Naik dan Redupnya Wacana Kenabian Maryam dalam Tradisi Tafsir

Oleh: Annas Rolli Muchlisin

Dalam jilid terakhir buku al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal, Ibn Hazm (w. 1064) menyuguhkan satu bab khusus seputar kenabian perempuan (nubuwwah al-nisā). Ia merekam bahwa tema tersebut telah memicu kontroversi dan perbincangan luas di Kordoba pada masanya. Kalangan cendekiawan pun terbagi menjadi tiga golongan: 1) menolak kenabian perempuan, 2) menerimanya, dan 3) pihak yang memilih tawaqquf (berdiam diri/tidak ikut berkomentar).

Kalangan yang menolak kenabian perempuan bersandar pada QS. 12: 109 dan QS. 16: 43, “dan Kami tidak mengutus (wa mā arsalnā) sebelummu (Muhammad) melainkan laki-laki yang Kami berikan wahyu.” Menurut Ibn Hazm, argumen ini tidak kokoh karena ayat yang dikutip berbicara tentang risālah bukan nubuwwah. Ibn Hazm kemudian menegaskan bahwa kata nubuwwah secara etimologi berarti al-i’lām (memberi informasi), karena itu siapa saja yang Allah beri informasi atau wahyu maka dia adalah nabi.

Al-Qur’an, lanjut Ibn Hazm, mengisahkan beberapa figur perempuan yang mendapat kabar ilahi, seperti Maryam yang didatangi malaikat Jibril yang mengabarkan akan kelahiran Isa (QS. 19: 19). Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa malaikat hanya berbicara kepada para nabi. Selain Maryam, figur perempuan yang dipercaya Ibn Hazm sebagai nabi juga adalah Ibu Ishaq yang mendapat kabar ilahi akan kelahiran Ishaq dan Ya’qub, serta Ibu Musa yang mendapat wahyu untuk menyelamatkan bayi Musa dari ancaman Fir’aun.

Untuk mendukung argumennya, Ibn Hazm kemudian menunjuk fakta bahwa nama Maryam, sebagaimana para nabi laki-laki lainnya, disebutkan dalam surah al-Anbiya’ (surah tentang nabi-nabi). Selanjutnya, Ibn Hazm mengutip sebuah hadis tentang kesempurnaan (kamāl) yang dicapai oleh beberapa perempuan, dan kesempurnaan yang dimaksud, menurut Ibn Hazm, adalah kenabian.

Diskursus seputar kenabian perempuan tidak redup di masa Ibn Hazm, tetapi hingga dua abad setelahnya masih memantik perhatian di Andalusia dan menyebar ke dalam perbincangan keilmuan Islam lainnya, tak terkecuali ke dalam tradisi tafsir. Al-Qurtubi (w. 1273), penulis tafsir al-Jāmi’ li Akām al-Qur’ān, mengambil posisi yang sama dengan Ibn Hazm: mendukung kenabian perempuan.

Dalam tafsirnya terhadap QS. 3: 42, al-Qurtubi memaparkan beberapa argumentasi yang senada dengan Ibn Hazm dan dengan lantang menyatakan bahwa pendapat yang benar adalah Maryam seorang nabi (wa al-aḥīḥ anna maryam nabiyyah). Bahkan dalam tafsirnya atas QS. 66: 12, al-Qurtubi berargumen bahwa Maryam lebih mulia daripada Zakariya, salah seorang nabi laki-laki, karena yang terakhir ini meminta tanda atas berita gembira yang diwahyukan kepadanya, sedangkan Maryam tidak.

Beberapa peneliti mencoba menjelaskan mengapa wacana kenabian perempuan bergema di Andalusia pada masa itu. Hosn Abboud (American University in Beirut), misalnya, berpandangan bahwa wacana ini terkait erat dengan status sosial perempuan yang lebih tinggi dalam struktur masyarakat Andalusia dibanding masyarakat Muslim di belahan Timur. Struktur sosial semacam itu memungkinkan tokoh agama di belahan Barat, seperti Ibn Hazm dan al-Qurtubi, untuk menunjukkan sikap yang lebih akomodatif terhadap wacana kenabian perempuan dibandingkan para penafsir dari belahan dunia Timur, seperti al-Tabari (w. 923), al-Razi (w. 1210), maupun al-Zamakhsyari (w. 1143).

Peneliti dari Spanyol, Maribel Fierro (CSIC) tidak sepakat dengan penjelasan Abboud. Bagi Fierro, wacana kenabian perempuan ini adalah respon terhadap polemik seputar karamah awliya. Bagi pendukung adanya karamah wali, hidangan makanan dari langit yang disantap oleh Maryam dijadikan bukti bahwa karamah benar-benar terjadi. Namun, bagi penolak karamah wali, hidangan makanan tersebut dianggap sebagai mukjizat Maryam. Karena mendapat mukjizat maka Maryam adalah nabi, menurut kelompok ini. Walhasil, belum ada konsensus di antara para peneliti mengenai sebab munculnya wacana kenabian perempuan tersebut.

Younus Y. Mirza (Georgetown University) tidak terlalu tertarik mencari tahu alasan di balik munculnya diskursus kenabian perempuan ini; ia lebih tertarik mengetahui mengapa wacana yang pernah digaungkan oleh tokoh sekaliber Ibn Hazm dan al-Qurtubi ini meredup dan akhirnya terlupakan oleh komunitas Muslim. Mirza mengamati bahwa banyak penulis modern dan aktivis perempuan, seperti Amina Wadud, bersikap abai terhadap perdebatan kenabian perempuan tersebut. Padahal, menurut Mirza, menggeluti khazanah intelektual klasik dan tradisi penafsirannya akan memperkaya pandangan kita dan bisa membantu merekonstruksi pembacaan teologis terhadap isu-isu modern.

Mirza menemukan bahwa penafsir yang paling gigih menolak pandangan kenabian perempuan adalah Ibn Katsir (w. 1373). Penafsir asal Damaskus ini berargumen bahwa al-Qur’an tidak pernah secara eksplisit menyebut Maryam sebagai nabi. Sebaliknya, QS. 5: 75 menyebutnya sebagai ṣiddīqah. “Ini adalah bukti Qur’anik bahwa Maryam adalah ṣiddīqah, bukan nabiyyah sebagaimana dipercaya oleh Ibn Hazm dan beberapa orang lainnya,” tegas Ibn Katsir. Jika Maryam adalah nabi, pasti Allah sudah memanggilnya nabi dalam al-Qur’an, tetapi kita tidak menemui panggilan tersebut di dalam Kitab Suci.

Masih dalam tafsir atas ayat yang sama, Ibn Katsir menulis bahwa mayoritas ulama (jumhūr) berpandangan bahwa Allah tidak mengutus nabi melainkan seorang laki-laki, lalu ia merujuk firman Tuhan, “dan Kami tidak mengutus sebelummu (Muhammad) melainkan laki-laki.” Terakhir, ia mengutip Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 936) yang menyatakan bahwa konsensus (‘ijmā) ulama menolak adanya nabi perempuan.

Popularitas dan pengaruh tafsir Ibn Katsir membuat wacana kenabian perempuan semakin terpinggirkan. Beberapa peneliti tafsir melihat bahwa tafsir Ibn Katsir menjadi karya tafsir yang paling terkenal di era modern ini. Walid Saleh, misalnya, mengatakan, “tafsir Ibn Katsir kini telah menjadi tafsir madrasah yang baru dan telah mengambil alih peran yang pada masa abad pertengahan dimainkan oleh tafsir al-Baidawi (w. 1319).” Begitu juga, Johanna Pink berpendapat bahwa tafsir Ibn Katsir telah menggantikan tafsir al-Razi dan al-Baidawi sebagai karya standar baru yang digunakan tidak hanya oleh sarjana tetapi juga oleh pelajar dan masyarakat umum.

Terakhir, Mirza membayangkan, “sikap kita terhadap wacana kenabian Maryam barangkali akan sepenuhnya berbeda jika seandainya tafsir al-Qurtubi menjadi karya yang paling populer dan paling banyak tersebar,” tetapi Mirza pun mengakui bahwa tafsir Ibn Katsir lah yang memenangkan percaturan tafsir saat ini.

Namun, dalam pelacakan singkat penulis, tafsir kenabian Maryam tidak sepenuhnya redup dan menghilang dari tradisi tafsir dan memori umat Islam. Silakan baca penafsiran Ibn ‘Asyur (w. 1973) dan Buya Hamka (w. 1981) atas QS. 3: 42. Poin ini mengingatkan penulis terhadap pendapat Walid Saleh bahwa ketika suatu pandangan sudah masuk ke dalam tradisi tafsir maka ia akan sulit untuk dihapuskan. Hal ini disebabkan natur tafsir yang bersifat ensiklopedis dan genealogis.

 

Sumber: Younus Y. Mirza, “The Islamic Mary: Between Prophecy and Orthodoxy,” dalam Journal of Qur’anic Studies 23.3 (2021): 70–102.

 

How to cite this Article: Annas Rolli Muchlisin, “Naik dan Redupnya Wacana Kenabian Maryam dalam Tradisi Tafsir”, studitafsir.com (blog), Juni 8, 2023 (+ URL dan tanggal akses).

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 80

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Unknown