
“Khalifah” dalam Literatur Tafsir Awal (Pra-Tabari)
Oleh: Mu’ammar Zayn Qadafy
Apa yang membuat artikel keluaran hampir tiga dekade ini (terbit tahun 1988) menarik untuk dikaji ulang?
Jika kajian terhadap kata “Khalifah” dengan segala variasinya di dalam al-Qur’an banyak dilakukan akhir-akhir ini (merespon laju gerakan Islam-Transnasional), penelitian terhadap bagaimana para mufassir memahami kata ini tidak banyak (atau bahkan tidak) dilakukan.
Tujuan utama Waddad Qadhi dalam melakukan penelitian ini adalah mengungkap cara para mufassir generasi awal berinteraksi dengan kata Khalifah. Problem pertama yang harus ia selesaikan adalah sumber. Qadhi menyadari sepenuhnya bahwa naskah-naskah tafsir awal cenderung tidak memadai. Baik Tafsir Muqatil (w. 150/ 767), Tafsir al-Thawri (d. 161/ 778) dan Mujahid (d. 104/ 7222) tidak memuat materi eksegetikal yang kaya yang bisa dielaborasi panjang lebar. untuk itulah, Qadhi memutuskan untuk memakai Tafsir Tabari sebagai pintu masuknya menelusuri pandangan Muslim generasi awal terhadap kata terkait. Tafsir Tabari, menurut Qadhi, telah memuat dengan sangat baik ucapan-ucapan para pendahulunya.
Metode ini memiliki batasan-batasan. Pertama, Tabari memikiki agenda dogmatik dan politis tersendiri yang membuat datanya bias (untuk lebih jelas, lihat review berikut). Kedua, Penjelasan Tabari mengenai pendapat para mufassir sebelumnya seringkali adalah interpretasi dari Tabari sendiri, bukan pernyataan yang eksplisit dari tokoh yang dikutip.
Keberadaan dua hal ini membuat peneliti harus sangat berhati-hati dalam memperlakukan Tafsir Tabari, kata Qadhi. Ia lantas menerapkan bebrapa strategi untuk mengatasi problem sumbernya tersebut. Pertama, Qadi mengenyampingkan urutan presentasi materi-materi penafsiran dalam Tafsir Tabari. Kedua, ia menanyakan masalah-masalah yang belum dicover oleh Tabari, dan Ketiga, ia tidak menggubris penjelasan Tabari mengenai perkataan mufassir-mufassir awal.
Di antara temuan Qadhi yang paling mencengangkan adalah bahwa para Mufassir awal kebingungan dalam menyikapi istilah Khalifah yang seakan muncul secara “tiba-tiba” dalam al-Qur’an. Sebagian besar dari mereka memilih untuk tidak memberikan komentar apapun. Jikapun ada Mufassir awal yang mencoba menafsiri kata ini, sumber utama yang mereka gunakan adalah Israiliyyah atau tata bahasa Arab (grammar) dan filologi.
Para Mufassir awal biasanya masuk dari kajian filologis atas kata Kha-La-Fa, dan biasanya membawa kesimpulan yang berbeda-beda.
Terkait dengan pertanyaan, apakah para Mufassir menggunakan term “Khalifah” untuk menyokong kekuatan pemerintahan dinasti Umayyah yang pertama kali menggunakan istilah ini untuk merujuk pada kekuasaan politis yang mereka miliki, Qadhi menyimpulkan bahwa ini tidak terjadi.
Qadhi juga tidak berani secara jauh mengartikan ini sebagai bentuk penentangan para Mufassir terhadap pemerintahan Umayyah. Menurut Qadhi, ini semata-mata karena para Mufassir tidak terkait dengan isu “Khalifah” ini.
Metodologi Qadhi ini, meskipun terbatas, perlu diapresiasi dan ditindak-lanjuti dalam term-term keislaman lain. Sebagai sebuah sejarah intelektual, penting untuk diketahui bagaimana para sarjana Muslim di masing-masing periode sejarah meninggalkan jejak keilmuan mereka terhadap pemaknaan kata-kata tertentu. Salah satu urgensinya, selain menunjukkan kekayaan khazanah intelektual Islam, juga agar cara kita membaca al-Qur’an di saat sekarang, tidak ahistoris dan tidak melompat-lompat.
How to cite this Article: Muammar Zayn Qadafy, “”Khalifah” dalam Literatur Tafsir Awal (Pra-Tabari)”, studitafsir.com (blog), Desember 12, 2020 (+ URL dan tanggal akses)
Detil Artikel yang diringkas: Waddad Qadhi, “The Term Khalifah in Early Exegetical Literature”
Untuk request artikel, Silahkan tinggalkan pesan dan email.