“Qur’an Sebagai sebuah Proses”: Asumsi Utama Tafsir Kronologis

Oleh: Mu’ammar Zayn Qadafy

Terdapat dua nama yang dianggap sebagai motor utama gerakan intelektual modern yang mengusung ide mengenai “Qur’an sebagai Proses” (“The Qur’an as Process” Movement): Angelika Neuwirth (Berlin) dan mantan muridnya, Nicolai Sinai (Oxford). Gerakan ini mematenkan argumen bahwa bukti mengenai runtutan perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW tidak perlu dicari dari sumber di luar Islam, karena telah sangat gamblang “direkam” oleh al-Qur’an sendiri. Keduanya, bisa dibilang, adalah pewaris utama teori kronologi al-Qur’an modern yang dikembangkan oleh Theodor Nöldeke (w. 193o).

Secara eksplisit, gerakan “The Qur’an as Process” yang diusung Sinai ingin merespon gerakan “flat reading of the Qur’an” (pembacaan al-Qur’an secara datar) yang dimotori, salah satunya, oleh Daniel Madigan.

Salah satu artikel penting yang menandai dimulainya secara resmi proyek Sinai adalah yang terbit tahun 2010 dalam antologi, yang ia edit bersama dengan Neuwirth dengan judul “The Qur’an in Context”.

Sinai mengakui bahwa di masa modern, banyak keraguan yang dialamatkan terhadap keabsahan teori kronologi Nöldeke. Di antara yang paling menonjol adalah kritik bahwa kronologi al-Qur’an dan Sirah Nabawiyyah adalah dua genre yang saling bergantung satu dengan yang lain (circular). Ada juga yang mempertanyakan apakah surat-surat al-Qur’an memang harus “memendek” di rentang waktu dari pewahyuan Makkah dan Madinah. Pada intinya, para kritikus ini mempersoalkan usaha (siapapun) untuk membagi-bagi korpus al-Qur’an ke dalam bagian-bagian kronologis berlandaskan perubahan gaya bahasa, tema serta keragaman konseptual.

Sinai sangat berkeberatan dengan kritik-kritik semacam ini. Menurutnya, tanpa harus melakukan riset yang mendalam sekalipun, seseorang akan dapat melihat secara kasat mata bahwa surat-surat dalam al-Qur’an menerapkan pola dan strategi kesusastraan yang berbeda satu sama lain. Ini adalah indikasi dari sebuah fakta bahwa al-Qur’an tengah menyasar “audiens” yang berbeda, menurut konteks tempat dan waktunya masing-masing.

Di sisi lain, Sinai harus mengantisipasi berkembangnya ide lain tentang “unit pewahyuan”. Bell dan Watt misalnya meyakini bahwa pada dasarnya, unti pewahyuan al-Qur’an adalah ayat-ayatnya, yang nantinya akan dikumpulkan (oleh ulama’ Muslim) sebagai satu kesatuan surat. Asumsi ini mempengaruhi “kronologi” al-Qur’an versi Bell yang sangat rumit.

Untuk meng-counter argumen ini, Sinai mengetengahkan proyek Neuwirth yang fenomenal: Studien zur Komposition der mekkanischen Suren. Neuwirth, menurut Sinai, Neuwirth telah berhasil membuktikan bahwa masing-masing surat al-Qur’an adalah koheren dari segi tema dan tata bahasa. Karenanya Neuwirth meyakini, unit pewahyuan al-Qur’an tidak lain adalah surat itu sendiri. Obsesi Neuwirth ini diteruskan oleh kolega-koleganya di the Corpus Quranicum. Nora Katharina Schmid, misalnya, melakukan analisa kuantitatif terhadap rata-rata jumlah huruf dalam surat-surat Makkiyyah.

Di tulisan-tulisannya yang lain, Sinai tampak tidak menerima teori kronologi Nöldeke apa adanya. Beberapa kali ia melakukan improvisasi seperlunya, sesuai data-data baru yang ia analisis. Sinai juga mengusulkan agar pembagian Nöldeke terhadap kronologi al-Qur’an (3 Makkiyyah dan 1 Madaniyyah) dibagi lagi ke dalam sub-divisi yang lebih kecil. Dengan menggunakan hasil penelitian Nora Schmid, Sinai membagi lagi “periode awal Makkiyyah” ke dalam 4 bagian: kelompok surat I, II, IIIa dan IIIb. Sinai berkesimpulan, pembagian ini semakin menunjukkan fase-fase kronologis surat-surat periode ini.

Setelah merevitalisasi teori kronologi Nöldeke, Sinai lantas melakukan pembacaan kronologis terhadap kisah Nabi Ibrahim dalam al-Qur’an (nb: tema ini dikerjakan secara serius oleh Sinai dalam naskah disertasinya). Dalam kasus surat-surat al-Qur’an yang memuat kisah Nabi Ibrahim, Sinai menyimpulkan, konsep tabshir dalam kisah Ibrahim di surat ke-37 (al-Ṣaffāt) hanya bisa dipahami jika dirujukkan ke kisahnya di surat ke-51 (al-Ḏāriyāt), yang secara kronologis diturunkan terlebih dahulu.

Cara Sinai membantah kritik atas tafsir kronologis dan caranya melakukan tafsir kronologis terhadap kisah Nabi Ibrahim menunjukkan, di satu sisi, bahwa bahwa pembacaan kronologis masih relevan. Di sisi lain, ia juga mematenkan ide dasar tafsir kronologis, bahwa al-Qur’an dalam dirinya sendiri, merekam proses.

How to cite this Article: Muammar Zayn Qadafy, “”Qur’an Sebagai sebuah Proses”: Asumsi Utama Tafsir Kronologis”, studitafsir.com (blog), February 8, 2021 (+ URL dan tanggal akses)

Detil Artikel yang diringkas: Nicolai Sinai, “The Qur’an as Process”, in (ed.) Angelika Neuwirth, The Qur’an in Context (Brill: Leiden).

Untuk request artikel dan berdiskusi, Silahkan tinggalkan komentar.

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 80

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Unknown