
UPAYA MENGAKTUALISASIKAN AYAT-AYAT ANTI KEKERASAN DALAM AL-QUR’AN (Review Artikel Ahmad Baidowi)
Oleh: Matsna Afwi Nadia
Tulisan ini lahir dari gagasan Ahmad Baidowi tentang ayat-ayat anti kekerasan dalam Al-Qur’an yang dimuat dalam artikelnya dengan judul “Promoting Qur’anic Verses That Reject Violence”. Pembahasan atas tema tersebut berkaitan dengan isu pelemahan identitas Islam melalui narasi negatif islamophobia bahwa Islam adalah “Agama Kekerasan dan Teroris”. Paham ini telah memberi dampak negatif terhadap umat Islam yang minoritas di Eropa. Selain itu, pembahasan Baidowi atas tema ini berhubungan dengan narasi radikalis yang berupaya untuk mengganti pancasila yang telah menjadi dasar konstitusi Indonesia.
Fokus artikel ini merupakan gagasan Ahmad Baidowi dalam mempromosikan ayat-ayat anti kekerasan untuk melawan propaganda bahwa Islam adalah terorisme dan Al-quran membenarkan kekerasan. Baidowi menegaskan bahwa Islam adalah agama yang menolak tindakan kekerasan. Ini berdasarkan tiga fakta. Pertama, pernyataan-pernyataan dalam Al-Qur’an yang mengedepankan nilai-nilai anti kekerasan dan non-kekerasan. Ayat-ayat anti kekerasan dalam pemikiran Baidowi mengacu pada tiga hal.
Pertama, ayat-ayat yang secara implisit mempromosikan nilai anti kekerasan dan penolakan terhadap tindakan kekerasan. Ada lima ayat dalam kategori pertama ini, yaitu mengenai: Muhammad adalah rahmat (QS. 21:107); mengajar dengan baik dan berdebat dengan cara yang baik (QS. 16:125); tidak ada paksaan dalam menganut agama (QS. 2:256); Kuasa Allah membuat semua manusia beriman kepada-Nya (QS. 10:99); dan Muhammad tidak akan menyembah apa yang disembah orang kafir (QS. 109:1-2). Dari kelima ayat ini, Baidowi mengungkapkan lima orientasi nirkekerasan, yaitu seruan untuk menyebarkan rahmat; kebijaksaan dalam berkomunikasi; kebebebasan beragama; dan toleransi.
Kedua, ayat-ayat yang dapat menjadi dasar hukum untuk perlawanan dan pencegahan kekerasan. Empat ayat termasuk dalam kategori tersebut yaitu ayat larangan menghina agama lain (QS. 6:108); larangan membunuh (QS. 17:33); kebolehan berperang jika terdesak (QS. 2:39-40); dan perbandingan membunuh satu orang sama dengan membunuh seluruh manusia (QS. 5:32). Oleh karena itu Baidowi merumuskan empat orientasi Al-Qur’an sebagai basis hukum anti kekerasan yaitu larangan membenci agama lain; hak atas keadilan; ajakan perdamaian; dan hak manusia untuk hidup.
Ketiga, ayat-ayat yang menawarkan solusi pemecahan masalah secara damai. Terdapat empat ayat dalam kategori ketiga ini, yaitu ayat perintah untuk melakukan klarifikasi atas informasi yang diterima (QS. 49:6); perintah bermusyawarah (QS. 3:159); perintah untuk mendamaikan pihak yang berkonflik (QS. 49:9); dan perintah untuk mela- kukan mediasi (QS. 4:35).
Jelas dari keempat ayat ini bahwa Al-Qur’an memperhatikan rekonsiliasi damai antar pihak-pihak yang bertikai. Baidowi mengembangkan empat kecenderungan dalam Al-Qur’an dari empat ayat yang merekomendasikan penggunaan cara-cara damai untuk menyelesaikan konflik, diantaranya menghindari hoax; urgensi bermusyawarah; mengatasi konflik secara damai; dan posisi penting mediasi pada saat konflik.
Ungkapan ayat-ayat anti kekerasan yang digagas oleh Baidowi ini membuktikan bahwa anggapan Islam mendukung kekerasan dan terorisme adalah kekeliruan sebelumnya, sebaliknya Islam membawa kedamaian bagi kehidupan masyarakat Islam. Oleh karenanya, penelitian Baidowi ini merupakan salah satu langkah menuju pemulihan identitas Islam yang perlahan melumpuhkan ungkapan yang menyatakan “Islam penyokong kekerasan dan Al-Quran mendukung”.
Selain itu, penelitian Baidowi ini juga memberi kontribusi penting terhadap kajian mengenai kekerasan dalam agama yang ditinjau dari ungkapan anti kekerasan dalam Al-Qur’an. Hal ini juga dapat menjadi acuan serta pandangan baru bagi kalangan muslim sebagai paradigma keislaman, bahwa Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bermasyarakat dan tetap relevan terhadap semua kondisi dan situasi. Hal serupa juga diamati oleh orang-orang di luar Islam mengenai social ethic yang berkembang dalam tatanan hidup sosial, kajian ini dapat direkomendasikan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Selain kajian yang dilakukan oleh Baidhowi, terdapat juga kajian yang membahas tema serupa dengan tinjauan ayat dan perangkat metode yang berbeda. Kajian lain yang berupaya menunjukkan pesan damai Al-Qur’an, menempuh jalan reinterpretasi dekonstruktif atas ayat- ayat yang digunakan oleh pihak radikalis sebagai legitimasi atas tindakan kekerasan yang mereka lakukan. Reinterpretasi atas QS. 9:5 dan 47:4 yang sering digunakan kelompok radikal untuk meligitimasi tindakan kekerasannya menghasilkan kesimpulan bahwa ayat peperangan dalam Al-Qur’an bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan di bumi (Aniqoh 2018, 93).
Intrumen metodologis yang digunakan dalam reinterpretasi ayat-ayat kekerasan adalah double movement dan ma’na cum-maghza (Aniqoh 2018, 94; Mala 2021, 64). Selain itu, reinterpretasi atas ayat-ayat jihad mendekonstruksi pemahaman kelompok radikal. Reinterpretasi atas ayat-ayat jihad menunjukkan bahwa jihad tidak selalu perang secara fisik, tetapi juga non fisik (Syahputra 2020, 112; Baidhowi 2017, 212). Oleh karena itu, jihad juga diartikan sebagai perjuangan hawa nafsu, perang yang adil, dan menuntut ilmu (Ngadhimah and Huda 2015, 9).
Kajian-kajian reinterpretatif atas ayat-ayat perang atau kekerasan mengungkapkan sebuah upaya untuk menghadirkan kontra narasi dan mendekonstruksi pemahaman radikal. Hal ini berbeda dengan kajian Baidowi yang sama sekali tidak menunjukkan reinterpretasi dekontruktif atas ayat-ayat perang atau kekerasan.
Penelitian yang ditunjukkan dalam kajian Baidowi ini perlu ditindaklanjuti sebagai satu bentuk rekomendasi untuk perkembangan diskursus Al-Qur’an sebagai kitab perdamaian. Ayat-ayat anti kekerasan ketiga rumusan Baidowi dapat dikembangkan lebih lanjut ke dalam kajian tentang teologi rekonsiliasi konflik keagamaan di Indonesia.Dengan semangat perdamaian, tabāyun, musyawarah, dan anti kekerasan dalam Al-Qur’an, seorang muslim dapat menjadi agen rekonsiliasi konflik.
Oleh karena itu, rekonsiliasi perlu dimulai dari memahami (ber-tabāyun) perihal faktor utama konflik keagamaan. Dalam kasus Indonesia, konflik keagamaan seringkali muncul akibat perpecahan sosial keagamaan antara penganut agama resmi negara dengan penganut kepercayaan atau agama lokal seperti Sunda Wiwitan (Iwamony 2020, 5–6).
Rekonsiliasi harus didasarkan pada pemahaman yang tepat tentang tradisi keagamaan sehingga terjadi kolaborasi yang jujur dan realistis (Odak 2022, 13–14). Sedangkan Droogers (2021) berpendapat bahwa rekonsiliasi merupakah hasil akhir yang didapat setelah keseimbangan dan tatanan sosial antara kelompok yang berkonflik berhasi dipulihkan (Droogers 2021, 12). Sejalan dengan itu, pendekatan budaya memungkinkan terjadinya adaptasi kultural sehingga meminimalkan resistensi sosial (Baidowi and Ma’rufah 2021, 102–3). Dengan demikian, penjelasan di atas meniscayakan bahwa nilai-nilai rekonsiliasi konflik dalam Al-Qur’an harus dikembangkan dengan melibatkan keilmuan sosial dan budaya.
Link Artikel: https://www.richtmann.org/journal/index.php/ajis/article/view/12668
How to cite this Article: Matsna Afwi Nadia, “UPAYA MENGAKTUALISASIKAN AYAT-AYAT ANTI KEKERASAN DALAM AL-QUR’AN(Review Artikel Ahmad Baidowi)”, studitafsir.com (blog), Juni 1, 2023 (+ URL dan tanggal akses).