Membaca Sekaligus Mendengar Terjemahan al-Qur’an Berbahasa jawa

Oleh: Mu’ammar Zayn Qadafy

 

Johanna Pink (Freiburg) adalah satu dari sekian sarjana Tafsir yang perjalanan intelektualnya menarik untuk diikuti. Semasa studi S2 dan untuk disertasi S3-nya di Bonn, ia meneliti komunitas Baha’ism di Mesir. Ketika menempuh post-doc di Tübingen dan Berlin, konsentrasi Pink bergeser ke karya Tafsir di dua negara Sunni paling berpengaruh di era modern: Indonesia dan Turki; Sementara pasca mengamankan dana riset dari European Research Council, lewat proyek raksasa “Global Qur’an“, ia mulai secara serius mengeksplorasi area studi yang selama ini terabaikan, yaitu penerjemahan al-Qur’an lintas negara dan benua ke dalam bahasa-bahasa dunia. Dua konferensi virtual di penghujung 2020 dan di awal 2021 bertajuk Freiburg Conversation menandai dimulainya ambisi besar sang professor.

Di antara ragam bahasa sebagai media penerjemahan al-Qur’an, Jawa menduduki tempat yang spesial bagi Pink. Baru-baru ini, ia mempresentasikan penelitiannya tentang al-Qur’an berbahasa Jawa dalam sebuah kuliah virtual yang diinisiasi oleh IQSA dan Universitas Notre Dame. Adapun tulisan ini, akan mengulas artikel Pink di Jurnal Wacana UI mengenai transliterasi, oralitas dan percetakan terjemah al-Qur’an berbahasa Jawa.

Bagaimana membedakan kitab tafsir dan kitab tarjamah? Bisakah kedua genre dibedakan berdasarkan keluasan materi yang disajikan, kedalaman analisa, atau sekedar klaim dari si pengarang kitab?. Pertanyaan-pertanyaan fundamental ini menjadi kegelisahan utama Pink. Secara lebih konkret, ia melemparkan sebuah pertanyaan terbuka tentang apakah al-Ibriz karya Bisri Mustofa merupakan sebuah kitab tarjamah atau kitab tafsir?.

Untuk memulai diskusi, Pink mengkomparasikan tiga terjemahan al-Qur’an berbahasa Inggris (Versi Abdel Haleem 2008, Shakir 2009, dan Usmani 2007), dalam hal cara ketiganya menjelaskan kisah Yusuf dalam Q. 12:4. Terlepas dari perbedaan-perbedaan minor di antara ketiganya, mereka cocok disebut sebagai karya terjemahan karena mengikuti struktur dan konteks semantik dari ayat yang sedang dibahas. Ketiga penerjemah berkomitmen untuk tidak membubuhkan tambahan makna kecuali sedikit detil yang tidak merusak susunan bahasa Arab al-Qur’an yang menjadi sumber penerjemahan.

Jika kajian terjemahan al-Qur’an dibatasi pada karya-karya seperti ini, tandas Pink, riset-riset akademik tidak akan menjangkau kekayaan karya ‘tarjamah’ sarjana Muslim di seluruh dunia yang seringkali bersifat hybrid: terlalu ringkas untuk sebuah karya tafsir, dan terlalu panjang untuk sekedar karya terjemahan. Lebih-lebih secara ontologis, pemisahan yang kaku antara karya tafsir dan karya terjemahan meninggalkan kebingungan laten tentang peran sang pengarang: Bagaimanapun juga, meskipun proses penerjemahan al-Qur’an terlihat sederhana, bukan berarti campur tangan penerjemah tidak signifikan. Ketika mengalih bahasakan sebuah kata tertentu dalam al-Qur’an, si penerjemah acapkali harus memilih satu di antara sekian alternatif kata yang muncul di benaknya. Di saat itu, ia sebenarnya juga sedang melakukan penafsiran.

Merespon sempit dan kakunya definisi ‘terjemah’ di atas, Pink mengusulkan perluasan konsep tarjamah yang lebih umum untuk tujuan riset akademik, yaitu mencakup setiap transfer makna dari bahasa dan konteks kultural tertentu ke bahasa dan kultur lain. Dengan perluasan ini, tegas Pink, tidak hanya karya-karya dalam bentuk tulisan yang akan terakomodasi, melainkan juga praktek-praktek pedagogik dan seremonial yang melibatkan penjelasan makna al-Qur’an. Lalu, framework ‘makna luas terjemah’ ini dipakai Pink untuk menganalisa 4 karya tarjamah berbahasa Jawa.

(1) al-Ibriz li ma’rifah al-Qur’an al-Aziz karya Bisri Musthofa (1915-1977); dan (2) al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil karya Misbah Mustofa (1916-1994)

Dari pembandingan yang dilakukannya, Pink menyimpulkan bahwa penulis dua karya ini, terlihat sangat familiar dengan Tafsir Jalalayn, karena penjelasan semantik, pembubuhan kisah-kisah (exegetical tradition) serta analisa bahasa (grammar) di keduanya, tumpang tindih dengan materi-materi di Tafsir Jalalayn, meski yang disebut terakhir bukan satu-satunya referensi yang dirujuk oleh kedua pengarang.

Pun demikian, al-Ibriz dan al-Iklil memiliki pola penulisan yang khas. Pada setiap lembar dua kitab tersebut, pembaca akan menemukan tiga jenis materi eksegetikal: (1) pemaknaan kata per kata dengan metode gandhul, (2) transliterasi letterlijk ayat ke dalam Bahasa Jawa dengan kalimat pengarang kitab, (3) informasi tambahan seperti riwayat sabab al-Nuzul, kisah-kisah, fadhilah dan catatan pelengkap si penulis. Meskipun informasi tambahan ini tidak selalu ada, metode yang ketiga ini adalah metode yang menjadikan al-Ibriz dan al-Iklil lebih dekat pada karya Tafsir daripada karya Terjemahan.

Dua metode pertama (makna gandhul dan parafrase) secara konsisten dilakukan oleh pengarang Ibriz dan Iklil terhadap keseluruhan tiga puluh juz al-Qur’an. Konsistensi ini, menurut Pink, adalah keputusan yang solutif untuk mengakomodir dua jenis transliterasi yang sedari dulu saling dipertentangkan. Makna gandhul (verbum pro verbo) adalah ciri khas para ahli bahasa (grammarian), sementara parafrase (sensus pro senso) menjadi domain para ahli retorika. Al-Ibriz dan al-Iklik, sebagai representasi tafsir yang lahir di Jawa mengakomodir kedua genre tersebut. Akomodasi ini sekaligus menegaskan kompleksitas karya tarjamah Jawa, dibandingkan dengan tarjamah al-Qur’an berbahasa lain.

Bagaimana menjelaskan kombinasi kedua metode di atas dalam praktik pengajaran al-Qur’an di pesantren? Mengamini hasil riset Ronit Ricci (ANU), Pink berargumen bahwa munculnya dua model ini secara bersamaan adalah bukti otentik bahwa sistem pedagogik utama di pesantren bersifat oral: Sang Kiyai mengajari santri-santrinya membaca al-Qur’an, lalu menjelaskan makna kata-perkata dengan sistem gandhul, lalu membubuhkan setelahnya terjemahan interlinear. Pada dua kitab ini, si penerjemah al-Qur’an menampakkan dirinya dengan sangat jelas. Mereka memposisikan diri sebagai figur perantara antara al-Qur’an dan komunitas Muslim. Sementara para pembaca Ibriz dan Iklil menyadari sepenuhnya bahwa yang mereka dengar adalah suara si penerjemah (sang kiyai).

(3) Tarjamah al-Qur’an Basa Jawi Karya Kiyai (di) Masjid al-huda, Ngabeyan, Margorejo, Sleman, DIY

Konteks kemunculan karya ini berbeda dengan dua kitab sebelumnya. Tarjamah ini meski disusun dalam suasana pengajaran di masjid, tetapi bukan pengajaran ilmu-ilmu keislaman yang intens sebagaimana di Pesantren. Si pengarang kitab juga membubuhkan dua jenis transliterasi sebagaimana yang dilakukan pengarang Ibriz dan Iklil: yang interlinear (kata per kata) dan yang parafraseNamun, terjemahan interlinear-nya tidak tunduk pada kaidah-kaidah makna gandhul. Ini menjadi pembeda antara karya yang berasal dari rahim pesantren (ibriz dan Iklil) dan yang bukan (masjid al-Huda). Selain itu, yang terakhir disebut muncul di era kontemporer saat bahasa Indonesia telah menembus kultur keberagamaan Jawa, sehingga banyak kosa kata melayu yang tersisipkan. Adapun mengenai isu kepengarangan, ketundukan penerjemah pada struktur bahasa Arab al-Qur’an tanpa memberikan tambahan yang berarti membuat perannya tidak terlihat (invisible).

(4) Tafsir al-Qur’an Suci Karya Mohammad Adnan (1889-1969)

Pink mengaku kesulitan menentukan konteks kemunculan karya ini, apakah ia produk sistem pedagogik atau bukan. Yang jelas menurutnya, karya ini lebih dekat dengan karya ‘terjemah’ alih-alih karya ‘tafsir’, meskipun Adnan memakai istilah Tafsir sebagai judul. Pink mencatat, terjemahan Adnan ini sangat mirip dengan karya Bagus Ngarpah (w. 1913), kepala sekolah Manba’ul Ulum Solo yang juga pelopor percetakan terjemah al-Qur’an berbahasa Jawa.

Dalam menerjemahkan al-Qur’an, meskipun Adnan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak jauh beranjak dari struktur semantik teks al-Qur’an, hasil terjemahannya relatif lebih panjang, karena ia memasukkan juga informasi implisit yang tidak terekam oleh teks al-Qur’an, seperti nama-nama tokoh, kelompok atau daerah tertentu. Dari cara Adnan mengepas terjemahannya dan dari karir akademiknya di kemudian hari, Pink meyakini, karya ini disusun tidak berdasarkan tradisi pengajian oral sebagaimana tiga karya terjemah yang disinggung sebelumnya.

Tiga Model terjemahan al-Qur’an berbahasa Jawa

Di antara yang menjadi keunggulan tulisan-tulisan Pink adalah kejeliannya memilih sampel penelitian yang terlihat sederhana untuk  “menembak” teori besar. Berdasarkan studi kasus yang Pink lakukan, ia lantas merumuskan tiga model terjemahan al-Qur’an berbahasa Jawa: Pertama, terjemahan literal yang ditulis sangat dekat dengan struktur asal teks Arab al-Qur’an (contoh: terjemah Masjid al-Huda); Kedua, transliterasi grammatikal yang mengikuti sistem makna Gandhul; dan Ketiga, transliterasi naratif (parafrase). Ketiganya sudah, sedang dan terus akan berkompetisi di belantika terjemahan al-Qur’an di Indonesia, khususnya di Jawa. Dalam percaturan ketiga model terjemahan ini, yang paling menentukan bukanlah seberapa dekat hasil terjemahan dengan teks Arab asli al-Qur’an, melainkan seberapa jernih dan terang penjelasan yang diberikan.

Sebagai penutup, Pink menggaris-bawahi proses pedagogik di balik munculnya terjemahan al-Qur’an berbahasa Jawa. Sebagaimana yang telah ia singgung, Ibriz dan Iklil awalnya adalah pelajaran oral yang kemudian di konversi menjadi buku. Jika diteliti secara seksama, banyak bagian dari kedua kitab tersebut yang lebih enak untuk didengar, alih-alih dibaca. Ini sekaligus menjelaskan mengapa kedua karya ini tidak dipenuhi dengan kutipan-kutipan yang memadai untuk dijadikan referensi. Meski baru-baru ini muncul cetakan Ibriz berbahasa Latin, suara sang Kiyai dan nuansa pedagogik saat karya ini muncul masih dengan jelas bisa dicerna dan dirasakan.

Sampai di sini, kita menyaksikan keseriusan dan kejelian Pink dalam menganalisa sumber-sumbernya. Ia memberikan penjelasan yang detil mengenai sejarah kitab-kitab dan tokoh-tokoh yang ia bahas, termasuk paparan mengenai serba-serbi makna gandhul, Kitab Kuning, keraton Solo dan istilah-istilah teknis lain. Pemerincian ini membuat artikelnya bisa dinikmati, bahkan oleh non-spesialis sekalipun. Ia juga menyertakan screenshot dari kitab-kitab yang dibahas, sehingga pembaca bisa mendapatkan nuansa Jawa yang Pink maksud.

All in all, Familiaritas Pink dengan kultur dan bahasa Jawa menasbihkan dirinya sebagai Javanis (istilah untuk menyebut sarjana yang fokus pada kajian tentang Jawa) yang patut diperhitungkan. Di sisi lain, artikel ini sekaligus menunjukkan kesungguhannya dalam mengelaborasi khazanah terjemahan al-Qur’an di dunia, dengan Jawa sebagai gerbang masuknya.

How to cite this Article: Muammar Zayn Qadafy, “Membaca Sekaligus Mendengar Terjemahan al-Qur’an Berbahasa Jawa”, studitafsir.com (blog), June 1, 2021 (+ URL dan tanggal akses).

Detil Artikel yang diringkas: Johanna Pink, “The Kiyai’s Voice annd the Arabic Qur’an: Translation, Orality and Print in Modern Java”. Artikel bisa didownload di sini.

Share It :
Studi Tafsir
Studi Tafsir
Articles: 80

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Unknown