Obsesi “Merevisi” Al-Qur’an: Seberapa Masuk Akal?
Oleh: Khusnul Khotim
Al-Qur’an disepakati oleh umat muslim sebagai sebuah teks yang bersifat qaṭ’ī al-tsubūt, yakni keberadaan Al-Qur’an saat ini sama persis dengan yang ada pada masa nabi dan terjaga dari pengurangan suatu apapun. Namun di sisi lain, banyak peneliti Al-Qur’an yang berpendapat bahwa Al-Qur’an tidaklah bersih sepenuhnya dari kesalahan. Tradisi oral dianggap tidak mampu sepenuhnya menjaga Al-Qur’an dari pengurangan. Ditambah lagi adanya varian qiraat dipandang sebagai bukti bahwa kesalahan penyalinan adalah nyata. Sementara itu, para mufassir seringkali diam dalam beberapa ayat Al-Qur’an yang dipandang sulit untuk dijelaskan. Hal ini menguatkan asumsi bahwa mungkin saja beberapa kata dalam Al-Qur’an telah hilang sehingga menimbulkan penjelasan yang tidak lengkap. Menghadapi masalah ini, beberapa pakar menawarkan revisi. Uniknya, usaha merevisi Al-Qur’an ini sudah ada sejak era sahabat Nabi.
Tulisan ini merupakan sebuah review terhadap artikel Devin J. Stewart (Emory) Notes on Medieval and Modern emendations of the Qur’an. Di sini akan dipaparkan berbagai bentuk usaha merevisi Al-Qur’an, alasan, serta argumen penolakannya.
Revisi (emendation) yang dimaksud adalah perubahan kata dalam teks Al-Qur’an yang bersifat superior sehingga mengeliminasi opsi bacaan lain yang tersedia. Hal ini berarti revisi tidaklah bersifat bacaan alternatif yang bersifat setara, sebagaimana ragam qirāʾāt mutawātir. Tidak pula sekedar penjelasan atau tafsir terhadap ayat tersebut. Revisi juga bersifat dharūrī atau “harus dilakukan” untuk membuat Al-Qur’an “masuk akal”. Dari penjelasan ini, maka revisi dapat didefinisikan sebagai perubahan teks Al-Qur’an yang bersifat superior dan keharusan.
As-Suyūṭī, Ar-Rāzī dan Az-Zamakhsharī mencatat bahwa pada era sahabat, benar telah ada usaha merevisi Al-Qur’an. Ide revisi diusulkan oleh Ibn ʿAbbās, salah satu sahabat yang ahli Al-Qur’an. Contohnya terhadap QS. Al-Ra’d: 31 “Tidakkah orang-orang yang beriman berputus asa bahwa sekiranya Allah menghendaki, tentu Allah telah memberi petunjuk kepada manusia semuanya”.
Makna “berputus asa” diambil dari lafadz يَا۟يْـَٔسِ dalam ayat itu. Tidak mungkin seorang mukmin berputus asa terhadap hidayah Allah SWT. Sehingga, seharusnya ayat tersebut sebaiknya diganti dengan يَتَبَيَّنِ yang berarti “mengetahui”. Selain lebih rasional, lafadz ini juga memiliki kedekatan tulisan dengan lafadz sebelumnya. Ibn ʿAbbās mengatakan bahwa penulis ayat Al-Qur’an saat itu mengantuk. Revisi yang ditawarkan Ibn ʿAbbās tampak rasional dan superior.
Argumen Ibn ʿAbbās dibantah oleh Zamakhsyari. Menurutnya, yayʾas bermakna ya’lam “mengetahui”. Meskipun makna keduanya bertolak belakang, namun makna “mengetahui” sudah terkumpul dalam kata “berputus asa”. Sebab, orang yang berputus asa adalah orang yang mengetahui bahwa suatu hal pasti terjadi. Hal ini serupa dengan penggunaan kata rajāʾ (berharap) yang bermakna khauf (takut). Ar-Rāzī menambahkan bahwa penggunaan kata tersebut bermakna mengetahui, sebagaimana syair-syair Arab terdahulu.
ʿAlī Ibn Abī Ṭālib pun pernah berkomentar terhadap QS. Al-Wāqiʿah: 29. Dalam ayat tersebut terdapat kata طَلْۡحٍ “pohon pisang” hanya ditemui dalam ayat ini. Sedangkan pohon pisang sendiri tidaklah familiar di bangsa Arab. Begitu juga ayat ini tidak senada dengan ayat lain. Ali berkesimpulan apabila kata tersebut diganti dengan طَلْۡعٍ “pohon kurma” akan lebih masuk akal dan serupa dengan ayat lain. Terlebih, huruf ḥaʾ (ح) sangat mirip dengan huruf ‘ain (ع), sehingga besar peluang terjadinya salah tulis oleh penyalin. Namun demikian, ia berkesimpulan akhir bahwa tidaklah perlu mengganti ayat Al-Qur’an. Ia juga tidak berasumsi adanya kesalahan penyalinan.
Revisi di kalangan orientalis modern
Gagasan revisi di kalangan orientalis dimulai Pasca Goldziher dan Nöldeke. Salah satu tokoh yang serius dalam hal ini adalah James A. Bellamy. Ia menawarkan 29 revisi terhadap huruf muqaṭṭaʿah, atau kata misterius pembuka surah. Ia berargumen bahwa huruf muqaṭṭaʿah merupakan singkatan dari bacaan basmalah.
Revisi ini ditolak oleh Alford Welch. Ia berargumen bahwa perubahan muqaṭṭaʿah semisal Ṭāhā menjadi Basmalah dapat merusak keserasian rima. Versi asli lebih cocok dengan rima ayat setelahnya dibandingkan bacaan Basmalah. Penulisan kalimat yang bermakna misterius juga kerap kali ditemui dalam naskah klasik, seperti abrakadabra (Latin), ing bing fing (Mesir), dan ajji majji la tarajji (Persia). Dengan demikian, muqaṭṭaʿah adalah benar bahwa ia bagian asli dari surah itu sendiri, bukan merupakan tambahan di luar Al-Qur’an.
Bellamy juga menawarkan revisi pada QS. Al-Anbiya: 98. “Sesungguhnya kamu (orang kafir) dan apa yang kamu sembah selain Allah adalah Kerikil Jahanam”. Menurutnya, penggunaan kata hashabu “kerikil” tidak memiliki hubungan yang jelas dengan api neraka. Akan lebih masuk akal apabila kata tersebut diganti dengan haṭab “kayu bakar”. Terlebih, perbedaan huruf ṣād dan ṭāʾ hanyalah sebuah garis tegak. Sehingga, besar kemungkinan terjadi kesalahan penyalinan.
Terkait revisi ini, ada dua bantahan. Pertama, berdasarkan varian qiraat, beberapa imam membaca dengan hathabu. Para ulama di posisi ini adalah ʿAlī Ibn Abī Ṭālib, Ibn ʿAbbās, Ubay Ibn Kaʿb, dan ʿAbdullāh Ibn ʿIsā. Kedua, kata haṣab bermakna batu kecil atau kerikil dan berbeda dengan batu besar. Batu kerikil memiliki masa jenis yang sama dengan batuan besar, namun ia memiliki perbedaan dalam hal ukuran. Ukuran yang lebih kecil, memungkinkan kerikil untuk menyelinap dan masuk ke dalam lapisan tanah yang paling bawah. Dengan makna ini, analogi batu kerikil untuk orang kafir bermakna bahwa mereka akan jatuh dan menyelinap di lapisan neraka yang paling bawah. Jadi, penggunaan kerikil juga memiliki alasan yang sama masuk akalnya dengan kata kayu bakar.
Tokoh orientalis yang paling serius mengajukan revisi Al-Qur’an adalah Luxenberg. Asumsi yang melatarbelakangi revisi yang ia ajukan adalah bahwa Al-Qur’an berbahasa Syiria-Aramaik, sehingga pertimbangannya tidak terlepas dari kaidah bahasa tersebut. Seperti contoh kata al-raqim pada QS. Al-Kahf: 9. “Apakah engkau mengira bahwa sesungguhnya para penghuni gua dan (yang mempunyai) raqīm benar-benar merupakan keajaiban di antara tanda-tanda (kebesaran) Kami?”
Kata raqīm memang menyisakan penafsiran yang ambigu bagi mufasir klasik. Banyak yang berpendapat itu adalah nama suatu tempat di mana ashabul kahfi berada, nama kampung, dan seterusnya. Luxenberg berasumsi bahwa raqīm sepatutnya mendapatkan revisi menjadi ruqād yang bermakna “orang yang tidur”. Selain ini tidak melanggar rasm, juga dipandang lebih masuk akal. Sehingga, Ashabul Kahfi selain menempati gua, juga “tidur” di dalamnya.
Revisi ini dibantah oleh Horovitz. Ia mengartikan raqīm dengan sebuah prasasti (tablet) di mana Ashabul Kahfi menuliskan nama mereka (loḥa d-bartā). Lebih jauh, al-Farrāʾ (207H/822M) telah menafsirkan raqīm dengan prasasti yang terbuat dari batu. Sidney Griffith menambahkan bahwa adanya tablet pada kisah Ashabul Kahfi telah tertulis pada kisah-kisah Syiria. Dengan demikian raqīm telah memiliki makna yang jelas dan revisi terhadapnya tidak diperlukan.
Luxenberg mengajukan revisi lain terhadap kata hurin in “bidadari bermata indah”. Luxenberg berpendapat bahwa kata hur “bidadari” memiliki hubungan erat dengan bahasa Syiria hewara yang berarti putih. Kata in berarti sesuatu yang berwarna menarik dan cerah. Menurutnya, maknanya akan aneh apabila di surga ada wanita cantik yang bermata putih, sebab putihnya mata bukanlah sebuah simbol kecantikan. Sebab itu, ia berasumsi bahwa hūrin ʿīn adalah anggur yang jernih. Revisi ini tampak rasional. Bantahan terhadap revisi adalah bahwa kata hūrin ʿīn sendiri dalam bahasa Arab tidaklah aneh. Hal ini terbukti dari syair-syair Arab yang beredar.
Dari beberapa data ini, dapat disimpulkan bahwa sejak era sahabat sudah ada usulan untuk merevisi Al-Qur’an karena dianggap menyimpang dari logika bahasa Arab. Revisi yang ditawarkan orientalis selain berdasarkan pada kaidah bahasa Arab, juga menggunakan pertimbangan bahasa Syiria-Aramaik. Adapun revisi yang mereka usulkan selalu dibantah oleh sesama orientalis. Devin Stewart, tidak mencatat sama sekali sarjana muslim yang mengomentari revisi oleh orientalis. Penelitian Al-Qur’an pada sarjana muslim modern lebih terfokus pada “post-philology”. Padahal, pada masa lalu mufasir menyanggah dan membahas secara serius revisi yang diajukan oleh sahabat.
Secara umum, setiap revisi yang ditawarkan, baik oleh sahabat maupun oleh orientalis, memiliki alasan yang cukup rasional, meskipun terdapat pula alasan yang justru melanggar bahasa Arab. Namun demikian, alasan-alasan yang diajukan meskipun tampak meyakinkan, tetap tidak bersifat superior sehingga mengharuskan “revisi” terhadap teks Al-Qur’an. Penjelasan alternatif yang tidak kalah masuk akal selalu dapat diajukan.
How to cite this Article: Husnul Khotim, “Obsesi “Merevisi” Al-Qur’an: Seberapa Masuk Akal?”, studitafsir.com (blog), July 18, 2024 (+ URL dan tanggal akses)