di era klasik mensyaratkan penguasaan ilmu munasabah dan segala yang terkait disebabkan karena bentuk penafsiran yang paling awal adalah penafsiran secara ijmali atau global, yakni sebagaimana nabi menjelaskan makna lafaz ‘dzulm‘ (ﻅﻠﻢ) dalam surat al-An’am ayat 82, bahwa kata ‘dzulm‘ dalam ayat tersebut berarti ‘syirik‘. Penafsirannya menyangkut munasabah ayat dengan ayat.

Sedangkan di era modern, Abduh, misalnya, dalam hal ini menambahkan bahwa setiap penafsir hendaknya mengetahui dan memahami secara mendalam tentang proses peradaban manusia. Syarat ini oleh Abduh sangat wajar mengingat konteks Abduh yang berhadapan dengan rasionalitas Barat. Pemahaman tentang proses peradaban manusia akan turut membantu memberikan pengaruh pada penafsiran yang lebih rasional terhadap Alqur’an.

Begitu pula dengan zaman kontemporer yang mensyaratkan pemahaman suatu disiplin ilmu (politik, sosiologi, ekonomi, dst). Syarat ini lahir akibat kondisi zaman yang makin kompleks yang cukup memberikan tantangan terhadap Alquran. Oleh karenanya teori ilmu-ilmu sangat dibutuhkan dalam memberikan penafsiran terbaik terhadap al-Qur’an.Selain itu, bisa disimpulkan bahwa SM ada yang bersifat mutlak dan ada yang tidak mutlak. Syarat yang mutlak adalah penguasaan bahasa Arab dengan segala bidangnya, dan ilmu tafsir. Sedangkan syarat yang tidak mutlak meliputi fiqh, ushul fiqh, ilmu kalam, dan hadis. Syarat yang tidak mutlak ini lebih disebabkan karena Alqur’an tidak hanya berisikan hal-hal yang sifatnya hukum—atau teologi saja, namun juga berisikan hal yang bersifat sosial, politik, ekonomi, dan seterusnya. Karenanya fikih disyaratkan bagi mereka yang ingin menafsirkan ayat-ayat hukum al-Qur’an.

Berdasarkan perubahan SM itu juga, Kusmana menilai bahwa penafsiran era hari ini cenderung ke cara penafsiran sosial/adabi ijtima’i  yang bersumber pada akal atau metode bi al-ra`yi. Metode ini sendiri muncul seiring dengan metode bi al-ma’tsur. Pada perkembangannya, Ĥusain Al-Zahabi (1915-1977) menyebut metode bil ra`yi merupakan metode yang dibolehkan dengan catatan tidak mengabaikan kaidah penafsiran dan kebahasaan. Berangkat dari argumen ini, artikel ini kemudian menyimpulkan akan kebolehan penggunaan metodologi modern seperti hermeneutika (cabang filsafat yang mempelajari tentang intrepretasi makna) sepanjang tidak meninggalkan kaidah penafsiran yang sudah ada dan ilmu kebahasaan.

Pada akhirnya, artikel ini berhasil menunjukkan aspek yang sebenanya sederhana, tapi menukik. Namun di balik itu semua, saya merasa Kusmana hendaknya memberikan informasi mengapa ia tidak sedikitpun menyentuh pembahasan latar sosial masing-masing tokoh dan khususnya latar SM masing-masing. Informasi tersebut sangat penting untuk memberikan kita gambaran yang lebih utuh menyangkut SM. Tak hanya itu, uraian tentang metode bi al-ra`yi terkesan sangat sedikit dan sederhana, sehingga tidak menghasilkan uraian yang utuh. Di atas segalanya, artikel ini bagi saya merupakan sebuah karya penting yang mendorong munculnya penafsir-penafsir al-Qur’an yang baru. [ ]

 

How to cite this Article: Zulkarnaen, KENISCAYAAN TAFSIR SOSIAL: SYARAT-SYARAT MUFASSIR DARI ZAMAN KE ZAMAN, studitafsir.com (blog), 15 February 2023 (+ URL dan tanggal akses).

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 80

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Unknown